
Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa (STIPAR) Ende
Paus Leo XIV, yang sebelumnya dikenal sebagai Kardinal Robert Francis Prevost, terpilih sebagai Paus ke dua ratus enam puluh tujuh dalam Gereja Katolik Roma pada 8 Mei 2025. Ia menjadi Paus pertama dari Amerika Serikat dalam sejarah Gereja Katolik yang berusia lebih dari dua ribu tahun.
Dengan memilih nama Leo XIV, Prevost sepertinya ingin mengaitkan kepemimpinannya dengan warisan Paus Leo XIII (1878–1903). Paus Leo XIII dikenal karena keterbukaannya terhadap modernitas dan Ajaran Sosial Katolik yang lazimnya disebut Ajaran Sosial Gereja (ASG). Boleh jadi pilihan nama ini menjadi sinyal bahwa Paus Leo XIV akan melanjutkan semangat reformasi dan keterlibatan sosial yang kuat.
Banyak harapan terbersit di pelbagai media massa ketika Robert Francis Prevost ‘dihadirkan’ ke publik pada 8 Mei 2025 sesaat setelah asap putih membubung di cerobong Kapela Sistina. Sebagai paus pertama dari Amerika Serikat, banyak yang berharap Prevost akan membawa perspektif baru dalam kepemimpinan Gereja dan menanggapi tantangan zaman modern.
Dari pilihan nama “Leo” memberi sinyal berdasarkan Sejarah Kepausan, banyak yang berharap ia akan melanjutkan tradisi Paus Leo XIII dalam memperjuangkan hak-hak pekerja dan keadilan sosial yang gagasan-gagasan pokoknya tertuang dalam dokumen Rerum Novarum.
Rerum Novarum adalah ensiklik yang diterbitkan oleh Paus Leo XIII pada 15 Mei 1891, yang membahas kondisi kaum pekerja dan prinsip-prinsip sosial Katolik dalam menghadapi perubahan akibat Revolusi Industri. Dokumen ini menekankan beberapa gagasan pokok, di antaranya hak buruh dan keadilan sosial, hak milik pribadi, peran negara dan Gereja serta tentang serikat buruh. Paus Leo XIII menegaskan bahwa pekerja memiliki hak atas upah yang adil, kondisi kerja yang layak, dan perlindungan dari eksploitasi. Dalam situasi ini, Paus Leo XIII menegaskan bahwa Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak-hak pekerja dan memastikan kesejahteraan sosial tanpa terlalu banyak campur tangan dalam urusan ekonomi.
Di sisi lain, Paus Leo XIII mendesak pula kepada Gereja untuk berperan aktif dalam membimbing masyarakat menuju keadilan sosial dan kesejahteraan bersama. Sebagai salah satu langkah konkret dari gagasannya ini, dengan sepenuh hati Paus Leo XIII mendukung pembentukan serikat buruh sebagai cara bagi pekerja untuk melindungi hak-hak mereka dan memperjuangkan kondisi kerja yang lebih baik. Dalam perjalanan sejarah Gereja, dokumen ini menjadi dasar bagi ajaran sosial Gereja Katolik dan terus berpengaruh dalam kebijakan sosial hingga saat ini.
Atas dasar inilah, Paus Leo XIV diharapkan tetap mempertahankan nilai-nilai yang telah dikembangkan oleh pendahulunya Paus Fransiskus, termasuk perhatian terhadap lingkungan dan kesetaraan kemanusiaan. Boleh dikata, Prevost diharapkan untuk terus menjaga agar kesinambungan Ajaran Sosial Gereja tidak padam.
Bahkan sejumlah tokoh berharap agar Prevost akan lebih terbuka terhadap reformasi dalam gereja, termasuk peran perempuan dan pendekatan terhadap umat yang merasa terpinggirkan. Dengan kata lain, Prevost diharapkan dapat meningkatkan inklusivitas dalam Gereja yang ‘panggungnya’ telah disiapkan oleh Paus Fransiskus.
Di tengah mencuatnya harapan terhadap mantan Prefek Dikasteri untuk Para Uskup dan Presiden Komisi Kepausan untuk Amerika Latin dan pemimpin baru Gereja Katolik yang beranggotakan 1,4 miliar umat itu, terpampang pula sejumlah tantangan. Di antaranya, menjaga kesatuan di tengah polarisasi antara kelompok konservatif dan progresif dalam Gereja; elanjutkan reformasi struktural dan tata kelola yang dimulai oleh Paus Fransiskus; menangani isu-isu global seperti perubahan iklim, konflik internasional, dan krisis pengungsi.
Terkait konflik internasional, termasuk pula yang nasional dan lokal, pidato perdananya dari balkon Basilika Santo Petrus, Paus Leo XIV perlu disimak secara mendalam. Dalam pidato tersebut Prevost menyampaikan pesan damai dan persatuan yang disampaikan dalam bahasa Italia dan Spanyol, yang mencerminkan pengalaman misinya di Peru. Ia menekankan bahwa damai sejati berasal dari Allah, bukan dari kekuatan senjata atau kekuasaan duniawi.
Dalam pidatonya, ia berkata: “Damai menyertai kalian semua! Inilah damai dari Kristus yang bangkit. Damai tanpa senjata bahkan melucuti senjata, damai yang rendah hati dan gigih bertahan, damai yang berasal dari Allah, Allah yang mencintai kita semua tanpa syarat.”
Selain itu, ia mengajak segenap umat manusia untuk bersatu tanpa rasa takut, berjalan bersama dalam dialog dan kasih. Ia juga mengingatkan bahwa kepemimpinannya bukan hanya sebagai seorang Augustinian, tetapi sebagai gembala bagi seluruh umat. Karenanya, layak pula dikatakan bahwa pesan-pesannya ini memperkuat identitasnya sebagai pemimpin global yang menjembatani banyak budaya dan bahasa dalam Gereja Katolik yang universal.
Dan, pada titik-titik inilah tercermin apa yang saya sebutkan sebagai impian-impian akan terciptanya dunia yang indah dari hati, pikiran dan langkah tegas dari seorang Prevost, Paus Leo XIV. Umat Katolik dan masyarakat dunia berharap bahwa Paus Leo XIV akan menjadi pemimpin yang membawa harapan dan perdamaian di tengah berbagai tantangan global.
Dengan pengalaman misinya di Peru dan dedikasinya terhadap dialog antaragama, ia diharapkan dapat mendorong rekonsiliasi antara kelompok-kelompok yang terpecah serta menginspirasi solusi damai dalam konflik internasional. Pendekatannya yang inklusif dan penuh belas kasih menjadi harapan bagi banyak orang yang mendambakan keadilan sosial, kesejahteraan umat manusia, dan kesatuan dalam keberagaman. Sebagai pemimpin Gereja universal, ia memiliki peran penting dalam memperkuat solidaritas global, mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan, serta menegaskan bahwa perdamaian hanya dapat dicapai melalui kasih, dialog, dan keadilan.***