Oleh: Dominggus Elcid Li, PhD
Sejak lama isu perdagangan orang (human trafficking) di Indonesia tidak diperhatikan sebagai masalah serius. Definisi perdagangan orang dalam pasal 1 UU No.21/2007 adalah: _Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang terekploitasi.
Jika dibandingkan dengan road map investasi Indonesia yang bisa disusun hingga 30 tahun ke depan, hampir bisa dipastikan tidak ada perencanaan tentang bagaimana menanggulangi perdagangan orang di Indonesia untuk 1 tahun ke depan sekalipun dalam perspektif pertahanan (defense) dan keamanan (security). Bahkan hampir bisa dipastikan dalam level Kementrian Pertahanan Republik Indonesia yang dipimpin Letjen (Purn.) Prabowo, tidak mempunyai grand design tentang bagaimana bagaimana konsep pertahanan dan keamanan anti perdagangan orang.
Negara dan Kebijakan (Policy)
Ada beberapa hal yang menyebabkan Republik Indonesia masih terlambat dalam mengeluarkan kebijakan terkait perdagangan orang. Pertama, persoalan perdagangan orang, hanya dianggap sebagai persoalan administrasi ketenagakerjaan. Dalam perspektif para pejabat Indonesia bahkan dalam posisi pembuat kebijakan, persoalan perdagangan orang hingga hari ini belum dilihat sebagai persoalan keamanan (security), maupun pertahanan (defense), sehingga slogan dominan yang muncul hanya lah sebatas TKI Prosedural atau TKI Non prosedural. Perdagangan orang hingga hari ini tidak pernah diletakan sebagai sebuah persoalan extraordinary crime (kejahatan luar biasa).
Dengan hanya meletakan persoalan perdagangan orang sebatas persoalan administrasi ketenagakerjaan semata, strategi pertahanan dan keamanan tidak mungkin dibuat. Akibatnya jejaring kriminal lintas negara yang beroperasi bebas di Indonesia tidak tersentuh. Lebih buruk lagi, sekian ragam aparat negara yang berasal dari berbagai institusi yang terlibat dalam jejaring perdagangan orang dapat beroperasi dengan bebas di di dalam berbagai institusi negara Indonesia dan kebal hukum.
Kedua, kodifikasi hukum Indonesia masih lemah dan tertinggal dalam merespons tantangan akibat globalisasi khususnya kejahatan terkait jaringan kriminal global. Misalnya, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) No.21 Tahun 2007 yang mengacu pada Palermo Protocol (2000) memang sudah diberlakukan di Indonesia belum mempunyai fondasi yang cukup yang membuatnya mungkin berlaku dengan efektif. Salah satunya penyebabnya adalah Undang-Undang hasil ratifikasi, tidak menuliskan ‘analisa gap’ (gap analysis) dalam naskah akademik yang isinya membuka keterbatasan UU TPPO karena keterkaitan dengan UU lain yang sudah ada sebelumnya, maupun tantangan terkait kompleksitas institusi negara yang berhubungan dengan: (1) kewenangan antara institusi, (2) mekanisme kerja antar institusi negara menangani masalah terkait.
Ketiga, seharusnya UU Pertahanan No 3. Tahun 2002 tidak hanya meletakan persoalan pertahanan negara hanya sebatas ‘wilayah negara’ dan ‘bangsa’ Indonesia, namun sudah mampu meletakan ancaman dalam perspektif pertahanan dan keamanan terhadap ‘warga negara’ dalam kaitannya dengan globalisasi. Ancaman terhadap warga negara Indonesia yang terkait dengan jejaring kriminal global hingga hari ini belum mendapatkan tanggapan yang berarti dari Menteri Pertahanan.
Misalnya seluruh wilayah pantura (pantai utara Pulau Jawa) merupakan zona rekrumen jaringan kriminal perdagangan orang yang terutama berasal dari jejaring kapal ikan asal RRT dan Taiwan yang beroperasi secara global. Para pelaut yang dibuang ke laut, diperbudak di atas kapal belum menjadi perhatian serius negara Indonesia. Jika seluruh persoalan ini hanya dibebankan kepada Kementrian Luar Negeri, hampir dipastikan para duta besar hanya sebatas menulis ‘nama dan derita korban’ semata. Namun jika pertahanan dan keamanan termasuk di dalamnya berurusan dengan perlindungan warga negara terhadap aksi kriminal jaringan global maka proses pencegahan yang seharusnya bisa dilakukan di dalam wilayah Republik Indonesia. Dengan cara ini jejaring kriminal global yang beroperasi di wilayah Indonesia bisa diperangi.
Hal yang sama berlaku untuk kegiatan kriminal yang berada di sekitar Selat Malaka, dimana Pelabuhan di Batam menjadi salah satu simpul utamanya. Batam sebagai simpul utama merupakan perlintasan korban perdagangan orang yang terutama berasal dari NTB, NTT, dan Jawa Timur.
Kelima, Gereja Katholik seluruh dunia secara khusus memberikan perhatian terhadap perbudakan moderen (modern slavery) yang di dalamnya termasuk perdagangan orang. Ini bisa ditelusuri dari jejak tertulis sejak tahun 2002 dari era Paus Yohanes Paulus II hingga Paus Fransiskus saat ini. Paus Fransiskus sebagai pimpinan Gereja Katholik sangat memberi perhatian untuk korban perdagangan orang sebagai korban kejahatan jaringan kriminal global. Gereja Katholik secara khusus memberi perhatian kepada korban perdagangan orang, migran dan pengungsi _(refugees)_. Khusus untuk perdagangan orang bisa dibaca pada ‘Orientasi Pastoral tentang Perdagangan Orang’.
Persoalan aktual
Di Indonesia, khususnya di wilayah Keuskupan Pangkal Pinang, Romo Paschal (Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus (Romo Paschal), yang mengepalai Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP) melayani para korban perdagangan orang dalam shelter Theresia. Sesuai dengan prinsip kemanusiaan Gereja Katholik, mereka yang dilayani sebagai korban adalah semua manusia tanpa diskriminasi. Korban adalah korban dalam perspektif kemanusiaan.
Batam sebagai simpul kejahatan kriminal perdagangan orang merupakan simpul kunci. Jika hingga hari ini Dubes RI untuk Malaysia mengeluhkan 4500 kasus yang tidak bisa diselesaikan. Di level peradilan ini bisa disebabkan karena lemahnya kejaksaan Malaysia, tetapi di level pencegahan di dalam negeri Indonesia hal ini disebabkan karena ‘lemahnya regulasi’ dan antisipasi terhadap kejahatan global.
Berdasarkan hasil investigasi salah satu aktivis kemanusiaan, duit haram yang beredar dari bisnis perdagangan orang sebesar 300 juta rupiah per hari di titik Pelabuhan Batam Center. Jumlah ini akan berlipat puluhan kali nilainya, jika dihitung dengan analisa _supply chain_. Di level perekrut tangan pertama satu kepala hanya dibayar 400 ribu hingga 1,5 juta rupiah, sedangkan di posisi perekrut besar satu kepala dihargai dengan 30-40 juta rupiah. Salah satu film dokumenter yang dihasilkan BBC London terkait perdagangan orang (2 Maret 2023) merupakan salah satu dokumentasi terlengkap yang memetakan jalur perdagangan orang Kupang-Batam-Malaysia menyinggung soal model jaringan putus yang amat sulit dibuka.
Konteks protes kami terkait kasus Romo Paschal adalah: Pada tanggal 12 Januari 2023 Romo Paschal bersurat kepada Kepala BIN (Badan Intelijen Negara), Jend.(Purn) Budi Gunawan (BG) untuk menertibkan Wakabinda Batam, Kolonel Bambang Panji Priyanggodo, karena diduga melakukan pelanggaran kode etik (Pasal 4 huruf h, Peraturan Kepala Badan Intelijen Negara Republik Indonesia No.7 Tahun 2017) karena Bambang Panji Priyangodo melakukan intervensi terhadap kepolisian setempat dalam hal meminta pembebasan pelaku tindak pidana pengiriman pekerja migran secara non prosedural kepada Kapolsek Pelabuhan Barelang, yang membawahi Pelabuhan Batam Center, pada tanggal 7 Oktober 2022 (Surat itu ada pada BIN). Saat itu 5 orang pelaku diamankan oleh polisi, beserta 6 orang korban. Tiga (3) orang korban kemudian diserahkan kepada KKPMP dalam hal ini Romo Paschal sebagai ketuanya untuk tinggal di Shelter Theresia sambil menunggu proses hukum.
Berhadapan dengan persoalan ini tidak cukup konteks persoalan hanya dilihat sekedar persoalan Romo vs Kolonel Bambang. Sebab motif intervensi pembebasan pelaku yang dilakukan oleh Wakabinda yang berasal dari TNI Angkatan Darat bisa bermacam-macam dan motif sebenarnya hanya diketahui oleh yang bersangkutan. Kekeliruan utama Wakabinda Batam adalah sebagai anggota BIN ia melakukan intervensi terhadap sistem peradilan (sipil).
Persoalannya menjadi lebih pelik jika seluruh aparat dari berbagai institusi terkait ‘penyebrangan manusia’ ke negeri jiran dibaca dengan menggunakan analisa supply chain perdagangan orang. Sangat mungkin orang kecil yang minta dibebaskan oleh Wakabinda cuma merupakan pion dalam perdagangan orang. Sedangkan cukong besarnya tidak pernah tertangkap, karena kemampuan pertahanan dan keamanan Indonesia amat lemah, bahkan sekian institusinya menjadi sarang korupsi yang disebabkan oleh penyalahgunaan wewenang, karena tidak diatur.
Rekomendasi
Persoalan ini membutuhkan campur tangan Presiden Joko Widodo, Menteri Pertahanan dan Keamanan, Menkopolhukam, KSAD dan Kapolri. Sebab kekosongan perspektif pertahanan dan keamanan dalam membaca perdagangan orang di level negara implikasinya sangat serius di tingkat praktis. Karena tak hanya aparat keamanan dengan kewenangan luar biasa semacam BIN (Badan Intelijen Negara) sekali pun terlihat tidak mempunyai kepekaan terhadap kasus. Sebagai sebuah institusi BIN harus mempunyai program anti perdagangan orang. Namun itu hanya mungkin jika tanggungjawab aparat negara ini juga meliputi keselamatan warga negara dari ancaman jaringan kriminal global (melintasi batas negara). Sebab cukup aneh BIN bisa bekerja mengurus vaksinasi, namun tidak punya program anti perdagangan orang.
Rekomendasi utama dari tulisan ini adalah: (1) UU Pertahanan No.3 Tahun 2002 perlu direvisi dengan salah satunya memasukan ancaman terhadap ‘warga negara’ dari jaringan kriminal global sebagai salah satu point pentingnya, sebab pertahanan dalam konteks terkini bukan hanya ‘soal tanah air’ maupun ‘bangsa’. Dengan globalisasi yang didorong oleh teknologi informasi, transportasi, maupun menyatunya sistem finansial maka definisi ancaman terhadap warga negara perlu dipikirkan secara menyeluruh. Jaringan kriminal global yang mengancam warga negara rentan yang menyasar rakyat, umat, dan kaum marhaen seharusnya dihadapi bersama-sama. Kajian ancaman globalisasi terhadap warga negara perlu ada dalam kajian pertahanan.
(2) Langkah selanjutnya adalah UU Tindak Pidana Perdagangan Orang No.21 Tahun 2007 perlu dibaca dan dikaji secara serius di level Kementrian Pertahanan dan Menkopolhukam, sehingga ada pemahaman yang sama di level aparat negara yang memengang kendali elemen koersif negara, khususnya BIN (Badan Intelijen Negara), TNI AD, AL, dan AU maupun POLRI.
(3) Secara khusus pembenahan persoalan perdagangan orang bisa dipetakan secara saksama di bawah pimpinan Menkopolhukam, Prof.Mahfud MD. Sebagai salah seorang ahli hukum yang ada dalam posisi eksekutif pemerintahan, perlu membantu menyelesaikan kesenjangan kodifikasi hukum terkait perdagangan orang perlu. Tanpa adanya ini mafia perdagangan orang senantiasa dipermudah dan bersembunyi dalam alibi administrasi ketenagakerjaan semata.
Terakhir, kami sebagai warga negara prihatin dengan kondisi perpolitikan saat ini yang membuat para pejabat kunci seolah tidak mampu mengambil keputusan apa pun menyangkut persoalan prinsipil dalam kehidupan bernegara. Dalam hidup bernegara seharusnya seluruh pejabat negara menyampingkan persoalan kontestasi, faksi politik terkait Pemilu 2024 dalam berbagai insitusi negara. Seharusnya para pejabat negara fokus untuk membenahi institusi-institusi negara dalam Republik Indonesia agar tidak kalah dari jaringan kriminal global. Hanya dengan cara warga negara tidak menjadi mangsa dari globalisasi maupun ekspansi negara lain yang memanfaatkan jaringan kriminal dan sekian instrumen lain yang tidak mudah terbaca. Di bagian ini negara khususnya dengan satuan-satuan intelijennya perlu berbenah secara serius. Kita sebagai bangsa Indonesia tidak boleh kalah! ***
Penulis adalah Sosiolog, peneliti IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change), dan anggota Aliansi Warga NKRI Tolak Perbudakan dan Perdagangan Orang.