Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge
Staf Pengajar pada Stipar Atma Reksa
Hari-hari ini, Larantuka, kota kecil di ujung timur pulau Flores NTT seakan menjadi tempat tumpahan devosional-liturgis bagi umat Katolik dari pelbagai belahan dunia. Sejumlah hotel mulai didatangi para peziarah dan tamu, nasional maupun mancanegara. Sejak Sabtu, 12 April 2025, antusiasme warga Katolik akan ritual ini mulai nampak di setiap sudut kota pemilik Kerajaan Katolik tertua di Indonesia ini.
Setiap tahunnya, sekitar seminggu menjelang Paskah, umat ‘serani’ (Katolik) kota Larantuka di Flores Timur dengan khidmat merayakan Minggu Suci yang dikenal sebagai Semana Santa. Dari seluruh ritual yang dijalankan, ritual yang paling dikenal adalah prosesi Jumad Agung (Sesta Vera). Pusat perayaan diadakan di dua kapela, tempat dua arca suci ditahtakan, yaitu patung Yesus Kristus (warga lokal menamainya Tuan Ana) dan patung Perawan Maria (dinamai Tuan Ma). Kedua patung tersebut dibawa oleh misionaris Portugis Gaspardo Espírito Santo dan Agostinhode Madalena pada abad 16.
Larantuka juga dikenal dengan Kota Reinha yang merupakan ibu kota kabupaten Flores Timur. Kota ini memiliki pengaruh kuat kolonial Portugis dan dikenal sebagai salah satu tempat di mana agama Katolik berkembang di Indonesia. Lebih dari lima abad, kawasan ini telah mewarisi tradisi Katolik melalui peran masyarakat. Raja Larantuka, misionaris, persaudaraan para rasul dari rakyat biasa (Confreria), suku Semana, dan suku Kakang (suku Kakang Lewo Pulo), serta suku Pou (Suku Lema) telah memainkan peran penting dalam pengembangan Katolik di wilayah Larantuka.
Dalam acara Pekan Suci ini, kota Larantuka yang biasanya tenang berubah ramai karena disesaki peziarah dan jemaat dari berbagai daerah di Indonesia bahkan dari manca negara. Semana Santa dimulai dengan Rabu Trewa pada pertengahan minggu Paskah. Pada hari ini, warga berkumpul di Kapel Devotees dan berdoa untuk mengenang pengkhianatan Yudas Iskariot yang menyebabkan penangkapan Yesus. Ini adalah saat di mana kota Larantuka berubah menjadi Kota Berkabung, tenggelam dalam kekhidmatan dan refleksi pemurnian jiwa.
Pada hari Kamis Putih, kegiatan-kegiatan dan upacara tradisional didahului dengan perayaan ekaristi sekaligus Uskup Larantuka memberkati minyak krisma, minyak suci dan minyak permandian serta pembaruan janji ketaatan para imam kepada Uskup.
Sementara itu, Tuan Mardomu (mereka yang empunya ujud khusus yang menyiapkan segala perlengkapan perayaan semana santa) bersama kaum keluarganya, handai tolan dan umat melaksanakan “tikam turo”, tiang dari kayu kukung dengan rantai bambu sebagai tempat pemasangan lilin untuk devosi Prosesi Jumad Agung serta persipan-persiapan untuk membuat armida (tempat pentahtaan sakramen mahakudus).
Sesudah perayaan ekaristi, di kapela Tuan Ma, Conferia melaksanakan upacara “muda tuan” yaitu membersihkan, memandikan dan merias Patung Maria Dolorosa. Dalam busana biru lasuardi Patung Maria Mater Dolorosa (Tuan Ma) diletakkan di atas tumba (usungan) di tengah ruang kapela. Devosi dan ziarah imanpun dimulai.
Sang Bunda ‘dicium’ oleh para devoter. Pertama-tama Raja Larantuka beserta keluarga Raja, Badan Pemerintah Confereia dan selanjutnya pintu Kapela Tuan Ma dibuka untuk peziarah-peziarah iman. Setiap peziarah yang hendak mencium Tuan Ma sebelum masuk ke dalam kapela harus melepaskan alas kakinya dan berjalan dengan berlutut sampai di depan Tumba Tuan ma.
Suasana ziarah iman cium Tuan Ana dan cium Tuan Ma berlangsung sepanjang hari, semalam suntuk sampai dengan hari Jumad siang. Pada malam hari sesudah perayaan ekaristi perjamuan Tuhan diadakan upacara ibadat penyembahan Sakramen Mahakudus (Adorasi) di Gereja Katedral. Semalam suntuk sampai pagi hari umat mengadakan ziarah ke Gereja Katedral untuk menyembah Sakramen Maha Kudus.
Prosesi Jumat Agung atau Sesta Vera merupakan puncak dari rangkaian perayaan Semana Santa (pekan suci) Paskah. Prosesi ini menempatkan Yesus sebagai pusat ritual dan menempatkan BundaNya Maria sebagai ibu yang berkabung (Mater Dolorosa) karena menyaksikan penderitaan Yesus anaknya sebelum dan saat di salib.
Pagi sebelum puncak acara, arak-arakan patung Tuan Menino (bayi Yesus) dilakukan lewat laut dengan “Bero” (sampan pakai kate) dari Kapela Tuan Meninu di Paroki San Juan Lebao ke pantai Kuce di Pohon Sirih di wilayah Katedral Larantuka dan selanjutnya diarak ke Armida Tuan Meninu. Siang harinya dilanjutkan arak-arakan Tuan Ma dan Tuan Anna menuju Katedral. Dari titik inilah prosesi Sesta Vera dengan jutaan lilin dimulai. Selama malam Jumat Agung, lilin dinyalakan sepanjang kurang lebih 4 km di jalan dan di depan rumah penduduk yang dilalui prosesi.
Pada hari berikutnya, Sabtu pagi, diadakanlah devosi proses mengantar kembali Tuan Ana dan Tuan Ma ke Kapela Tuan Ana dan Kapela Ma. Devosi ini adalah kelanjutan dari Semana Santa. Suasana suka cita mulai terasa lewat lagu-lagu gembira Vergen Mai De Deo (Perawan dan Bunda Allah). Umat peziarah masih diberi kesempatan cium Tuan Ana dan Tuan Ma.
Kemudian konfreria melaksanakan ‘kesumi’ baik di Kapela Ma maupun di Kapela Tuan Ana. Patung Tuan Ma (Maria Mater Dolorosa) dan Tuan Ana disimpan kembali pada tempatnya semula. Sesudah kesumi di Kapela Tuan Ana dilangsungkan upacara tradisional “serah punto dama” dari Tuan Mardomu Promesa tahun berikutnya. Pada sore hari (malam hari diadakan perayaan Ekaristi kebangkitan Yesus Kristus semeriah-meriahnya di Gereja Katedral.
Pada hari minggu paskah diadakan prosesi Alleluya. Sekitar pukul 16.00 WITA patung Maria Alleluya diarak dari kapela Maria ke Gereja Reinha Rosari oleh Confreria dan umat lingkungan sekitarnya. Setibanya di Gereja, patung Maria Alleluya ditahtakan di samping altar, dan pada jam 17.00 dirayakan ekaristi kudus.
Perayaan misa Paskah bersama Maria Alleluya ini merupakan kegiatan akhir sepanjang semana santa baik liturgi maupun devosi. Kehadiran Maria Alleluya, Maria bersuka cita bersama umat yang merayakan ekaristi mulia kegembiraan kebangkitan ini merupakan wujud turut bersuka cita atas kemenangan dan kebangkitan putra tunggalnya Yesus Kristus dari alam maut setelah mengalami penderitaan maha dahsyat yang berakhir dengan wafat di kayu salib.
Perayaan ekaristi berakhir dengan perarakan patung Maria Alleluya kembali ke kapela Maria. Setibanya di kapela Maria, upacara devosi berakhir dengan nyanyian ‘Vergen Mai De Deo’. Pimpinan Confreria menutupnya dengan doa singkat. Setelah itu imam keluar dan mengambil tempat di depan pintu kapela, dan dengan salib imam memberikan berkat kepada umat yang hadir memenuhi pelataran kapela, juga bagi semua umat yang telah mengikuti upacara kebaktian sepanjang Semana Santa.
Di balik seluruh sujud syukur di momen semana santa, umat serani Kota Larantuka dan para peziarah baik lokal, nasional maupun mancanegara sedang berjuang menenun masa depan imannya. Iman yang sejati lahir dari kedalaman hati-batinnya, menguasai seluruh dirinya dan diwujud-nyatakan dalam kehidupan harian, kapan dan di mana saja.
Iman itu tidak hanya melekat dalam diri melainkan mesti didaratkan dalam kehidupan harian. Dia menjadi semacam oase yang menyejukkan ketika kehidupan sedang dikuasai oleh problema hidup yang panas membara. Dia menjadi mentari yang menghangatkan jiwa ketika kehidupan terdepak oleh dinginnya relasi sosial-ekonomis. Dia menghadirkan berkat tatkala pundi-pundi kehidupan telah tergerus oleh garangnya kehidupan. Hemat saya, inilah sisi transformatif keimanan yang diharapkan tercurah dari momen rohani ini.
Dia juga memberikan basis spiritual bagi jiwa-jiwa yang sedang gunda-gulana menapaki problem-problem hidup yang masih menggantung di meja-meja kepolisian-kejaksaan-pengadilan dan menyeruak di lorong-lorong rumah tahanan negara. Dia juga hadir untuk menegaskan identitas sosial dan posisi sosial seseorang di tengah masyarakat.
Dalam konteks yang lebih spesifik dari tilikan sosiologi agama, fenomena keberagamaan ini dipandang Peter L. Berger sebagai ‘kanopi suci’. Dalam bukunya The Sacred Canopy, Berger menyatakan bahwa agama memberikan “kanopi sakral” berupa kerangka makna yang membantu individu memahami siapa dirinya dan posisinya dalam dunia sosial.
Pada semua simbol yang dihadirkan dalam ritual ini dan pada setiap tindakan devosional dan liturgis yang dilewati para peziarah, terbaca pula identitas warga pengemban ritual ini yang darinya dapat ditarik kerangka makna yang memperjelas individu yang terlibat di dalamnya. Jika boleh meminjam pemikiran Victor Turner maka bolehlah dibilang ritual semana santa mengantar para pengembannya beralih dari dunia profan yang berkaitan dengan kehidupan harian dan masuk ke dalam ruang sakral dan selanjutnya keluar dari ruang tersebut kembali kepada dunia profan dengan membawa konsekuensi transformatif.
Perjumpaan dua dimensi ini pada gilirannya berdampak pada relasi-relasi kemanusiaan di dunia profan setelah ikatan relasional dengan yang adikodrati diteguhkan melalui devosi-liturgi dan tindakan-tindakan simbolisnya. Saya kira, jika ritual semana santa sungguh dijalani dengan penuh keimanan yang tak terlepas dari kemanusiaan, sesungguhnya transformasi iman dan transformasi sosial akan mengalir dengan derasnya. (*)