
Oleh: Robert Bala
Saat Paskah seperti ini saya ingat seorang guru saya. Namanya: Jesus Burgaleta. Tidak banyak yang sangat ingat dari dosen Pastoral Liturgi yang sangat βnyentrikβ itu. Tidak berpenampilan βsangat kudusβ. Biasa-biasa saja.
Cara mengajarnya aneh. Kalau menulis di papan, selalu dibuat gambar-gambar yang tidak mudah dipahami. Lebih lagi orang yang bukan berbahasa Ibu bahasa Spanyol. Teman-teman kuliah berasal dari Spanyol dan Amerika Latin. Semuanya berbahasa Spanyol sehingga tidak kesulitan. Ada dari luar tapi dari Portugal yang bahasanya βnyerempet-nyerempetβ sedikit dengan bahasa Spanyol.
Saya adalah βbicho ajenoβ (dibaca bico aheno) yang artinya βserangga anehβ di tengah mereka. Karena itu saya yakin, coretan-coretan Burgaleta dipahami oleh teman-teman sekelas (sekitar 20an orang). Kadang mereka tertawa, sementara saya agak terlambat tertawa karena mengertinya kemudian. Atau meski tidak mengerti tetapi saya ikut tertawa agar tidak dianggap βbichoβ serangga aneh di tengah para binatang.
Karena tahu diri dengan aneka keterbatasan maka saya selau mengambil waktu untuk membaca terlebih dahulu buku-buku Burgaleta sekadar βpele-pele anginβ. Meski tidak banyak mengerti juga tetapi minimal agar kalau dia bicara saya ikut tertawa (meski terlambat). Demikian tugas yang diberikan pun saya selalu kerjakan lebih awal karena tahu diri. Tugas saya harus dikoreksi oleh Atilano, superior saya yang sekaligus jadi pemeriksa tugas-tugas saya agar bahasa spanyol saya bisa dimengerti.
Ada tiga hal yang menurut saya aneh dari Burgaleta. Pertama, kalau ujian, dia edarkan list dan meminta setiap mahasiswa menulis angka / nilai berapa yang dikehendaki. Bagi dia, apa itu nilai kalau tidak kembali kepada diri masing-masing orang untuk melihat sejauh mana pengorbanan dan usaha yang dilaksanakan secara pribadi dengan sungguh-sungguh.
Saya paham cara ini. Kadang tidak semua yang ditanyakan guru/dosen juga bermutu sekali. Ada yang bermutu tetapi ada guru/dosen yang menanyakan hal dengan bobot yang tidak terlalu. Karenanya kalau kita salah belajar atau kita benar-benar belajar tetapi justru sang guru itu tanya hal lain maka apakah saya disebut bodoh? Tidak. Hanya salah belajar. Dia tanya A dan saya jawab B.
Tetapi tentang nilai itu Burgaleta memberikan beberapa panduan. Ia tidak akan menurunkan nilai yang sudah diberikan oleh mahasiswa. Misalnya mahasiswa A memberi nilai untuk dirinya β100β, Burgaleta tidak akan menurunkannya jadi 80. Tidak. Meski setelah membaca paper atau hasil dan ternyata kualitasnya di bawah, ia tidak akan mengubahnya.
Saya beruntung. Dalam sebuah tugas, saya memberi nilai untuk diri saya β80β karena saya anggap pas. Tetapi herannya, Burgaleta menaikkannya jadi β100β. Saya kemudian ingat, dia mengatakan kalau angka itu berada di bawah, maka ia akan naikkan.
Kedua, hal yang paling saya ingat dari Burgaleta adalah penegasaannya bahwa agama itu harus semanusiawi-manusiawi mungkin. Jangan ajarkan agama dengan cepat berlindung pada βmisteriβ. Baginya semua tradisi yang merupakan akumulasi kebijaksanaan selalu punya nilai yang manusiawi.
Poin inilah yang saya ingat ketika merayakan Tri Hari Suci. Kamis Putih meninggalkan pesan sederhana tentang makan. Cara makan Yesus kontroversial. Ia makan dengan siapa saja termasuk pendosa yang menurut adat Yahudi tidak boleh dilaksanakan. Burgaleta juga kemudian secara mengejutkan mengatakan bahwa Yesus dibunuh karena cara makanNya: Dia berbagi, memecah-mecahkan, mengedarkan piala. Ini adalah ritual yang bertentangan dengan βkesucianβ makan yang harus dijaga dan tidak dilakukan seperti yang Ia buat.
Penderitaan Yesus pada Jumat Agung, jangan terlalu βdidramatisirβ tentang penderitaan yang hebat. Yesus memang sangat menderita tetapi bukan itu yang harus terlalu ditonjolkan. Penderitaan yang besar kadang dianggap hanya Dia yang bisa sementara kehidupan yang penuh dengan penderitaan kecil di sekitar saya bisa saja dianggap βlewatβ begitu saja.
Karena itu pula Burgaleta mengatakan, agama itu harus semanusiawi mungkin. Jangan terlalu mendramatisir yang besar-besar dan lupa bahwa hal itu dilakukan dari hal yang kecil. Mukjizat 5 roti dan 2 ekor ikan adalah mukjizat dari kerelaan mengeluarkan sekecil apapun yang dimiliki untuk bisa berbagi. Bila semua keluarkan yang dimiliki maka dunia akan lepas dari kelaparan.
Demikian juga kebangkitan. Kebangkitan yang membuka batu penghalang adalah kekuatan ajaib. Itu menunjukkan betapa kedahsyatan Yesus sebagai putera Allah. Tetapi apakah kebangkitan βkecil-kecilanβ yang sedang saya lakukan juga patut saya syukuri? Ia telah melakukan yang besar dan saya secara manusiawi bisa melakukan hal kecil yang ada di sekitar saya.
Ketiga, pemikiran Burgaleta yang sederhana dan kecil-kecilan ini bukan tanpa kendala. Ia menjadi βsorotanβ penjaga kemurnian iman dari Vatikan. Beberapa saat ia tidak diizinkan mengajar secara umum kecuali di instut superior de Pastoral yang terkenal banyak kali βkepala batuβ. Tak heran ia dijuluki teolog progresif dan ada benar juga julukan ini. Di situ beberapa dosen lain seperti Felicisimo Martinez Diez, OP. Ahli moral ini juga tidak diperkenankan mengajar karena tafsirannya terlalu manusiawi tentang ajaran-ajaran moral. Dua dosen tua lain, Casiano Floristan dan Jose Luis Maldonado merupakan βbidikanβ Vatikan.
Singkatnya mereka semua βbersalahβ karena menafsir agama begitu sederhana dan manusiawi. Mereka terlalu jujur untuk mengangkat agama dalam level yang sederhana yang berusaha menjawab pertanyaan yang diajukan Masyarakat sederhana dan bukan mengajukan pertanyaan yang terlalu tinggi. Mereka banyak kali menanyakan bahkan mempertanyakan agama meski seperti kata Uskup Casaldiga:
Uskup Brazil Casaldiga (sebenarnya, nama lengkapnya adalah Dom Helder Camara, S.V.D.) adalah seorang uskup Katolik Brasil yang terkenal karena perannya dalam gerakan teologi pembebasan dan dukungan terhadap orang-orang miskin dan terpinggirkan. Ia adalah Uskup Agung SΓ£o Salvador da Bahia dari tahun 1965 hingga 1982, dan dikenal karena kritik tajamnya terhadap ketidakadilan sosial dan dukungan kuatnya untuk hak asasi manusia. Ia terkenal dengan ungkapannya: Ketika aku memberi makanan kepada orang miskin, mereka menyebut aku orang suci. Ketika aku bertanya mengapa mereka miskin, mereka menyebut aku komunis.
Kata-kata Casaldiga ini yang saya rasa tepat untuk saya kenakan untuk pengajar-pengajar saya yang banyak kali mempertanyakan hal aneh yang bisa saja tejradi dalam gereja (namanya juga gereja ada di dunia). Pertanyaan mereka dianggap berbahaya dan karena itu tidak diizinkan mengajar lalu para pengajar saya ini berkata: βKalau yang dipunyai seorang dosen hanyalah mengajar dan suara dan hak suaranya dicabut maka apa artinya?β Jadi mereka hanya jadi pelayan begitu saja tanpa mempertanyakan?
Yang mau ditanyakan bahwa beberapa teman dan sahabat saya menafsir agama dalam pengertian yang sangat kecil dan sederhana. Mereka hanya mau agar agama menjadi lebih manusiawi dengan memperhatikan hal-hal kecil yang menjadi pertanyaan umat. Dosen-dosen yang sangat βkiriβ ini kadang berkata: teologi kadang lebih peduli tentang pertanyaan yang diajukan oleh teolog-teolog yang bisa saja penting tetapi bagi umat itu yang tidak ditanyakan Teologi misalnya bisa mempertanyakan apakah malaikat itu laki-laki atau wanita? Pertanyaan menarik tetapi tidak penting. Yang jauh lebih penting adalah melayani pertanyaan umat dan kemudian dijawab dalam narasi yang membangkitkan dan memberi semangat.
Jadi apa artinya Paskah? Paskah adalah berdiri dan bangkit lagi utnuk melakukan hal-hal kecil. Paskah bukan melakukan hal-hal yang terlalu besar sehingga akhirnya merasa tidak mampu dan lebih memiih jadi penonton. Yesus melakukan hal-hal besar karena ia menanggung semua yang kecil-kecil dari seluruh umat manusia. Tetapi saya sendiri harus memiliki target yang kecil-kecil, yang manusiawi, sehingga terjangkau. Bila beberapa hal kecil saya lakukan maka diharapkan menjadi besar. Bisa toh? (*)
Robert Bala adalah penulis buku: MENGIRINGI KEMATIAN, 73 Renungan dalam Ibadat Kematian yang diterbitkan Penerbit Ledalero, Oktober 2024.