Oleh: Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Facultdad Ciencia Politica, Universidad Complutense de Madrid Spanyol
Penulis buku MEMAKNAI BADAI KEHIDUPAN (Penerbit Kanisius, Jogjakarta)
Terhadap orang yang tidak fokus pada satu sasaran, saya selalu menggunakan analogi anak kecil yang menginginkan balon. Setelah usai sebuah perayaan Ulang Tahun, balon-balon yang terpasang di area pesta akan direbut oleh anak-anak, khususnya balita.
Merebut balon tentu wajar-wajar saja. Balon merupakan sarana yang sangat menarik perhatian anak. Ia menjadi hiburan. Rasa senang karena selama perayaan, balon yang jadi alat dekorasi itu begitu menarik. Perhatian anak selalu terarah ke sana dengan harapan setelah usai perayaan mereka bisa memperolehnya.
Untuk anak-anak mereka juga bisa jadikan balon sebagai sarana olahraga, minimal untuk melatih ketermapilan motorik. Anak kadang harus berlari mengejar balon yang dengan mudah terlepas. Di situlah aneka keterampilan motorik bisa terjadi.
Tetapi apakah mungkin bisa memegang semau balon itu? Apakah bisa memegang semuanya dalam tangan yang nota bene sangat kecil? Inilah sebuah persoalan yang tidak mudah. Karena ingin memperoleh semua balon maka ujung-ujungnya tidak mendapatkan apa-apa. Tangan terlalu kecil untuk dapat memegang semuanya. Apalagi balon-balon itu oleh tekanan udara yang besar, ia bisa dengan mudah terbang dan akhirnya jauh.
Saya tidak bermaksud mengarahkan tulisan ini pada analoginya pada politik pilpres tetapi karena kita berada dalam suasana seperti ini, semakin saya hindari untuk tidak membahasnya, semakin besar pula dorongan dari dalamnya. Ya, jadi terpaksa saya kait(-kaitkan) dengan pilpres.
Yang saya maksud, pada Pilpres 2014, perbedaan Prabowo-Hatta: 62.576.444 (46,85 persen) Jokowi-JK: 70.997.851 (53,15 persen). Perbedaan itu tidak terlalu besar. Tetapi bagi Jokowi yang ‘pendatang baru’, ini sebuah kemenangan. Lebih lagi karena berhadapan dengan Prabowo dan Hatta yang saat itu didukung oleh Presiden SBY yang saat itu menjadi presiden. Meskipun SBY tidak ‘segenit’ Jokowi dalam melansirkan kepentingannya, tetapi sebagai penguasa, tidak bisa dihindari bahwa pengaruh itu ada.
Yang jadi pertanyaan, apa perbedaan kemenangan pada 2019 setelah Jokowi menjadi presiden 5 tahun? Ternyata Jokowi-Ma’ruf Amin hanya memperoleh 85.607.362 atau 55,50 persen suara, sedangkan perolehan suara Prabowo-Sandi sebanyak 68.650.239 atau 44,50 persen suara. Itu berarti, setelah 5 tahun menjadi penguasa, Jokowi hanya mengalami kenaikan 2,35% (yaitu dari 53,15% pada 2014 menjadi 55,50% pada 2019).
Di sinilah pertanyaan menarik ketika kita kaitkan dengan keinginan anak untuk memperoleh balon yang lebih banyak. Jokowi kemudian berasumsi, untuk melanjutkan pembangunan (katanya), lalu mulai merangkul parpol yang selama pilpres 2019 berseberangan dengannya. Lebih terutama menjadikan Gerindra sebagai ‘parpol pemerintah’.
Dalam benak Jokowi (ini bayangan saya), ia ingin agar rencana pembangunannya tidak ada halangan. Hal seperti ini ada benarnya. Tetapi Jokowi tidak menyangka (atau memang itu didisainnya), untuk menjadikan demokrasi tanpa lawan berarti. Ibarat anak kecil, ia tidak mau ada orang dewasa atau siapapun yang melarangnya untuk balon sebanyak-banayaknya. Dan terjadi seperti yang diiginkan.
Tetapi apa yang terjadi? Selama melewati periode ke-2, Jokowi sudah kelihatan galau tentang pilihan akhir. Ia akhirnya gamang. Di depan Prabowo, Jokowi mengatakan bahwa ia telah kalah 2 kali dengan Jokowi dan pada periode berikutnya (2024) adalah jatah Prabowo. Pada saat bersamaan, di depan PDIP, Jokowi mengatkaan bahwa ketika Ganjar dilantik, ia langsung dengan program kedaulatan pangan.
Di sinilah terlihat efek berebut Balon. Jokowi menjadi bingung sendiri. Ia lupa bahwa selama dua kali pilpres, basis dukungan yang diperoleh sudah maksimal. Sebaliknya kalau berkeinginan lebih dari itu akan menjadikannya binbung malah harus pandai ‘berbohong’ demi menyembunyikan kegalauan itu. Semuanya kemudian tidak perlu ditafsir lagi setelah keputusan MK meloloskan Gibran dan terutama ketika MKMK mengeluarkan keputusan tentang pelanggaran etik berat.
Jadi di mana akar kegalauan sekarang? Ada dua hal. Pertama, integrtias diri untuk menjaga yang ada dan tidak terlalu berkeinginan untuk terlalu jauh merebut (balon). Ia tahu bahwa selama 5 tahun memerintah, kenaikan hanya 2,35%. Meski kecil tetapi itulah basis dimana ia ada dan akan terus memberikan dukungan padanya. Bisa disebut, bahwa itu adalah batas maksimal dukungan yang bisa dimiliki. Dukungan itu tidak cukup karena secara ke dalam kekuatan itu besar yang mendorongnya mencapai pembangunan seperti yang sekrang ini.
Nyatanya, yang kecil, yang konssiten dengannya tidak dijaga. Kini Jokowi masih tetap optimis karena berada di antara lingkaran paropol besar tetapi ia tahu bahwa semuanya adalah persahabatan politik (yang tidak ada yang abadi). Hal itu tentu akan menjadi lebih jelas saat Jokowi sudah tidak berkuasa lagi. Kedua, pengalaman Jokowi mengingatkan bahwa dalam politik diperlukan konsisten dalam memilih. Dalam politik kita harus berhadapan dengan pilihan untuk menjaga yang kecil dengan jaminan jangka waktu yang lebih lama atau tergiur dengan pertimbangan jangka pendek. Pilihan ini yang kelihatan absen di tahun terakhir kepemimpinan Jokowi yang tentu hanya bisa jadi pembelajaran karena Jokowi sendiri sudah terlanjur terlibat dalam permainan ‘merebut balon’ yang terlalu banyak. ***