Demon De’i . Gambaran kampung ini seperti potret lawas hitam putih, menumbuhkan rasa melankolis seperti orang menatap potret sang kekasih: sendu dalam kelengangan jalan, diteduhi ribuan pohon pinang dan pohon besar lainnya. Berlatar belakang bukit, dan disaput kabut putih-metah, tipis tipis. Waktu serasa mendayu amat pelan, lalu membeku dalam sejuk udara. Tepatlah kampung ini disebut kampung di atas awan.
Kampung ini dengan bentangan tak seberapa panjang. Batas Utara, Timur, Selatan dan Barat berimpitan dengan julangan ribuan pohon pinang, seakan memagari kampung. Jarak ke kampung tetangga relatif jauh. Kampung ini laksana sepi sunyi sendiri. Warganya tak seberapa banyak. Kades Wilfridus Wulan menerangkan, ada 300-an warganya dari 173 Kepala Keluarga.
Ada tanah lapang di tengah kampung. Orang di setempat ini menyebutnya namang. Di tepi namang berdiri rumah adat dan korke, yang dipersepsikan sebagai simbol, kekuatan, jati diri orang kampung ini. Rerumahan warga dibangun berjejer ,membentuk blok bertingkat-tingkat mengikuti kontur tanah yang berbukit-bukit, dengan dibatasi antar blok rumah itu lorong dengan sedikit sentuhan semenisasi.
Pusat pemerintahan desa ini pernah berpindah ke wilayah pesisir pantai, tepatnya di Mewet, Desa Pandai Kecamatan Wotan Ulumado, kurang lebih 8 kilometer dari kampung ini. Itu terjadi antara tahun 1977/1978 akibat relokasi warga rawan bencana oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Flores Timur kala itu.
Warga dan Pusat Pemerintahan seluruh aktivitas warga di kampung ini atas kebijakan relokasi itu, dinyatakan dihentikan dan digeser ke wilayah pesisir Mewet yang relatif aman dari gempuran bencana longsor, banjir badai dan lain lain. Kampung ini dianggap etalase bencana kala itu.
Kampung ini, akibat relokasi itu, tiba-tiba bagai kampung mati. Kampung tanpa kesibukan. Tanpa riuh-ria lagi.
“Sisa 22 keluarga. Kami sisa itu yang tetap bertahan di sini, di kampung sini. Lainnya ke Mewet. Kami jaga kampung. Biarpun kami diterjang bencana,” ujar Mathias Mamun, seorang dari 22 KK yang bertahan kala itu, mengisahkan.
Pelbagai petuah tentang ketundukan pada jalannya alam semesta, kepercayaannya pada hubungan manusia dengan kekuatan elementer alam bebas, simbol-simbol kekuatan kampung, napak tilas sejarah kampung dari generasi ke generasi sebutlah semacam kepasrahan sekalipun sedikit berbau mitos. Hal itu mendorong Mamun dan 21 kepala keluarga lainnya memilih bertahan di kampung, tidak tergiur dengan bayangan hidup lebih mewah di pesisir pasca direlokasi dari kampung sebagaimana dikampanyekan para pemegang otoritas kala itu.
“Koke bale ini tidak bisa dipindah. Lubang untuk tiang koke bale tidak bisa digeser-geser. Tetap di situ dari dulu. Kami tetap jaga kampung ini. Jadi, lain orang ke Mewet, kami sedikit pilih tetap jaga kampung ini. Kami jaga koke bale, jaga kampung ini,” ucap Mamun dengan mata berkaca-kaca mengenang kala itu.
Dia mengisahkan untuk pilihan bertahan di kampung saat itu, mereka diancam bakal ditangkap pihak tentara jika tidak mau ikut relokasi ke pesisir.
Mamun dengan gigih membangun semacam perlawanan kepada pemerintah untuk tetap bertahan dengan secara sembunyi-sembunyi membangun dialog, bertemu orang-orang yang dia anggap penting di pemerintahan.
Dia mengirim pesan tentang keyakinan mereka yang sedikit berbau mitos itu ke berbagai pihak dan berharap memperoleh dukungan atas pilihan mereka. Selain itu, mereka beralasan, ragam komoditi berupa pinang, cengkeh, coklat, lada, yang selama ini menyangga kehidupan rumah tangga mereka, ada di sekitar kampung ini. Kalau pindah ke pesisir, risiko tidak terurus lagi karena jauhnya jarak. Ke pesisir tidak ada modal kecakapan yang mereka bawa dari gunung untuk segera adaptasi dengan corak hidup orang pesisir, melaut, berenang dan lain lain. Dia dan lainnya membayangkan betapa sulit hidup di pesisir dari darahnya sebagai orang gunung.
Sampai pula dia membawa aspirasi ke Pastor G. Kramer,SVD, Pastor Paroki Baniona kala itu. Demon De’i sebagai salah satu stasi wilayah pastoral Paroki Baniona.
Pater G. Kramerr menepuk bahunya. “Umat saya di atas (Demon De’i) biarkan tetap di atas. Jangan paksa mereka untuk turun, pergi tinggalkan kampung mereka. Negara kita negara Demokrasi, bukan negara Otokrasi,” tutur Mamun mengutip Pater G. Kramer, misionaris asal Nederland itu.
Sekalipun demikian, sebagian warga tetap pindah ke Mewet. Aktivitas pemerintahan desa pun berpindah ke Mewet, Desa Pandai saat ini.
Dengan berpindahnya pusat pemerintahan ke Mewet, ibu desa pun berubah. Demikian pula nama desa berganti dari Demon De’i menjadi Pandai. Demon De’i dengan 22 Kepala Keluarga berubah menjadi dusun.
Geliat kampung ini pasca relokasi ,kembali ke titik nol. Kampung lengang. Kampung yang dulunya sebagai ibu desa , serasa hilang,lenyap seketika disapu kebijakan relokasi.
Tak banyak aktivitas warga yang terlihat di kampung. Lebih banyak mereka hari hari di kebun, bahkan nginap beberapa hari di kebun untuk biasanya hari minggu mereka berkumpul usai gereja lalu ke kebun lagi. Begitu berjalan apa adanya di tengah perasaan haru biru mereka dicap sebagai pembangkang pemerintah.
Sekalipun demikian, mereka tetap memunyai pandangan, kehidupan orang per orang tak dikendalikan satu arah yang tunggal, yang kalkulatif. Bagi mereka, tetap meniti hidup di kampung mereka adalah artikukasi kebudayaan.
Karena beralih menjadi dusun, kampung ini bergerak lamban dari sentuhan pembangunan. Tetapi, penghayatan terhadap proses tampaknya menjadi hal yang utama dari kepasrahan hidup mereka. Mereka merasa sama beruntungnya
Mereka mengalir bagai air yang mengitari kampung mereka dari waktu ke waktu, dan di situlah letak ketekunan kesabaran yang berarti pula kekuatan. Mereka laksana arus air kali.
Sampai pada tahun 2006, kampung ini yang pasca relokasi menjadi dusun Desa Pandai, dimekarkan menjadi desa sendiri, tetap dengan nama Demon De’i.
Kampung yang nyaris hilang itu , kini hidup dan bergerak lagi di tengah kepungan ancaman bencana alam.
Kampung ini tetap potret lawas hitam-putih. Tetap menumbuhkan rasa melankolis. Rindu selalu ingin ke sini lagi. Mengendapkan energi. Karena dia memikat hati. Eh..!
Demon De’i. De’i Lewo Pulo, Suku Wungu Buto.
Beguitulah secuil kisal yang jadi ole ole dari Kampung Leluhur. (Kornel AT)