Mengais Harapan dari Medan Aksi Dolo-Dolo Ribuan Siswa di Kabupaten Lembata
Oleh: Anselmus D Atasoge
Komunitas Studi Kreatif Lintas Iman_Flores_NTT
Ribuan siswa Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Atas se-Kabupaten Lembata terlibat dalam tarian dolo-dolo. Momen itu merupakan momen penutup (boleh dibilang juga sebagai momen puncak) di Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei di tahun 2023.
Mereka bergandeng tangan, mengayunnya, menghentak kaki, bergeser ke kiri dan kanan, menebar senyum dengan berbusana daerah. Bisa dibayangkan betapa besar lingkaran yang dibentuk dan betapa panjangnya ‘barisan dolo-dolo’ itu. Tentu tidak mudah mengkoordinir ribuan siswa-siswi itu untuk membangun harmonisasi gerakan. Perlu latihan dan koordinasi yang tak sekali saja.
Itu hal teknis yang membutuhkan pendampingan dan kerja keras yang tekun, berulang-ulang. Butuh juga kesabaran. Kesabaran lahir dalam diri para pendamping dan para siswa yang terlibat demi menghasilkan sebuah harmoni yang layak jadi sebuah seni yang dipertunjukkan kepada khalayak ramai.
Saya hendak memberi catatan lanjutan dari medan aksi para siswa-siswa tersebut, tidak pada hal teknis yang menyata di lapangan melainkan lebih terfokus pada upaya mengais sisi pembelajarannya. Titik starnya adalah konsepsi dasar bahwa tarian dolo-dolo merupakan sebuah tarian simbolik yang dari kedalamannya terkandung pesan dan makna yang beragam.
Paul Avis memberikan pengertian substantif tentang simbol. Menurut Avis, simbol berarti membayangkan satu hal dalam bentuk yang lain (Paul Avis, God and The Creative Imagination, Metaphor, Symbol and Myth in Religion and Theology (London: Routledge 11 New Fetter Lane, 1991), 91). Ada dua aspek penting dalam pengertian ini yakni “membayangkan satu hal” dan “dalam bentuk yang lain”. Hal pertama berkaitan dengan tindakan membayangkan yang berhubungan erat dengan aktivitas imaginatif manusia. Hal kedua berkaitan dengan kemampuan manusia untuk mengabstrasikan sesuatu yang dibayangkan itu dalam bentuk tertentu.
Seseorang atau sekelompok orang yang membuat dan atau membaca simbol membutuhkan imaginasi. Ketika simbol digunakan dan ditanggapi atau dibaca arti dan maknanya, ketika itu imaginasi digunakan. Setiap orang atau kelompok yang membuat atau membaca simbol mengerahkan seluruh kekuatan kreatifnya. Tindakan penyimbolan tersebut menuntut sikap aktif dari pencipta simbol tersebut.
Demikian pula, untuk sampai pada pemahaman yang komprehensif terhadap sebuah simbol, para pencari arti dan makna simbol diharuskan untuk berpartisipasi di dalamnya hingga masuk ke dalam imaginasi tersebut dengan terlibat langsung dan aktif dalam realitas yang diimaginasikan tersebut. Sebab, menurut Avis, imaginasi adalah lingkungan simbolisme.
Bagi Avis, bentuk merupakan kunci untuk simbol. Simbol diabstrasikan dalam bentuk serentak pula mengandung esensi dari simbol. Bentuk membuat simbol menjadi nyata. Bentuk membuat apa yang diimaginasikan dapat diindrai.
Jauh sebelum Avis, Susanne Langer menghubungkan simbol dengan aktivitas intelektual dan merupakan tindakan pemikiran yang esensial. Menurutnya, kemampuan untuk melambangkan sesuatu menjadi kemampuan khas manusia yang membedakannya dari segala tingkatan animitas. Melalui simbol, manusia mengungkapkan isi inteleknya (Susanne K. Langer, Philosophy in a New Key. A Study in the Symbolism of Reason, Rite, and Art (The New American Library, 1948), 72).
Melalui kemampuan membuat simbol, manusia memahami dunia dan menemukan makna di dalam kehidupannya. Dengan simbol-simbol, manusia bergerak melampaui lingkungannya yang proses penciptaannya terjalin melalui imaginasi. Dan, bagi Langer, kemampuan untuk memahami simbol merupakan ciri mental yang paling khas dari manusia. Melalui simbol-simbol, kehidupan mental dan emosional manusia terorganisir dan mengalami perkembangan.
Bagi saya, ‘dolo-dolo’ merupakan sebuah bentuk simbolik yang imaginatif yang menghadirkan sejuta makna. Dari gambaran singkat tentang teknikalitas tarian dolo-dolo di atas terbaca sebuah lukisan imaginative tersebut yakni tentang idealisme kehidupan umat manusia yang empunya latar belakang sosio-budaya dan sosio-religi yang berbeda-beda. Idealisme imaginatif yang dimaksud adalah kohesitas. Dengan kata lain, dalam tarian tersebut dideskripsikan sebuah impian tentang kesatuan umat manusia dalam semangat kohesivitas atau harmoni sosial.
Kesatuan umat manusia dalam semangat kohesivitas atau harmoni sosial telah digagaskan sekaligus menjadi cita-cita agama-agama dunia. Cita-cita tersebut dapat dirujuk pada Konstitusi Madinah yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW pada tahun 622. Konstitusi Madinah berisikan perjanjian formal antara Nabi Muhammad dengan suku-suku dan kaum-kaum penting di Madinah dengan tujuan menghentikan pertentangan antara bani ‘Aus dan bani Khazraj. Dokumen menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi dan komunitas-komunitas pagan Madinah. Impian akhir Konstitusi Madinah adalah terciptanya suatu kesatuan komunitas manusia (ummah) tanpa pertentangan.
Cita-cita harmoni sosial juga telah menjadi perhatian Gereja Katolik. Dekrit Nostra Aetate, yang diumumkan oleh Paus Paulus VI, pada 23 Oktober 1965 suatu pandangan positif Gereja Katolik tentang agama-agama non-Kristen, serta dorongan bagi warganya untuk membangun dialog dan kerja sama dengan penganut agama-agama lain. Nostra Aetate dimulai dengan menyebutkan bahwa semua bangsa merupakan satu masyarakat yang mempunyai satu asal dan menyatakan bahwa Allah menghendaki agar segenap umat manusia mendiami seluruh muka bumi.
Dalam perspektif Gereja Katolik, semua manusia mempunyai satu tujuan terakhir yakni Allah sebagai penyelenggara kehidupan dan penyelamat semua manusia. Nostra Aetate ditutup dengan gagasan bahwa semua manusia terangkum dalam persaudaraan semesta. Di dalam persaudaraan semesta, hubungan antara manusia dengan Allah dan manusia dengan sesamanya terjalin erat di atas dasar cinta kasih. Melalui Nostra Aetate, Gereja Katolik mengharapkan para anggotanya untuk memilihara cara hidup yang baik yakni hidup dalam damai dengan semua orang.
Dokumen Human Fraternity (Persaudaraan Manusia) yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb di Abu Dhabi pada tanggal 4 Pebruari 2019, patut disebutkan sebagai sebuah dokumen yang mengemban misi kohesivitas masyarakat beragama. Spirit Human Fraternity adalah memaknai agama bukan sebagai tembok yang memisahkan para penganut agama, melainkan sebagai jembatan yang menghantar para penganut agama untuk bertemu dan berdamai dengan para penganut agama yang lain.
Dokumen ini menegaskan bahwa agama yang kemudian melahirkan iman mesti menuntun orang beriman untuk memandang dalam diri orang lain seorang saudara lelaki atau perempuan untuk didukung dan dikasihi. Melalui iman pada Allah, yang telah menciptakan alam semesta, ciptaan, dan seluruh umat manusia, umat beriman dipanggil untuk menyatakan persaudaraan manusia ini dengan melindungi ciptaan dan seluruh alam semesta serta mendukung semua orang, terutama mereka yang paling miskin dan yang paling membutuhkan.
‘Dolo-dolo’nya ribuan siswa-siswi di Kabupaten Lembata sekiranya dapat dibaca dalam salah satu perspektif yang digagaskan. Impian akhirnya bukan pada meriahnya momen tersebut melainkan pada pembelajaran lanjutan yang tak boleh terputus oleh selesainya kemeriahan perayaan Hardiknas tersebut. Ia akan selalu dikenang, ia pun akan menjadi terkenal ketika idealisme yang dikandungnya mengejawantah dalam kesadaran akan pluralistik kehidupan dan berbuah dalam tindakan yang kohesif, tindakan yang membangun kesatuan demi Tanah Lepan Batan dan Indonesia tercinta.***
Super ama. Tksh.