Oleh: Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik Fakultas Ilmu Politik Universidad Complutense de Madrid Spanyol
Menjelang pilpres yang tinggal 6 (enam) bulan lagi, bukan semakin pasti memutuskan pilihan. Antara dua pilihan apakah Prabowo atau Pranowo, yang ada justru bingung. Saya tidak menempatkan Anies dalam daftar ini bukan karena menganggap dia tidak masuk hitungan. Tidak. Anies tetap masuk hitungan. Judul ini saya bataskan hanya dua nama karena nama itu mirip-mirip hanya beda 1 huruf: B dan P.
Artinya, kalau saja ada 4 capres dan satunya adalah Anies dan lain lagi Manies, tentu saya akan menggunakannya sebagai judul. Kali ini yang faktanya hanya dua nama yang mirip: Prabowo dan Pranowo. Kebetulan juga survei menempatkan keduanya di papan atas dengan beda tipis. Hasil survei indikator politik 15 – 21 Juli 2023, menempatkan Pranowo dengan perolehan 35,2%. Sementara itu Prabowo 33,2%. Ini ada perubahan sedikit karena dalam dua bulan terakhir yang justru yang selalu ada di atas adalah Prabowo. Ya kalau beda tipis begini jangan ‘GE-ER’ duluan ya?
Pertanyaannya: mengapa bingung? Saya bingung karena kalau mengikuti survei dua bulan terakhir, rasanya saya bisa menarik kesimpulan bahwa kali ini Prabowo akan menang. Dukungan Parpol dari Golkar dan PAN serta PKB menjadikan langkah Prabowo (meski tidak lancar dalam melangkah karena faktor ‘U’) kian lancar. Dengan feeling politik yang ‘apa adanya’, saya bisa pastikan bahwa kali ini akan dimenangkan oleh Prabowo.
Kehadiran Prabowo hemat saya bisa menjadi ‘penengah’ yang baik. Sejak berada bersama Jokowi (dan hal itu diakui sendiri Prabowo), dia melihat dari dekat cara kerja Jokowi yang luar biasa.
Selain itu, melihat program kerja yang luar biasa, bisa dipastikan bahwa Prabowo akan meneruskan semua program Jokowi (tidak seperti Anies yang mengumar ‘perubahan’. Tidak tahu apa yang bisa diubah kalau kepuasan masyarakat mencapai 80%).
Yang jadi pertanyaan, apakah Prabowo memang sudah benar-benar berubah? Pertanyaan ini sekaligus juga menyikapi kaum ‘kanan’ seperti FPI dan HTI yang di pilpres lalu cukup ‘dekat’, sekarang menjadi sangat ‘loyal’ dan ‘diam’. Jadi pertanyaan, apakah mereka memang diam, atau didiamkan, atau entah apalagi? Kalau mereka diam saja, bisa saja karena mereka sudah sadar. Tetapi kalau mereka ‘didiamkan’, maka siapa yang mendiamkan?
Tidak mudah menjawabnya. Tetapi kalau mengingat perkataan Buni Yani, yang menjadi salah satu ‘otak’ di balik pemenjaraan Ahok, bisa jadi pintu masuk untuk mencari jawabannya: Buni Yani Ungkap Tim Cyber Prabowo yang Edit Video Ahok Soal Surah Al-Maidah: Saya Memang Sudah Diincar (https://seputartangsel.pikiran-rakyat.com). Artinya, segala ‘keributan’ yang terjadi ternyata tidak bisa disebut ada dengan sendirinya. Ada tangan-tangan yang ikut ‘membantu’.
Semua kisah itu belum cukup kalau kita ingat juga janji mejemput Habib Rizieq kalau Prabowo menang Pilpres. Itu mengingatkan bahwa apa yang terjadi apakah dilupakan begitu saja atau harus diingat mengingat dapat menjadi jalan untuk memutuskan ke mana suara akan berlabuh?
Dari kejadian itu kita bertanya, apakah secepat itu Prabowo berubah? Apakah ada keyakinan bahwa setelah jadi Presiden, Prabowo tidak akan berubah karena memang ia terkenal dengan sebagai orang yang ‘mudah berubah?’
Terhadap hal ini orang Jawa juga bisa menjawabnya dengan berpatok pada ‘watuk’ dan ‘watak’. Kata orang Jawa, kalau watuk (batuk), orang bisa berubah. Hari ini pilek (apalagi banyak flu), kita bisa dengan mudah sembuh. Tetapi kalau soal watak, orang tidak dengan mudah berubah. Kalau sudah ‘wataknya’ berubah-ubah sesuai arah ‘angin’, maka tidak akan berubah. Jadi apakah perubahan Prabowo itu ‘batuk’ atau ‘watak?’ ya?
Kalau seperti ini maka arah politik yang makin menuju ke Prabowo justru buat saya (dan pembaca) galau. Apa benar nih? Apakah karena punya kemungkinan besar menang, lebih baik bergabung saja dengan Prabowo atau harus memilih mengikuti suara hati, siapa tahu semakin banyak orang bersuara hati baik dan memilih Pranowo?
Ya, maka giliran berikut, saya mau galau juga dengan Pranowo alias Ganjar. Dengan pengalaman tidak hanya selama 10 tahun ini saat menjadi partai pemenang pemilu mapun ketika menjadi ‘oposisi’, terbenarkan bahwa memang adanya partai yang membingkai seorang presiden sangat penting. Lebih lagi kalau ideologi dari partai itu benar-benar mengakar. Cara berpolitik Megawati yang mengedepankan bangsa dan tidak sekadar ‘mengedepankan’ anaknya (Puan) mentang-mentang karena berkuasa menjadi modal besar.
Selain itu, PDIP telah memahami kultur yang sudah dibangun, dihidupi, dan dilaksanan selama ini. Karena itu kalau PDIP mengorbitkan ‘anak ideologisnya’ yaitu Ganjar maka mestinya publik mengarahkan pilihan kepada Pranowo. Kita akan setuju dengan prinsip ini: Orang sejahat atau tidak hebat tetapi kalau berada pada sistema yang benar maka ia akan jadi benar. Sebaliknya orang hebat apapun tetapi kalau ‘salah asuh’ dan berada pada partai yang salah maka ia akan jadi buruk.
Pada tahapan ini maka sesungguhnya lebih baik memiliki sistema (partai) yang terbukti daripada mencoba-coba dengan partai yang masih ‘berubah-ubah’ dan kadernya pun terlihat tidak konsisten.
Tetapi kegalauan untuk Prabowo juga tidak sedikit. Apakah Pranowo akan sehebat Jokowi dalam memimpin RI 5 tahun ke depan? Apakah cara kerja Jokowi yang kadang sulit ditebak dan selalu membawa ‘surprise’ bisa dilaksanakan juga oleh Prabowo? Apakah berhadapan dengan tantangan ke depan yang tidak sedikit, Pranowo bisa hadir dan berani dalam menghadapi tantangan atau harus ‘ikut arus’ saja?
Inilah jadi pertanyaan yang bisa saja jadi kegalauan Jokowi. Jokowi berada pada pilihan yang tidak mudah. Ia butuh pemimpin berani yang berkomitmen pada pembangunan bangsa dengan mimpi-mimpi besar. Kalau soal ini maka pilihan akan jatuh pada Prabowo bukan Pranowo. Tetapi pada sisi lain, sebenarnya pertanyaan yang jauh lebh penting: apakah janji Prabowo itu akan benar-benar diwujudkan saat berkuasa atau apa yang dijanjikan sekarang hanya karena dia sekarang berada dengan Jokowi. Suatu saat dia bisa berubah karena hal itu sudah menjadi wataknya? Untuk hal ini tidak bisa dipastikan. Pengalaman memang sudah membuktikan bahwa Prabowo bisa berubah.
Kalau demikian apakah lebih baik memilih Pranowo saja dengan harapan bahwa kepemimpinannya yang belum ‘berani’ dan tidak ‘setegas’ Jokowi bisa berubah? Aduh, bingung lagi. Tetapi kalau ikut nurani, rasanya hati kecil mengatakan bahwa Pranowo masih memberikan optimisme. Minimal masa lalu belum membuat kita ragu-ragu, sambil berharap bahwa ia bisa menjadi lebih baik karena dilingkupi oleh orang-orang baik.
Itu menurut saya. Tentu pembaca bisa berbeda atau malah akhirnya ikut angguk sambil berkata: ‘baik sudah kalau begitu’. ***