Oleh: Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia-Pasifik, Facultad Ciencia Politica, Universidad Complutense de Madrid, Spanyol
Penulis Buku MENNJADI FASILITATOR MENARIK, EFEKTIF DAN AKTUAL, Penerbit Kanisius Jogjakarta, cetakan ke-3
Pengandaian ini tentu tidak enak di telinga para pendukung ‘keras’ Ganjar – Mahfud. Yang mereka harapkan adalah menang. Kalah itu sebuah pengandaian yang tidak mau didengar. Karena itu semua usaha digalakkan demi kemenangan. Hanya satu kata: 𝒎𝒆𝒏𝒂𝒏𝒈-𝒎𝒆𝒏𝒂𝒏𝒈-𝒎𝒆𝒏𝒂𝒏𝒈. 𝑻𝒊𝒕𝒊𝒌. (katanya satu kata tetapi diulang 3 kali).
𝑻𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓𝒏𝒚𝒂 𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊𝒎𝒂𝒏𝒂? Tentu hasilnya diterima dengan tutup mata dan telinga. Maunya kalimat ‘kutukan’ itu meskipun diucapkan dan diperagakan tetapi tidak mau dengar dan lihat karena itu menyakitkan.
Hanya dalam setiap pertandingan, meskipun begitu menolak tetapi apapun harus diterima. Lantas kalau benar-benar kalah apa yang akan terjadi? Atau apa yang akan menjadi penyesalan tidak saja bagi para pendukung fanatik tetapi juga bagi Indonesia?
Berbagai survei yang terjadi, minimal yang begitu digadang-gadang dan selalu disebarluaskan oleh pendukung Prabowo-Gibran, angka pencapaian Ganjar – Mahfud selalu berada di bawah Prabowo-Gibran. Ada yang angkanya hanya beda tipis. Ada yang bahkan sudah mencapai 50 persen kemenangan Prabowo-Gibran dan karena itu diramalkan satu putaran.
Malah ketika pernyataan substansial tentang program dari Gibran yang ternyata sangat jauh dari kenyataan dan tidak hadirnya Gibran dalam beberapa diskusi, tetapi angkanya tetap di atas awan. 𝑴𝒆𝒏𝒖𝒓𝒖𝒕 𝒔𝒖𝒓𝒗𝒆𝒊 𝑰𝒏𝒅𝒐 𝑩𝒂𝒓𝒐𝒎𝒆𝒕𝒆𝒓 (𝒎𝒊𝒍𝒊𝒌 𝑴𝒖𝒉𝒂𝒎𝒎𝒂𝒅 𝑸𝒐𝒅𝒂𝒓𝒊, 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒅𝒆𝒌𝒂𝒕 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑷𝒓𝒂𝒃𝒐𝒘𝒐-𝑮𝒊𝒃𝒓𝒂𝒏) 𝒅𝒆𝒎𝒊𝒌𝒊𝒂𝒏 𝑪𝑵𝑵 11/11, 𝑮𝒊𝒃𝒓𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒆𝒍𝒆𝒌𝒕𝒂𝒃𝒊𝒍𝒊𝒕𝒂𝒔 19,6%, 𝑴𝒂𝒉𝒇𝒖𝒅 𝑴𝑫 15,7 𝒅𝒂𝒏 𝑴𝒖𝒉𝒂𝒊𝒎𝒊𝒏 𝑰𝒔𝒌𝒂𝒏𝒅𝒂𝒓 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 10,3%. Alasannya, katanya, kebanyakan memilih 𝑮𝒊𝒃𝒓𝒂𝒏 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒂𝒍𝒂𝒔𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊 𝒔𝒐𝒔𝒐𝒌 𝒑𝒊𝒏𝒕𝒂𝒓/𝒊𝒏𝒕𝒆𝒍𝒆𝒌𝒕𝒖𝒂𝒍 𝒅𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒂𝒏𝒂𝒌 𝒎𝒖𝒅𝒂.
Yang jadi pertanyaan, di mana ukuran kepintaran tersebut? Apakah pintar bicara, pintar dalam memainkan peran dalam drama korea, atau pintar dalam menyajikan fakta tentang 17 prioritas pembangunan Solo yang sumber dananya sebagian besar (untuk tidak mengatakan seluruhnya) berasal dari APBN dan bukan APBD?
𝑺𝒊𝒏𝒈𝒌𝒂𝒕𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒕𝒂-𝒅𝒂𝒕𝒂 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒔𝒖𝒓𝒗𝒆𝒊, 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒅𝒊𝒃𝒂𝒚𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒑𝒆𝒍𝒖𝒂𝒏𝒈 𝑮𝒂𝒏𝒋𝒂𝒓 – 𝑴𝒂𝒉𝒇𝒖𝒅 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒄𝒂𝒓𝒂 𝒌𝒖𝒂𝒍𝒊𝒕𝒂𝒔 𝒑𝒓𝒊𝒃𝒂𝒅𝒊 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒍𝒖𝒂𝒓𝒈𝒂 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒅𝒊𝒔𝒆𝒃𝒖𝒕 𝒕𝒆𝒓𝒃𝒂𝒊𝒌, 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒔𝒂𝒋𝒂 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒓𝒅𝒆𝒑𝒂𝒌 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒑𝒊𝒍𝒑𝒓𝒆𝒔 𝒏𝒂𝒏𝒕𝒊.
Lebih lagi kalau dalam survei tertentu, bahkan posisi dua yang selama ini ditempati oleh Ganjar-Mahfud, sekarang sudah mulai disalip oleh Anies – Muhaimin. Jadi peluang untuk kalah itu ada bahkan bisa disebut besar. Karena itu harus siap batin agar tidak menjadi terkejut kalau sampai hal yang tidak diinginkan itu justru terjadi.
𝑲𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒂𝒊 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒂𝒅𝒊, 𝒎𝒂𝒌𝒂 𝒂𝒑𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒂𝒓𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒍𝒊 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒊𝒔𝒆𝒔𝒂𝒍𝒊? 𝑨𝒑𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒏𝒈𝒔𝒂 𝒊𝒏𝒊 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒇𝒊𝒈𝒖𝒓 𝒑𝒐𝒕𝒆𝒏𝒔𝒊𝒂𝒍 𝒊𝒕𝒖 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒂𝒅𝒊.
𝑷𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂, 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒑𝒂𝒔𝒕𝒊 𝒎𝒆𝒏𝒚𝒂𝒚𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒔𝒐𝒂𝒍𝒂𝒏 𝒉𝒖𝒌𝒖𝒎 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒓𝒖𝒘𝒆𝒕 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒈𝒊𝒕𝒖 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒎𝒂𝒍𝒖 𝒍𝒂𝒈𝒊 𝒅𝒊𝒑𝒆𝒓𝒕𝒐𝒏𝒕𝒐𝒏𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒊 𝒑𝒖𝒃𝒍𝒊𝒌 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒓𝒖𝒔 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒃𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒊𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊-𝒋𝒂𝒅𝒊. Keputusan MKMK tentang pelanggaran etika berat oleh MK oleh Anwar Usman, menunjukkan bahwa begitu jelas di depan mata pelanggaran itu. Bukan lagi fitnah di belakang layar. Belasan profesor yang menajdi indikator terakhir akal sehat publik telah mengungkapkannya dan diproses dan akhirnya terbukti dnegan keputusan MKMK.
Persoalan hukum seperti ini juga mengingatkan bahwa ia telah menjadi hal umum yang terjadi. Di tangan ‘pak lurah’, tentu ada data-data valid tentang keterlibatan para ‘pemain’. Data-data itu sekaligus menjadi senjata yang ampuh untuk menentukan ‘timing’ kapan harus dibuka (dibisikkan demikian kata Jokowi) kepada KPK, kejaksaaan. Itu sudah disampaikan oleh Jokowi yang katanya ingin ‘gigit’ sendiri.
𝑱𝒂𝒅𝒊 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒖 𝑮𝒂𝒏𝒋𝒂𝒓 – 𝑴𝒂𝒉𝒇𝒖𝒅 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 ‘𝒍𝒐𝒍𝒐𝒔’ 𝒎𝒂𝒌𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒔𝒐𝒂𝒍𝒂𝒏 𝒓𝒖𝒏𝒚𝒂𝒎 𝒅𝒂𝒏 𝒓𝒖𝒘𝒆𝒕 𝒊𝒏𝒊 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒅𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊. 𝒀𝒂𝒏𝒈 𝒓𝒖𝒈𝒊 𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂? 𝑻𝒆𝒏𝒕𝒖 𝒃𝒂𝒏𝒈𝒔𝒂 𝒊𝒏𝒊 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒔𝒐𝒂𝒍𝒂𝒏 𝒓𝒖𝒏𝒚𝒂𝒎 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒊𝒂𝒕𝒂𝒔𝒊 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈-𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒌𝒐𝒎𝒑𝒆𝒕𝒆𝒏 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒓𝒆𝒌𝒂𝒎 𝒋𝒆𝒋𝒂𝒌 𝒚𝒂𝒏𝒈 ‘𝒂𝒅𝒖𝒉𝒂𝒊’, 𝒅𝒊𝒃𝒊𝒂𝒓𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒆𝒈𝒊𝒕𝒖 𝒔𝒂𝒋𝒂.
Kedua, 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒂𝒊 𝑮𝒂𝒏𝒋𝒂𝒓 – 𝑴𝒂𝒉𝒇𝒖𝒅 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒍𝒐𝒍𝒐𝒔, 𝒎𝒂𝒌𝒂 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒖 𝒌𝒆𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒎𝒐𝒎𝒆𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒂𝒕𝒂 𝒃𝒂𝒏𝒈𝒔𝒂 𝒊𝒏𝒊 𝒎𝒖𝒍𝒂𝒊 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒏𝒖𝒌𝒍𝒆𝒖𝒔 𝒕𝒆𝒓𝒌𝒆𝒄𝒊𝒍 𝒌𝒆𝒎𝒂𝒔𝒚𝒂𝒓𝒂𝒌𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒊𝒕𝒖 𝒌𝒆𝒍𝒖𝒂𝒓𝒈𝒂.
Banyak impian besar dan sebesar apapun kalau tidak dimulai dari hal terkecil yaitu keluarga, maka semua impian lainnya sia-sia belaka. 𝑲𝒆𝒍𝒖𝒂𝒓𝒈𝒂 𝒌𝒆𝒄𝒊𝒍 𝑮𝒂𝒏𝒋𝒂𝒓 – 𝑨𝒕𝒊𝒌𝒐𝒉 – 𝑨𝒍𝒂𝒎 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒕𝒐𝒏𝒕𝒐𝒏𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒎𝒃𝒆𝒍𝒂𝒋𝒂𝒓𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒂𝒈𝒂𝒌 𝒕𝒆𝒓𝒍𝒂𝒎𝒃𝒂𝒕 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒋𝒂𝒅𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒂𝒄𝒖𝒂𝒏. 𝑪𝒂𝒓𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒃𝒊𝒄𝒂𝒓𝒂 𝑨𝒍𝒂𝒎 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 ‘𝒃𝒆𝒓𝒊𝒔𝒊’ (tentu sangat jauh dari Gibran apalagi Kaesang) yang kalau dalam ‘lucu-lucuan’ mereka bisa disebut juaranya. Tetapi kalau dalam hal isi, sangat jauh meskipun ada segelintir generasi milenial yang suka akan hal-hal yang ‘gemoy’ seperti itu.
𝑯𝒋. 𝒁𝒂𝒊𝒛𝒂𝒕𝒐𝒆𝒏 𝑵𝒊𝒉𝒂𝒋𝒂𝒕𝒊, 𝑺𝑯. (𝒀𝒂𝒕𝒊𝒆) 𝒊𝒔𝒕𝒓𝒊 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝑴𝒂𝒉𝒇𝒖𝒅 𝑴𝑫 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒕𝒊𝒈𝒂 𝒂𝒏𝒂𝒌𝒏𝒚𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒆𝒏𝒅𝒊𝒅𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒊𝒌 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊 𝒅𝒐𝒌𝒕𝒆𝒓 (𝑰𝒌𝒘𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝑽𝒊𝒏𝒂) 𝒎𝒂𝒖𝒑𝒖𝒏 𝒉𝒖𝒌𝒖𝒎 (𝑨𝒌𝒃𝒂𝒓) 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒄𝒐𝒏𝒕𝒐𝒉 𝒕𝒆𝒓𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒔𝒆𝒄𝒂𝒓𝒂 𝒑𝒓𝒊𝒃𝒂𝒅𝒊 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒍𝒖𝒂𝒓𝒈𝒂 𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒆𝒓𝒑𝒂𝒅𝒖 𝒑𝒐𝒍𝒂 𝒑𝒆𝒏𝒅𝒊𝒅𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒔𝒂𝒌𝒔𝒊𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒉𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒂𝒅𝒂 𝒕𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒂𝒅𝒂 𝒌𝒆𝒔𝒂𝒏𝒈𝒔𝒊𝒂𝒏.
Kita tentu bersyukur bahwa bangsa sebagai keluarga harus dimulai dari inti yang paling dalam yakni keluarga. Karena itu kalau tidak sampai jadi capres dan cawapres sebenarnya yang rugi adalah bangsa ini bukan mereka. Keluarga kompak sudah mereka punyai dan bisa melewati masa tua aman dan damai. Yang akan menderita sebenarnya kita yang bahkan secara keluarga saja masih ‘ngos-ngosan’ apalagi mau urus bangsa dan negara ini.
Dan terakhir, 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒖 𝑮𝒂𝒏𝒋𝒂𝒓 – 𝑴𝒂𝒉𝒇𝒖𝒅 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒑𝒓𝒆𝒔𝒊𝒅𝒆𝒏, 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒖 𝒌𝒆𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒑𝒂𝒓𝒕𝒂𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒃𝒊𝒏𝒈𝒌𝒂𝒊𝒏𝒚𝒂. Partai politik di negeri ini yang begitu banyak, hampir semuanya ‘bermasalah’. Orang-orangnya yang pernah duduk di pemerintahan sudah punya sejarah yang buruk. Bisa disebut tidak ada partai yang perlu dibanggakan.
Tetapi apakah ada partai yang keburukannya masih ‘mendingan’? Kalau kita jujur dan tidak jatuh dalam fanatisme berlebihan maka tidak berlebihan kalau kita bisa katakan PDIP masih menjadi partai yang mendingan.
Itulah kesaksian dua orang penjaga parkir di Tangerang yang sempat kami terlibat dalam pembicaraan ala kadarnya penuh dengan ngalor-ngidul. Kedua orang ini hanya mengatakan, kalau ‘mikir-mikir’ PDIP masih menjadi partai yang bisa diandalkan mengawal bangsa ini.
Ini kesaksian orang kecil yang tentu bukan segalanya. Tetapi apa yang dikatakan dalam suasana kejujuran tentu merupakan sebauh kesaksian. Karena itu kala Ganjar – Mahfud kalah maka kita kehilangan partai yang membidani kelahiran figur kompeten.
PDIP telah melahirkan Jokowi dan tentu diharapkan bisa melahirkan Ganjar dan Mahfud sebagai Presiden dan Cawapres. Tapi kalau tidak jadi sesuai harapan maka kita kehilangan partai yang punya sejarah membidani kelahiran pemimpin dan mengawalnya hingga akhir. Jadi bagaimana? ***
Ssya yakin di Indonesia masih banyak orang yg memiliki otak waras, sehinggga tahu mana yg harus dipilih, ga berdasarkan fanatisme euforia menjelang pilpres saja……