Aksinews.id/Jakarta – Ketua Advokasi Masyarakat Sipil untuk Perubahan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (AMPUH TPPO), Gabriel Goa menilai lembaga ASEAN dalam menangani kasus perdagangan orang masih mandul. Menurutnya, Komisi Hak Asasi Manusia Antar Pemerintah ASEAN (AICHR atau ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights) mandul dan tidak jelas kerjanya.
Gabriel Goa mengatakan, hasil kesepakatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, NTT, 10 – 11 Mei 2023 lalu, Indonesia telah menekankan tiga (3) kesimpulan penting. Antara lain, soal perlindungan pekerja migran dan korban perdagangan orang (human trafficking atau trafficking in person).
Dalam diskusinya dengan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Human Trafficking, Gabriel Goa menyebutkan bahwa kejahatan perdagangan orang adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary) yang perlu penanganan dan tindakan pencegahan yang serius, dan kolaborasi semua pihak. Akan tetapi pemerintah harus mulai berbenah juga dari dalam. Misalnya, kata dia, dengan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO itu tak sekedar koordinasi yang melibatkan Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 22/2021. Tapi, “Harus sungguh-sungguh melibatkan banyak pihak di luar 24 Kementerian/Lembaga,” tandasnya.
Gabriel justeru mempertanyakan apa tugas msing-masing dari 24 kementerian/lembaga. “Data-data mereka apakah saling dikoordinasikan, adakah gugus tugas di 32 provinsi itu benar-benar diayomi dan berjuang sendiri-sendiri dengan anggaran dan masalah masing-masing? Belum lagi lembaga-lembaga internasional dan donor atas nama pembangunan, kerja-kerja mereka nggak jelas,” ungkap Gabriel, prihatin.
Dia mencontohkan, Komisi Hak-Hak Asasi Manusia Antar Pemerintah ASEAN (AICHR atau ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights) yang mandul dan nggak jelas kerjanya. “Mereka bergaya bak diplomat dan meniru gaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan style meeting-meeting, mereka mengadakan serial konsultasi tetapi tak berdampak ke regional, apalagi ke tingkat nasional, membuang waktu saja bicara tentang hak asasi manusia, komisionernya sendiri nggak bisa mandiri. Kasihan pak Jokowi berharap banyak dari ASEAN. Setelah kembali ke negara-negara masing-masing dari Labuan Bajo, NTT kampung saya, lupalah mereka,” ungkap Gabriel.
“Lembaga-lembaga internasional yang mengatasnamakan pemberantasan perdagangan orang dan negara-negara yang katanya concern dengan isu ini nggak pernah sustained. Pendekatan mereka selalu project, penuh dengan pengulangan kegiatan-kegiatan, repetisi program, menghabiskan duit tak jelas. Mungkin suatu saat kita tak perlu lagi lembaga-lembaga berlabel internasional kalau kita kuat di internal sendiri dalam pemberantasan perdagangan orang,” tegas Gabriel.
Dia meyakini masyarakat sipil di Indonesia atau LSM lokal mampu melakukan tindakan pencegahan perdagangan orang. Ya, “Masyarakat sipil atau LSM lokal bisa kok melakukan kegiatan pencegahan perdagangan orang dengan dibantu oleh pemerintah daerah atau pemerintah pusat, perlu kedepan ada lembaga atau badan khusus untuk itu yakni BNP TPPO (Badan Nasional Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang) yang bisa punya komitmen, program, anggaran dan untuk kepentingan Indonesia secara khusus,” ujarnya, mengusulkan.
Menurut dia, adanya BNP TPPO akan lebih mempermudah aktifitas pencegahan perdagangan orang. “Dana-dana yang dipergunakan lebih tepat sasaran untuk pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat pedesaan, terutama perempuan untuk membangun desa mereka, atau dengan mengikuti aturan bekerja (secara prosedural) sebagai pekerja migran yang diorganisir BP2MI dan BP3MI (Badan Pemerintah) sesuai amanat UU,” tandasnya.
“Saya baru berdiskusi dengan teman-teman aliansi masyarakat sipil anti human trafficking & drug trafficking dan Direktur Women Working Group, Nukila Evanty dan Presiden AWR Foundation, Ibu Ayuningtyas Widari yang selama ini banyak berhasil melakukan kegiatan di bidang-bidang kemanusiaan dan pemberdayaan masyarakat ini, diskusi kami saat ini sudah sampai tahap untuk perlunya masyarakat sipil yang mandiri bersinergi dengan pemangku kepentingan, komitmen pemerintah perlu kita implementasikan dalam bentuk action, pemerintah pusat harus bantu dan koordinasi dengan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO di daerah-daerah serta selalu terupdate,” ujarnya.
Dia menambahkan, “Jangan menganggap masyarakat sipil seperti kami ini sebagai lawan atau rival atau dianggap menyerang atau minta duit, tetapi kami adalah kawan kalian, kami bantu masyarakat kita, korban, survivor dan bawa kesejahteraan dan keadilan buat mereka”.(AN-01)