Oleh: Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Universidad Complutense de Madrid Spanyol
Saat membaca tentang pertemuan Prabowo Subianto dan Budiman Sujatmiko, tangan saya terasa gatal ingin menulis. Gatal karena saya berasumsi, Budiman sudah keluar dari rel (PDIP).
Ada yang berkomentar, Budiman sudah setengah kaki di luar. Bisa dipahami. Dengan tidak punya posisi dalam kepempinan Megawati, ia bebas. Yang lain berpendapat, dengan bertemu Prabowo, Budiman sedang mencari-cari ‘tempat’.
Tetapi apakah dalam kegalauan Budiman dengan mudah menghapus prestasinya mas alalu? Atau apakah Prabowo benar-benar sudah berubah sehingga Budiman rela melakukan yang sudah terjadi?
Pertanyaan-pertanyaan ini bersifat spekulatif. Saya, seperti pembaca pada umumnya hanya bisa berandai-andai. Saya hanya bisa teropong hal ini dari kedekatan saya dengan Budiman antara tahun 2007-2009. Saat itu cukup sering kami bertemu baik dalam diskusi, seminar dengan topik tentang sosialisme di Amerika Latin. Tokoh-tokoh seperti: Salvador Allende, Fidel Castro, Che Guevara, dan Front Pembebasan Nasional Sandinista begitu sering dibicarakan. Juga Hugo Chavez, Fernando Lugo, Pepe Mujica, tidak absen. Karena pula oleh kedekatan dengan Lugo, saya ikut memfasilitasi hadirnya Budiman dan Rikard Bagun menghadiri pelantikan Fernando Lugo pada 15 Agustus 2008.
Dari diskusi yang intens dan kedekatn itu pula, Budiman tidak tinggal diam saat terjadi polemik tentang sosialisme. Dalam opininya: Sosialisme, Jiwa Konstitusi Kita (Kompas 5/3/2009), Budiman menyebut Ivan Hadar dan Robert Bala sebagai sesama pejuang sosialisme yang lebih bermanfaat dan bermartabat.
Tetapi itu belum cukup. Persahabatan pribadi hingga kami berdua makan bersama di rumahnya, juga bisa menjadi contoh. Budiman, demi mendalami gerakan sosialisme sambil belajar bahasa Spanyol. Saya terima karena ia seorang cerdas dan tidak akan butuh waktu terlalu lama.
Tetapi pertemuan itu belasan tahun lalu. Setelahnya kami jarang bertemu hingga membuat saya ragu-ragu apakah Budiman masih seperti yang dulu? Apakah ia masih seorang Sukarnois? Apakah semangat aktualisasi pemikiran agar lebih efektif dalam penerapan masih menjadi prioritasnya?
Untuk menjawab hal ini tentu saya tidak sebatas merujuk pada peristiwa seperti pertemuan dengan Prabowo Subianto sebagai satu-satunya kunci untuk menafsir. Hemat saya pertemuan itu merupakan hal kecil yang tidak usah terlampau digeneralisir. Atau terlalu naif kalau menyederhanakannya dengan melihat Budiman tengah ‘bermain api’ demi kepentingan dirinya.
Yang jauh lebih penting mengukur Sukarnoismenya Budiman dengan merujuk pada tulisan-tulisan Sukarno (1917-1925) yang dibukukan dalam ‘Di Bawah Bendera Revolusi’ (jilid 1 dan 2). Dalam buku ini tidak kurang Soekarno menilai ‘kolot’ pemikiran-pemikiran kaku (termasuk ajaran Islam). Baginya perlu kontekstualisasi dan aktualisasi sehingga pemikiran itu sesuai dengan zaman yang sedang dilewati.
Dalam perspektif ini bisa dipahami, setelah melihat Prabowo (sedikit) berubah setelah ‘diajarin’ Jokowi. Minimal melalui pengajaran itu, Prabowo jadi sadar bahwa ‘kedekatan’ dengan kelompok kanan demi mengemis suara terbukti gagal. Demikian janji menjemput Habib Rizieq bila menang mesti tidak terjadi lagi (kalau mau menang kali ini). Perubahan seperti inilah yang bisa meyakinkan Budiman bahwa perlu pada titik tertentu kita mengadakan kontekstualisasi pemikiran, dalamnya termasuk melihat secara baru Prabowo.
Menyiapkan Pemimpin
Pertanyaan lanjutan yang perlu dicermati, bagaimana memahami lebih lanjut kegalauan Budiman?
Pertama, pertemuan Budiman dengan Prabowo, sambil tidak melupakan pertemuan Efendy Simbolon dan Gibran Rakabuming sebelumnya perlu dilihat sebagai tanda-tanda alam. Artinya, terlepas dari ‘garis perintah partai’ (Megawati), riak-riak itu mengirim pesan perlu ‘duduk bersama’ antara Prabowo, Megawati, dan Jokowi.
Disebutkan demikian karena figur ketiganya mewakili pemikiran dan perjuangan kaum nasionalis, jangka panjang. Pada jangka pendek, yang perlu dilihat adalah kesinambungan pembangunan yang sudah ‘berdarah-darah’ diupayakan terutama selama pandemi. Adalah berbahaya bila kesinambungan itu dipinggirkan hanya demi mengejar kemenangan sepihak.
Pada sisinya, Jokowi, seperti dikatakan John C. Maxwell, bertugas menyiapkan penggantinya, hal mana mengindikasikan kebesaran seorang pemimpin. Ia tidak memusatkan kuasa padanya tetapi menyiapkan orang yang bisa melanjutkannya ketika dia sudah tidak ada.
Kedua, duduk bersama tidak berarti mensimplifikasi persoalan dan keputusan. Adanya perubahan pada Prabowo di bawah Jokowi tidak berarti melupakan strateginya selama pilpres. Kedekatannya pada kelompok Kanan demi ‘mengemis suara’ atau begitu mudahnya terkecoh Ratna Sarumpaet menggambarkan isi remuk Prabowo.
Adanya pertimbangan ini tidak berarti menjadikan Prabowo sebagai cawapres. Tidak sesederhana itu. Tetapi hal itu mesti jadi bahan pertimbangan saat duduk bersama. Demikian juga Ganjar. Gambaran tentang pemimpin yang tidak kuat (seakan disetir oleh Megawati) merupakan gambaran sosok pemimpin kuat yang didamba Jokowi dan masih harus dibuktikan pada Ganjar.
Ketiga, bila harus duduk bersama (dan itu harus) maka semestinya yang lebih didengarkan adalah orang yang punya pengalaman menang. Di antara Jokowi, Prabowo, dan Megawati, hanya Jokowi punya ‘CV’ untuk bisa bicara. Ia menang dalam 5 kali pemilu sementara Megawati dan Prabowo ‘nol besar’.
Prabowo, sebagai menterinya Jokowi dan belajar dari dekat, kelihatan sangat taat (meski tidak disebut ‘mati kutu di bawah Jokowi). Megawati bisa disebut kerap ‘over confidence’ sesakan pernah menang. Singkatnya, Megawati perlu merendah karena apa yang disampaikan Jokowi keluar dari kesaksian dan itu akan lebih menjamin.
Dalam perspektif ini, yang mau disampaikan Budiman, tidak lebih sebenarnya merupakan kegalauan Jokowi. Kalau demikian maka mendengarkan kegalauan Budiman berarti sedang berbicara tentang kegalauan Jokowi yang di baliknya kalau ditanggapi, akan membawa kemenangan berikutnya.***