Florentina Ina Wai
Alumnus Pascasarjana Universitas Taman Siswa Jogyakarta
Peringatan Hari Ibu, tiba lagi, 22 Desember. Biasanya pada momen ini kanal-kanal media sosial dibanjiri dengan ucapan kasih sayang, ungkapan Terima kasih, harapan dan doa kepada para Ibu. Setiap orang biasanya memaknainya dengan caranya masing-masing. Momen peringatan Hari Ibu kali ini berbarengan dengan persiapan jelang pesta demokrasi 2024. Saya coba memaknainya dari sisi itu sebagai salah satu refleksi di Hari Ibu ini.
Jika ditelisik peringatan hari Ibu dalam sejarah Indonesia tidak terlepas dari peristiwa Kongres Perempuan I yang diselenggarakan pada 22 Desember 1928. Bagi saya, momen ini merupakan sebuah titik awal dari bangkitnya gerakan perempuan sebelum kemerdekaan Indonesia. Jika demikian maka hemat saya peringatan hari Ibu ini pada dasarnya memiliki misi moral yang besar dalam menjaga kesadaran kaum perempuan untuk ikut terlibat atau berpartisipasi dalam perjuangan dan pergerakan nasional demi terwujudnya negara dan bangsa yang maju, adil dan makmur.
Saat kini, partisipasi dalam perjuangan dan pergerakan nasional tersebut menyata dalam bentuk partisipasi kaum wanita dalam dunia perpolitikan. Lebih tempatnya, keikutsertaannya untuk berpartisipasi di ruang sosial dan politik demi membangun peradaban bangsa dan negara.
Berbicara tentang hal itu dapatkan diframe kondisi partisipasi kaum perempuan saat ini. Pada umumnya disinyalir bahwa secara sosial dan politik, kondisi perempuan hari ini dapat digambarkan dengan menguatnya kesadaran gander yang tidak sejalan dengan praktek sosial yang terjadi. Dimaklumi pula bahwa saat ini wacana kesetaraan gender telah menguat melalui pelbagai kajian dan diskusi tentang hal itu. Bahkan cita-citanya telah dikuatkan melalui hukum negara dengan adanya upaya affirmative action.
Anggota KPU Betty Epsilon Idroos pada momen Focus Group Discussion Penyusunan Rancangan Teknokratik RPJMN 2025-2029 Bidang Politik dan Komunikasi Kementerian PPN Bappenas, di Jakarta, Selasa (3/10/2023) menegaskan bahwa lembaga demokrasi yang merepresentasikan semua kelompok masyarakat adalah cermin dari demokrasi yang sehat dan tangguh. Pemilu inklusif harus dapat menjangkau setiap kelompok masyarakat termasuk kaum perempuan agar memiliki akses yang sama dalam pemenuhan hak dan tanggung jawab sebagai warga negara.
Bagi Betty ada beberapa alasan perempuan untuk berperan dalam gelaran pesta demokrasi Pemilu 2024. Di antaranya, memberikan keseimbangan dalam mewarnai perumusan kebijakan dan peraturan perundang-undangan, dan pengawasan dan memberikan perempuan ruang berekspresi dalam menyampaikan kepentingan politik secara mandiri serta mengurangi tingkat diskriminasi terhadap perempuan. Hal itu sejalan dengan meningkatkan keadilan gender dalam ruang pendidikan, sosial, politik, budaya, dan agama. Menurut Betty, kepentingan inilah yang menyebabkan perempuan untuk Pemilu 2024 tetap harus berperan dan meningkatkan peranannya.
Patut ditegaskan bahwa dalam budaya yang didominasi oleh kaum laki-laki tak sulit menemukan seperti apa posisi kaum perempuannya dan relasi antar keduanya. Dalam konteks seperti itu, Pierre Bourdieu pernah mengatakan bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan didasarkan pada hubungan antara kelas dominan dan kelas yang didominasi. Hubungan tersebut terjadi sebagai akibat dari sistem patriarki dan konstruksi gender yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat (Pierre Bourdieu, Dominasi Maskulin, (La Domination Masculine) penterjemah: Stephanus Aswar Herwinarko, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 43). Menurutnya, dominasi maskulin merupakan produk dari suatu kerja reproduksi terus-menerus yang terjadi secara tidak sadar, terutama yang dilakukan oleh institusi keluarga, institusi agama dan institusi pendidikan.
Reproduksi yang demikian menempatkan kaum perempuan sebagai pelengkap kaum laki-laki yang kehadirannya dibutuhkan tidak sebagai yang utama. Saya berharap agar pelibatan kaum perempuan dalam daftar caleg tidak semata berbasis pada pemenuhan tata aturan tentang komposisi 30 % bagi kaum perempuan. Dalam konteks ini, gagasan Élise Féron, Kemi Ogunsanya dan Kwezi Mngqibisa serta Cate Buchanan patut diperhitungkan.
Menurut Féron (Élise Féron, “Gender and Peace Negotiations Why Gendering Peace Negotiations Multiplies Opportunities for Reconciliation,” dalam PIN Policy Brief, Agustus 2015:3), perempuan secara sosial terkondisikan untuk tidak melakukan kekerasan dibandingkan laki-laki, dan cenderung menggunakan dialog dalam memecahkan masalah. Sementara itu, Menurut Kemi Ogunsanya dan Kwezi Mngqibisa (Kemi Ogunsanya dan Kwezi Mngqibisa, “A Gender Perspective for Conflict Management,” dalam Occasional Paper, No. 4, 2000:2), perempuan memiliki keterampilan negosiasi yang baik.
Cate Buchanan (Cate Buchanan (editor), Pengelolaan Konflik di Indonesia – Sebuah Analisis Konflik di Maluku, Papua dan Poso, (Switzerland: Centre for Humanitarian Dialogue, 2011, 12-13) memberi contoh, isalnya dalam konflik di Ambon, Poso dan Aceh, tidak sedikit perempuan memimpin proses dialog antar-agama dan perdamaian di akar rumput, dan perempuan sering berhasil melakukan negosiasi dengan suaminya untuk meletakkan senjata. Perempuan juga memiliki peran penting di dalam keluarga, dan berpotensi menjadi aktor yang efektif, pembuat keputusan kunci, sekaligus penerima manfaat dari perdamaian. Contohnya, sebagai ibu dan pendidik utama, perempuan mengajarkan kesetaraan gender, menerapkan pola asuh yang demokratis dan menanamkan nilai-nilai toleransi dan moderasi beragama kepada anak-anaknya.
Demikian juga sebagai istri, perempuan dapat mempengaruhi suaminya untuk tidak terlibat dalam konflik dan kekerasan. Dengan kata lain, perempuan menjadi kekuatan sosial dalam mempromosikan perdamaian dan memiliki kapasitas yang besar untuk menyelesaikan konflik melalui cara-cara tanpa kekerasan. Namun dalam konteks ini, patut diingat catatan yang berikan oleh Lian Gogali bahwa ada perempuan yang terlibat dalam konflik dan melakukan kekerasan, bahkan menjadi kombatan yang berada di garis depan dalam pertempuran. Misalnya, dalam konflik Ambon, ada perempuan yang menjadi mata-mata, membantu orang-orang yang berperang, dan turut mengangkat senjata (Lian Gogali, dkk., Perempuan, Konflik dan Perdamaian: Tuturan Perempuan Korban dan Penyintas Konflik dan Perdamaian di Poso, Ambon dan Atambua, Kupang: JPIT, 2021, 256-260).
Politik itu penuh dengan kepentingan-kepentingan yang syarat konflik. Juga kadang menghadirkan diri dan dihadirkan sebagai medan penuh kekejaman. Dalam situasi politik yang memanas terutama jelang pemilu 2024 dan pasca pemilu dengan hadirnya kaum perempuan di parlemen, bangsa dan negara ini membutuhkan pribadi-pribadi yang hadir untuk ‘mendinginkan’ situasi dan mengkhawal masa depan perempuan Indonesia dari sisi kebijakan publik. Kehadiran mereka yang utama adalah misalnya mengkhawal implementasi Undang-undang Perlindungan Kekerasan Seksual. Karakteristik dominan kaum perempuan seperti yang dilukiskan di atas dibutuhkan di ruang-ruang politik.
Publik berharap agar jelang pesta demokrasi ini, pendidikan politik untuk mendorong kuantitas dan kualitas representasi perempuan dengan membangun tradisi literasi yang unggul demi terwujudnya intelektual perempuan yang memihak dalam ruang-ruang sosial. Sekiranya, publik senantiasa mendukung upaya peningkatan kualitas dan kuantitas peranan perempuan melalui instrumen Pemilu demi masa depan Indonesia yang adil dan beradab. Selamat memperingati hari Ibu dan selamat buat para Ibu di seantero Indonesia.***