Ocehan Soekarno terhadap pendapat Profesor Veth, yang menyebut Indonesia tidak bakalan merdeka hidup kembali dalam batang tubuh pantomim yang dibawakan oleh mahasiswa Institut Keguruan dan Teknologi Larantuka (IKTL).
Saya menonton pantomim itu dengan penuh hati-hati. Menikmati setiap plot cerita. Tegangan yang penuh riak, sensasional dan berdebar-debar, yang bikin mata para penonton bisa saja menerka heran bahkan bertanya panik. Sesekali kami tertawa lepas karena komedi yang disajikan. Juga, merenung sejenak karena gairah bahasa yang melecut keluar dari bibir pemeran. Ada semacam bungkusan satire dan sarkasme yang menyelinap dalam setiap adegan yang terselip dari pementasan itu. Hemat saya, mahasiswa IKTL punya semacam kemampuan meramu teks-konteks dengan baik dalam sebuah pementasan.
Dikisahkan, seorang pemuda duduk pada sebuah kursi dengan wajah sengit dan mata melotot. Ia sedikit resah, gelisah! Pertanyaannya tentang kemerdekaan dijawab kakek buyutnya dengan pertanyaan balik.
“Apakah kita sudah merdeka?,” kata pemuda itu.
“Gak jelas kita sudah merdeka? Kalau kita sudah merdeka mengapa kita masih miskin, kita masih sengsara,” jawab sang kakek sekenanya.
Pertanyaan ini sontak mengingatkan saya pada kritik Soekarno terhadap pendapat Profesor Veth, yang menyebut Indonesia tidak bakalan merdeka dari zaman purbakala, dari zaman ribuan tahun sampai sekarang, dan dari zaman Hindu hingga kini.
Namun, pemikiran sang Profesor ini dibantah oleh Soekarno, “Ini kali salah raba. Ia lupa yang satu menilai, kemerdekaan itu mustahil. Indonesia adalah terra incognito. Dia tidak diketahui. Tidak ada tidak bakalan menjadi. Kalaupun ada Indonesia itu hanyalah satu himpunan pulau yang tidak diperhitungkan.” (Soekarno: Mencapai Indonesia Merdeka, hlm. 11-12).
Selain pantomim, pentas lain yang bikin saya terpana adalah kisah hangat sebuah keluarga, dengan empat tokoh utama.
Sang ayah yang diperankan oleh Blasius Berahang Ola, hemat saya sukses menampilkan tokoh sebagai ayah. Gerak jalan, gimik, warna suara dan setiap katanya terpilin dan mampu menggiring penonton pada sosok sesungguhnya. Demikian pula tokoh ibu, Yohana Hingi Tefa. Keduanya telah mementaskan sebuah drama kehidupan keluarga yang serba berkekurangan dari segi finansial.
Konflik itu terjadi saat sang isteri mengetahui suaminya meminjam uang Rp 6 juta pada dokter guna memenuhi kebutuhan hidup sang anak yang kini tengah kuliah. Isteri marah karena tidak diberitahu terlebih saat proses peminjaman uang tersebut.
Kisah ini amat haru. Menegangkan. Namun berhasil memancing emosi penonton. Gimik, hentakan kaki dan ekspresi benar-benar tersalurkan secara maksimal. Tubuh kurus sang ayah dan cara jalan yang kian gontai dan lemah menyiratkan kesan yang dalam bahwa ada satire, ada olokan yang ditampilkan dari sebuah pertanyaan; hidup yang mana mesti kita ladeni?
Tak berhenti di situ, musikalisasi puisi yang ditampilkan mahasiswa IKTL penuh gairah dan bersenyawa. Emosi, penjiwaan teks, sosial teks diramu sedemikan sehingga tidak menjenuhkan pembaca.
Begitu beberapa mata acara yang hemat saya punya nilai plus. Jika para Mahasiswa IKTL terus dibuka ruang untuk mengeksplorasi bakat dan kemampuan mereka tiap Minggu misalnya dengan sekali duduk bercerita tentang seni sastra; ngopi puisi mengutip cara Bung Zainal Boli, maka saya yakin kemampuan ini akan meruang dalam realitas kehidupan kaum terdidik seperti mahasiswa.
Ekosistem seni sudah berdiri sejak budaya ini ada. Kita lihat saja sajak, prosa atau pantun saat bermain dolo-dolo menyatu dalam budaya Lamaholot. Maka, seni sastra adalah nadi perjuangan yang terus digelorakan oleh kaum muda guna menyampaikan sesuatu yang sulit tersampaikan.
Keseluruhan pementasan amat menegangkan. Indah dan mengalir. Pada punggung itu terpacak gambar Chairil Anwar dan beberapa sastrawan kenamaan Indonesia. Bukan tidak mungkin 20 tahun kedepan ada sastrawan baru lahir dari rahim IKTL kalau ruang semacam ini terus diberi kepada mereka.
Yang mesti diperhatikan adalah lighting guna mendukung sebuah pementasan. Saat ayah berbicara atau marah, lampunya harus sesuai dengan kondisi saat itu. Lalu, perhatikan juga kondisi siang hari atau malam hari.
Tetapi keseluruhan pementasan punya gaya tersendiri, punya ritme dan konsekuensi untuk bisa dibawa pulang bagi penonton. Refleksi yang disajikan mampu membangun ekosistem perubahan atau dekontruksi ala Derrida. Saya yakin, setelah menonton pementasan semalam, kita dihantar pada pertanyaan yang menggantung di setiap kepala masing-masing. (yurgo purab)