Oleh: Nurchasan
ASN pada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Ende
Sejarah perjalanan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia telah dimulai jauh sebelum era Reformasi, yaitu pada era Orde Lama dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Perpu ini mengatur tentang perkara-perkara pidana yang menyangkut keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari negara atau masyarakat misalnya bank, koperasi dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan pelaku tindak pidana, serta pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan tersebut.
Beberapa kasus korupsi yang muncul dimedia pada masa itu diantaranya dalam Koran Pantjawarta terdapat berita tentang 14 pegawai negeri yang terbukti melakukan tindakan korupsi pada 11 April 1960, kasus korupsi yang melibatkan Yayasan Masjid Istiqlal pada tahun 1961, kasus korupsi di RSUP Semarang pada 25 Januari 1964, korupsi dalam sebuah perusahaan semen pada 24 Maret 1964.
Kasus-kasus korupsi yang terjadi pada era Orde Lama kebanyakan terjadi karena kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahannya sehingga banyak orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan situasi tersebut untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Hal tersebut bisa terjadi karena pada era Orde Lama, negara Indonesia terbilang masih baru sehingga sistem pemerintahan yang ada di Indonesia juga masih belum stabil.
Seiring dengan pergantian pemerintahan dari Presiden Soekarno pada era Orde Lama ke Presiden Soeharto pada era Orde Baru, pemberantasan korupsi pada era Orde Baru ditandai dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) oleh Presiden Soeharto. TPK diketuai oleh Jaksa Agung. Beberapa kasus korupsi pada awal era Orde Baru diantaranya kasus dugaan korupsi yang terjadi di sejumlah institusi dan perusahaan negara, antara lain di Pertamina tahun 1969, Bulog pada tahun 1970, PN Telekomunikasi pada tahun 1970, dan Jajasan Pers dan Grafika pada tahun 1969. TPK mengusut kasus-kasus dugaan korupsi tersebut dengan berlandaskan pada Perpu No. 24 Tahun 1960. Pengusutan kasus dugaan korupsi oleh TPK tidak berhasil seperti yang diharapkan. TPK dianggap gagal dalam menangani dugaan kasus korupsi besar sehingga memicu demo mahasiswa dan pelajar pada tahun 1970.
Guna merespon protes mahasiswa, Presiden Soeharto kemudian membentuk Komisi Empat. Komisi Empat adalah sebuah badan pemberantasan korupsi pemerintah Indonesia yang dibentuk pada 31 Januari 1970 oleh Presiden Soeharo. Mohammad Hatta ditunjuk sebagai penasehat komisi tersebut dan mantan Perdana Menteri Wilopo sebagai ketua, dengan anggota Prof Johannes (mantan rektor Universitas Gajah Mada), I.J. Kasimo (Partai Katolik Indonesia), dan A. Tjokroaminoto (PSII). Salah satu pencapaian besar dari Komisi Empat adalah kasus Presiden Direktur Pertamina, meskipun pada akhirnya kasus tersebut ditutup hanya sebagai kesalahan manajemen.
Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai bentuk pelaksanaan UU tersebut dan gagalnya lembaga Komite Empat, pemerintah kemudian membentuk “OPSTIB” (Operasi tertib) yang dipimpin oleh Laksamana Sudomo berdasarkan Inpres No. 9/1977.
Lahirnya UU Nomor 3 Tahun 1971 tidak serta merta dapat memberantas korupsi pada era Orde Baru, korupsi pada era Orde Baru menggurita dari level paling kecil sampai yang paling besar. Di tingkat pemerintahan, korupsi terjadi dari tingkat terendah di desa/kelurahan sampai Departemen/Lembaga di pusat. Pengurusan dokumen kependudukan, perizinan, penganggaran, perpajakan, jual beli perkara di pengadilan juga marak terjadi korupsi, pun demikian di perusahaan negara, korupsi menjadi hal yang lumrah. Bahkah pada era Orde Baru ada istilah ABS (Asal Bapak Senang) yang menggambarkan suatu yang dilakukan untuk menyenangkan pimpinan apapun cara yang dilakukan.
Maraknya kasus tindak pidana korupsi pada era Orde Baru menandakan bahwa pemberantasan korupsi pada era tersebut dinilai tidak efektif. Hal ini terjadi karena adanya pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab pada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Di samping itu, belum berfungsinya kontrol sosial dari masyarakat terhadap penyelenggaraan negara. Pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab tersebut tidak hanya berdampak negatif di bidang politik, namun juga di bidang ekonomi dan moneter, antara lain terjadinya praktik penyelenggaraan negara yang lebih menguntungkan kelompok tertentu dan memberi peluang terhadap tumbuhnya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme tersebut tidak hanya dilakukan oleh Penyelenggara Negara, antar-Penyelenggara Negara, melainkan juga Penyelenggara Negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni, dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta membahayakan eksistensi negara.
Pada era Reformasi, pemerintah telah berupaya semaksimal mungkin, agar penyelenggaraan pemerintahan berjalan dengan baik (good governance) dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-undang ini memuat ketentuan yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme yang khusus ditujukan kepada para Penyelenggara Negara dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara.
Agar pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara dapat berjalan efektif, pada tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Ada tiga strategi pemberantasan korupsi yang dijalankan oleh KPK yang disebut “Trisula Pemberantasan Korupsi” yaitu Sula Penindakan, Sula Pencegahan dan Sula Pendidikan. Sula Penindakan adalah strategi represif KPK dalam menyeret koruptor ke meja hijau, membacakan tuntutan, serta menghadirkan saksi-saksi dan alat bukti yang menguatkan. Strategi ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu penanganan laporan aduan masyarakat, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi. Sula Pencegahan mencakup perbaikan pada sistem sehingga meminimalisasi terjadinya tindak pidana korupsi. Pada strategi ini, KPK akan melakukan berbagai kajian untuk kemudian memberikan rekomendasi kepada kementerian atau lembaga terkait untuk melakukan langkah perbaikan. Sula Pendidikan digalakkan dengan kampanye dan edukasi untuk menyamakan pemahaman dan persepsi masyarakat tentang tindak pidana korupsi, bahwa korupsi berdampak buruk dan harus diperangi bersama. Melalui Sula Pendidikan, KPK ingin membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai dampak korupsi, mengajak masyarakat terlibat dalam gerakan pemberantasan korupsi, serta membangun perilaku dan budaya antikorupsi.
Dalam melaksanakan tugasnya, KPK memiliki kewenangan untuk melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Dalam penerapannya, OTT menjadi salah satu instrumen hukum yang cukup ampuh untuk melakukan penindakan tindak pidana korupsi di Indonesia, karena pelaku yang terjerat sangat sulit mengelak dari kejahatannya. Upaya ini juga akan mempercepat proses hukum terhadap suatu kasus korupsi, karena sudah nampak jelas peristiwa pidananya yang biasanya berupa suap menyuap, jelas siapa pelakunya, dan bukti dari kejahatan sudah didapatkan.
Tidak tanggung-tanggung, OTT yang dilakukan KPK telah berhasil menangkap pelaku hingga diproses pengadilan sampai dimasukkan ke penjara, diantaranya Menteri, Anggota DPR, Hakim Agung, Pimpinan Partai Politik, Jenderal di Kepolisian, Jaksa Agung, Pimpinan di Kementerian/Lembaga, Kepala Daerah, hingga Pengusaha. Masifnya OTT dapat menjadi indikator peningkatan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum. Makin tingginya kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum dapat mendorong pelaporan kasus korupsi kepada lembaga tersebut. OTT yang dilakukan KPK di kurun waktu 2016-2019 menjadikan KPK sebagai lembaga yang paling dipercaya publik pada tahun 2019, bahkan mengungguli Presiden yang ada di urutan kedua.
Untuk mempercepat pemberantasan korupsi, Presiden juga mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Presiden menginstruksikan beberapa program percepatan pemberantasan korupsi yang harus dilakukan oleh jajaran pemerintahan baik di pusat maupun di daerah, salah satunya yaitu menetapkan program dan wilayah yang menjadi lingkup tugas, wewenang dan tanggung jawabnya sebagai program dan wilayah bebas korupsi
Pemerintah menyadari bahwa pencegahan korupsi perlu dilakukan secara lebih optimal, sehingga dibutuhkan upaya yang dilaksanakan bersama oleh kementerian, lembaga, pemerintah daerah, pemangku kepentingan lainnya, dan KPK dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Pemerintah terus berupaya mencegah korupsi dengan berfokus pada perizinan dan tata niaga, keuangan negara dan penegakan hukum dan reformasi birokrasi. Salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam penegakan hukum dan reformasi birokrasi diantaranya adalah terciptanya tata kelola pemerintahan dan budaya birokrasi antikorupsi serta kapabilitas Aparatur Sipil Negara (ASN) yang profesional dan berintegritas.
Reformasi birokrasi merupakan salah satu langkah awal untuk melakukan penataan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan yang baik, efektif dan efisien, sehingga dapat melayani masyarakat secara cepat, tepat, dan profesional. Grand Design Reformasi Birokrasi yang dicanangkan pemerintah menargetkan tercapainya tiga sasaran hasil utama yaitu peningkatan kapasitas dan akuntabilitas organisasi, pemerintah yang bersih dan bebas KKN, serta peningkatan pelayanan publik.
Untuk mempercepat pencapaian sasaran reformasi birokrasi di lingkungan pemerintahan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi, terakhir diperbarui dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2021 tentang Pembangunan dan Evaluasi Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani di Instansi Pemerintah.
Dalam Permenpan-RB tersebut, komitmen pemberantasan korupsi diwujudkan dalam bentuk Zona Integritas (ZI) dalam lingkup Kementerian Negara/Lembagan/Pemerintah Daerah, yang dicirikan dengan adanya program pencegahan korupsi yang konkret sebagai bagian dari upaya percepatan reformasi birokrasi dan peningkatan pelayanan publik, disertai dengan sosialisasi dan upaya penerapan program tersebut secara konsisten.
Kunci utama dalam konsep Zona Integritas menurut Permenpan RB ada dua, yaitu :
- Pembangunan zona integritas terinspirasi dari konsep “island of integrity” yang merupakan praktik lebih jauh dari eksistensi pengembangan keilmuan administrasi publik dan tata kelola pemerintahan. Island of integrity merupakan suatu kondisi dimana unit kerja instansi pemerintah yang “imun” dan mampu memberikan tata kelola yang terbaik meskipun instansi pemerintah disekitarnya didominasi oleh manajemen dan tata kelola yang buruk.
- Dalam literatur administrasi publik, “island of integrity” juga diberi istilah yang berbeda seperti “islands ofexcellence” (Therkildsen 2008), “islands of effectiveness” (Crook 2012)”, “pockets of effectiveness” (Leonard 2008; Roll 2011a) dan “pockets ofefficiency” (Geddes 1994). Namun di tengah berbagai istilah berbeda yang digunakan kesemuanya mengarah kepada bagaimana membangun instansi pemerintah yang berintegritas di tengah situasi dimana supra sistem.
Tujuan utama dari pelaksanaan island of integrity adalah menciptakan kinerja organisasi yang bebas dari korupsi. Dengan dilaksanakannya island of integrity diharapkan dapat tercipta sumber daya organisasi yang berintegritas dan terhindar dari korupsi, efisiensi yang lebih besar dan mempengaruhi sistem yang lebih luas (Zuniga, 2018).
Kementerian Negara/Lembaga/Pemda mewujudkan komitmen pencegahan korupsi melalui pelaksanaan kegiatan-kegiatan pencegahan korupsi yang nyata (konkret) secara terpadu dan disesuaikan dengan kebutuhan K/L/Pemda yang bersangkutan. Kegiatan-kegiatan pencegahan korupsi yang bersifat konkret tersebut terutama berupa sosialisasi/pelatihan/kampanye antikorupsi, penyampaian LHKPN, pembentukan Unit Pengendalian Gratifikasi, penyusunan kode etik pegawai, penyediaan sistem dan sarana pengaduan masyarakat (Whistle Blowing System), kajian dalam rangka perbaikan sistem, dan kegiatan-kegiatan lain.
Hasil nyata yang dapat dirasakan masyarakat secara luas dari upaya pemerintah dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah semakin meningkatnya kualitas pelayanan publik. Pelayanan publik yang terkait dengan perizinan, kependudukan, keuangan dan lain-lain semakin transparan. Tidak ada lagi pungutan liar yang dilakukan petugas layanan maupun calo. Kejelasan mengenai tarif dan waktu layanan. Ditambah lagi dengan adanya kemajuan teknologi yang dapat memudahkan pelayanan secara online dan memangkas jalur birokrasi. Adanya kesadaran masyarakat sebagai pengguna layanan untuk mengurus sendiri secara langsung tanpa melalui calo juga membantu pemberantasan korupsi.
Berbagai peraturan dan kebijakan yang dibuat pemerintah dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi tersebut dilakukan untuk membangun budaya dan kesadaran penyelenggara negara dan masyarakat dalam mencegah terjadinya korupsi. Penguatan budaya antikorupsi di lingkungan pemerintahan perlu terus ditanamkan dan disebarluaskan demi terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, serta terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat.***