Anselmus D Atasoge
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Bangsa Indonesia memaknai Sepuluh November sebagai hari Pahlawan Nasional. Sejuta makna yang terkandung dalam momentum nasional ini dapat digali kapan dan di mana saja sebagai sebuah jalan untuk terus mewariskan semangat perjuangan yang telah ditorehkan oleh para pahlawan bangsa ini. Tulisan sederhana ini mencoba menyelisik warisan-warisan tempo itu untuk tempo kini.
Historisitas munculnya Hari Pahlawan dapat dirujuk pada rangkaian peperangan dalam Pertempuran Surabaya melawan Sekutu. Kurang lebih setengah bulan setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya 31 Agustus 1945, pemerintah saat itu menyerukan bahwa mulai 1 September 1945, bendera merah putih dikibarkan di seluruh wilayah Indonesia. Dengan seruan itu, pada 19 September 1945, para pemuda dan pejuang Surabaya menurunkan dan merobek warna biru dalam triwarna bendera Belanda yang dikibarkan di Hotel Yamato. Bendera tersebut kemudian dinaikkan kembali dengan menyisakan warna merah dan putih yang merupakan warna bendera Indonesia.
Rombongan pasukan Sekutu, termasuk Inggris dan Belanda, yang sebelumnya telah tiba di Jakarta pada 15 September 1945, mulai memasuki Kota Surabaya tanggal 25 Oktober 1945. Pasukan ini tergabung dalam Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) atau Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan Interniran untuk melucuti senjata tentara Jepang.
Perang pertama antara militer dan arek-arek Surabaya melawan pasukan Sekutu atau Inggris terjadi. Pemimpin pasukan Inggris di Jawa Timur, Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby, tewas dalam suatu insiden, pada 30 Oktober 1945. Posisi Mallaby sebagai pemimpin pasukan di Jawa Timur kemudian digantikan oleh Mayor Jenderal Robert Mansergh yang juga Komandan Divisi 5 Inggris.
Pada 9 November 1945 Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya. Bahwasanya semua pemimpin Indonesia di Surabaya harus melaporkan diri. Seluruh senjata yang dimiliki pihak Indonesia di Surabaya harus diserahkan kepada Inggris. Para pemimpin Indonesia di Surabaya harus bersedia menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.
Namun, para pemimpin perjuangan, arek-arek Surabaya dan segenap rakyat tidak mengindahkan ancaman Inggris. Pada hari itu, 10 November 1945, pecahlah pertempuran di Surabaya. Pertempuran ini menelan korban nyawa hingga ribuan jiwa, Kota Surabaya pun hancur lebur. Salah satu pejuang yang berperan besar mengobarkan semangat perlawanan rakyat Surabaya dalam pertempuran ini adalah Bung Tomo. Pada 10 November 1946 Presiden Sukarno menetapkan setiap tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Hari itu diperingati hingga saat ini.
Ribuan pahlawan yang telah ‘berkorban’ pada 10 November adalah ‘warga terbaik’ bangsa ini yang rela meregang nyawa untuk mempertahankan kedaulatan bangsa ini. Dalam konteks diskursus keagamaan, mereka boleh dipandang sebagai umat yang wasathiyah.
“Wasathiyah” berasal dari kata “wasatal” di dalam Alquran dalam surat Al-Baqarah ayat 143. Dalam berbagai macam tafsir dinyatakan bahwa makna dari “wasatal” adalah umat pilihan, umat yang terbaik dan umat yang adil. Menurut Kiai Didin Hafidhuddin, wasatal dimaknai juga sebagai umat yang selalu menempatkan sesuatu pada tempatnya secara pas dan simetris.
Dalam konteks kepahlawanan dapat dikatakan para pahlawan kita adalah tokoh-tokoh yang telah menempatkan kepentingan bangsa dan negara pada posisi yang simetris dengan martabat kemanusiaannya yang ‘merdeka-berdaulat’ di hadapan kepentingan penjajah. Di atas kepentingan bangsa dan martabat kemanusiaan ini, mereka bangkit mempertahankan kemerdekaan hingga titik darah penghabisan. Saya memandang aksi para pahlawan ini sebagai bagian dari komitmen mereka untuk mempertahankan kebangsaan Indonesia dengan menempatkan kepentingan martabat-harkat kemanusiaannya dalam bingkai kepentingan bangsa dan negara.
Bangsa dan negara Indonesia membutuhkan pribadi-pribadi berjiwa kepahlawanan yang sanggup mengelola pelbagai kepentingan secara wasathiyah. Pribadi-pribadi yang wasathiyah menyata dalam impian sebagai berikut.
Pertama, dari sisi politik. Partai politik sebagai komunitas-komunitas politis yang kohesif serentak bermisi kohesif perlu terus berjuang untuk membangun peradaban demokrasi Indonesia. Jika para anggota partai politik telah saling percaya dalam membangun partainya maka semestinya sikap itu juga menjadi modal bagi mereka dalam menciptakan kesaling-percayaan terhadap partai-partai lainnya. Impian ini memang tidak mudah namun bukan mustahil. Koalisi antarpartai telah menunjukkan niatan ini. Namun, yang mesti diwaspadai bahwa bangunan koalisi bukan tanpa kepentingan. Apalagi jika terdapat lebih dari satu koalisi dengan landasan ideologinya yang berbeda-beda. Yang dapat merekatkan bangunan koalisi-koalisi adalah pengabdian pada negara dan bangsa yang satu dan sama dengan satu komitmen kebangsaan.
Jika partai politik memiliki komitmen kebangsaan maka mestinya komitmen dan keinginan atau kapasitas untuk hidup bersama dalam keharmonisan terjalin dalam satu keterlibatan bersama. Keterlibatan bersama atau lebih tepat pelibatan komitmen, keinginan dan kapasitas bersama menjadi bangunan harmonis di antara partai politik. Hari-hari menjelang tahun politik 2024 sungguh menjadi ujian terberat bagi partai politik dalam menciptakan dan membangun keharmonisan di antaranya.
Jika kehadiran partai politik dipandang sebagai rangkuman dari kehendak rakyat banyak maka ada sebuah kebutuhan kolektif yang perlu mendapat sentuhan komprehensif dari partai-partai politik. Kebutuhan itu disebut sebagai ‘kebutuhan kolektif’ untuk memperhatikan dan menyadari segala jenis diskriminasi, ketidaksetaraan dan marginalitas. Partai politik semestinya tampil sebagai ‘pejuang-pejuang kolektif’ untuk mengubah kembali segala jenis diskriminasi, ketidaksetaraan dan marginalitas yang ditemuinya dalam komunitas-komunitasnya menjadi komunitas-komunitas yang harmonis yang mengakui persamaan harkat dan martabat manusia. Singkatnya, partai yang mampu membawa dirinya menjadi partai yang wasathiyah.
Kedua, dari sisi keberagamaan. Orang-orang beragama dan beriman zaman sekarang untuk ‘berbalik prasangka’ dan tidak ‘berburuk gagas’ tentang satu sama lain. Kembali pada jalan yang sehat, jalan yang sesungguhnya, jalan yang dikehendaki oleh Tuhan melalui para nabinya dan kitab-kitab sucinya adalah pilihan yang sehat pula untuk menciptakan kebaikan bersama di bumi nusantara. Pribadi-pribadi beragama dan beriman demikian adalah pribadi-pribadi yang wasathiyah.
Agama dan identitas sosial lainnya merupakan fakta terberi bagi bangsa-negara Indonesia yang menjadi ‘keindahan Indonesia’. Fakta itu bukan menjadi penghalang dan pengganggu dalam mewujudkan kebangsaan Indonesia. Dia bukan menjadi alasan untuk ‘memisahkan Aku dan Engkau’ yang berbeda-beda. Dia justru menjadi mozaik terindah Indonesia yang harus selalu dirawat dan dirayakan keberadaannya.
Setiap kita yang memiliki jiwa kepahlawanan yang wasathiyah adalah pribadi-pribadi yang selalu memperjuangkan ‘ke-aku-engkau-an yang pluralis’. Aku yang menghormati dan mengakui keberadaanmu sebagai manusia dan engkaupun menghormati dan mengakui keberadannku pun sebagai manusia dengan segala karakteristiknya yang unik. Aku tidak memasang idealisme yang ada pada identitasku untuk menakar dan menilai praksis hidup dan identitasmu. Aku hidup dengan identitasku dan dirimu pun demikian. Identitas kita yang berwujud dalam alam dogmatis dan praksis politiknya memang berbeda. Namun kita satu dalam muara akhir yakni kebaikan bersama di dunia nyata dan keselamatan di dunia akhirat dengan mengedepankan komitmen kebangsaan yang satu dan sama. Selamat merayakan Hari Pahlawan, 10 November 2021! (*)
Tulisan yang sangat bagus yang dapat membuka pikiran kita dan mengingatkan kepada kita tentang perjuangan para pahlawan
Selamat hari pahlawan 🙏🙏💪
Mencerahkan 👍
Pribadi yang wasathiyah telah dicontohkan oleh para pahlawan kita, hingga mengantarkan negara kita mnjdi negara yang mendaulat kemerdekaan.
Selamat hari pahlawan 😇