Oleh: Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Fakultas Ilmu Politik Universidad Commplutense de Madrid – Spanyol
Saya menemukan dalam satu cuplikan video tentang dua ibu yang menari. Di bagian atas, Iriana Jokowi, ibu negara saat ini. Di bagian bawah, Siti Atikoh Supriyanti, istri Ganjar Pranowo.
Saya tidak sedang membandingkan antara dua gaya. Saya justru melihat keduanya dalam satu irama dan birama (kalau itu dilihat sebagai dirigen). Meski ada sedikit perbedaan tetapi hal itu sangat kecil. Dan menarik, perbedaan itu sedikit dipengaruhi oleh sang suami. Ibu Iriana memiliki goyangan yang begitu terukur. Sementara goyangan Atikoh sangat berirama dan ekspresif mengikuti sang suami.
Pada sisi lain dengan menulis tentang gaya menari mereka, tentu saya tidak bermaksud mengarahkan tulisan bernuansa politis, dengan menonjolkan yang satu (Atikoh dan Iriana) dan menghindarkan yang lain: Fery Farhati Ganis (istri Anies Rasyid Baswedan), dan Titiek Soeharto (ex istri Prabowo Subianto).
Alasannya karena saya belum melihat gaya menari Ibu Fery Farhati Ganis, istri Anies Baswedan. Tetapi kalau bisa menduga bahwa gaya istri dipengaruhi suami, maka bisa ditebak. Dalam beberapa cuplikan menari, Anies kelihatan lebih suka punya gaya menari sendiri (kadang tak seirama). Meski dangdut tetapi goayangannya ke keroncong. Saya tidak menyebutnya goyangan semrawut karena siapa tahu oleh ahli tarian justru dianggap terhebat dan terbaik.
Sementara Titiek Soeharto, sejak bercerai dari Prabowo Subianto pada tahun 1998, media tidak banyak meliputi Titiek sehingga saya pun tidak tahu gaya menarinya. Tetapi kalau bisa diduga geraknya Titiek dari gerak Prabowo yang pernah jadi suaminya selama 15 tahun menikah (1983-1998), bisa ditebak. Gaya Prabowo lebih ‘tradisional’ seperti gerak silat di mana ia jadi Ketua Pengurus Besar Pencak Silat Indonesia (2020-2025).
Lepas Berirama
Secara filosofis, tari memiliki tiga dasar: wiraga, wirama, dan wirasa. Wiraga berarti raga atau penampilan gerakan para penari. Di balik gerak itu ada maknanya. Misalnya bila penari wanita memutarkan pergelangan tangannya bermakna keluwesan atau kelembutan. Jika berkacak pinggang memiliki arti kekuasaan dalam karakter penari pria.
Wirama sementara itu tentu berkaitan dengan irama. Gerakan harus sesuai dengan iragama lagu. Cepat – lambat, kuat – lembutnya harus mengikuti lagu yang ditarikan. Di situlah terlihat indahnya. Kalau tarian bersama pasangan (misalnya dansa), maka si wanita akan membiarkan dirinya dibawa oleh pasangannya. Mungkin dalam perspektif ini kita bisa melihat betapa sang istri sangat terpengaruh oleh gaya suaminya. Karena itu, saya yakin tidak ada istri yang salah. Bila ada kesalahan maka itu adalah tanggungjawab suami karena ia hanya ‘ikut saja’.
Yang terakhir adalah wirasa atau rasa yang berarti penjiwaan, penghayatan, dan pengekspresian gerak dalam tari. Wirasa berarti mengekspresikan perasaan yang bisa dilakukan melalui gerak dan raut muka. Dalam arti ini maka kalau penari menari tetapi mukanya tidak mengekspresikan yang dialami hatinya maka bisa terbaca segera.
Dalam perspektif filosofis seperti ini dan sesuai judulnya, saya hanya fokus mengevaluasi gerak, irama, dan rasa dari Atikoh Ganjar karena gaya menarinya paling lepas, ekspresif dan mengikuti tiga dasar filosofis di atas.
Goyangan tangannya yang lepas, Atikoh mengekspresikan keluwesan tetapi pada saat bersamaan tentang kosnistensi. Ia tidak hanya tampil heboh keluar terutama juga ke dalam. Hal itu bisa terlihat dalam cara ia mendidik putera tunggal mereka Alam Ganjar. Ia menanamkan nilai begitu konsisten hal mana bisa tampak dalam cara penampilan si anak. Dalam diri Atikoh ada kesatuan gerak baik internal (yang ia tampilkan di keluarga) maupun yang ia tampilkan ke publik.
Dari segi irama, bisa terlihat antara Ganjar dan Atikoh saling memengaruhi. Hingga baru beberapa bulan terakhir saya jadi paham melihat gerak Ganjar setelah memahami siapa itu Atikoh. Sebelumnya, terpengaruh dengan penilaian PDIP sendiri (terutama petingginya oleh persaingan lebih mau menonjolkan Puan daripada Prabowo) yang bahkan melihat gaya Ganjar dengan segelah mata, sekadar ‘eksis di medsos’. Tetapi setelah mendengar wawancara Ganjar, Atikoh, dan Alam, saya baru sadar, apa yang ditampilkan Ganjar itulah sesuatu yang asli dan tidak dibuat-buat.
Yang jauh lebih menarik bahwa antara Ganjar dan Atikoh, dari segi wirasa, maka terlihat sebuah penjiwaan, penghayatan, dan pengekspresian apa adanya. Saya dan mungkin banyak pembaca sepakat (ada juga yang tentu saja tidak sepakat) bahwa antara Atikoh dan Ganjar terjalin sebuah rasa. Rasa itu yang kemudian mereka turunkan atau lebih tepat hadirkan dalam diri Alam Ganjar yang cerdas (bukan saja pintar) dan bijaksana.
Kalau dari segi wiraga, wirama, dan wirasa bisa terbukti seperti ini maka kita tidak terlalu jauh untuk mengangkatnya ke bidang politik apalagi memengaruhi orang. Lebih lagi karena apa yang dilihat dari segi tari tidak bisa dibenarkan dari segi ilmu politik maupun psikologi untuk bisa menyimpulkan bahwa seseorang itu jauh lebih baik atau tidak. Tetapi kalau menari bisa jadi pintu masuk untuk mengetahui kepribadian dan bisa menafsir filosofi yang ada di balik masing-masing kandidat maka itu bisa saja (tentu saja tidak ada pemaksaan).
Tidak hanya itu. Kalau terpaksa kita menariknya ke bidang politik maka sekali lagi penialian itu harus utuh seperti para ahli tarian berpendapat. Semua harus dinilai dari segi gerak, irama, dan rasa. Dari segi gerak agar kita tidak terkecoh hanya dari gerak-gerik luar dan omongan bualan kata yang ternyata lain di mulut lain di hati. Kita juga bisa menilai dari aspek lain terutama dari segi irama hidup. Dari sikap hidup (termasuk keluarga), kita bisa mengukur dalamnya irama yang dihayati seseorang. Dari sana kita baru bisa melihat kedalaman hati yakni soal rasa. Bila tiga pijakan filosofis ini kita benar-benar jadikan pijakan dalam menilai para capres, maka kita akan punya pilihan presiden yang tepat untuk memimpin negeri ini lima tahun ke depan. Kalau soal evaluasi dari sisi tari ini, orang NTT paling jago nah.. Dengan melihat gaya menari, mereka bisa tentukan pilihan mereka karena orang NTT itu jago memang dalam menari sehingga seperti sesama sopir angkot, tidak ada yang boleh mendahului mereka. ***