Handphone saya berdering kering. Nomor panggilan dari kampung halaman, Ile Ape, Lembata. “Bapa Meus Belang telah pergi,” Kalimat itu mengalir. Singkat. Tapi bikin mata saya sembab. Saya menutup telepon.
Bagi saya, kabar kematian itu sungguh kabar yang tak enak. Sebuah perpisahan yang kita tak ingin, tapi segera. Dan kita mengalami itu sebagai peristiwa Tuhan memanggil umat-Nya dalam peristiwa ketaksanggupan kita menerima kenyataan itu. Tapi, seperti Ayub, kita pun harus pasrah. “Tuhan memberi, Tuhan mengambil, Terpujilah Tuhan.”
Saya ingat betul pada musim Covid-19 merebak di Indonesia, juga NTT, semua akses terputus. Waktu itu, kami liburan semester panjang. Karena akses putus, kami terpaksa menghadap Bupati Flores Timur, Antonius Gege Hadjon, saat itu, agar bisa pulang ke Lembata.
Malam yang dingin, saya dan dua orang rekan harus pulang ke Lembata menumpangi kapal minyak pada jam 20:00 Wita, malam hari.
Kami tiba di Lembata sekira pukul 00:15 Wita (jam 24:00 lewat 15 menit). Saat itu, Bapa Meus Belang menjemput saya di pelabuhan Lewoleba, meskipun situasi saat itu tak bersahabat dan hujan masih rimis. Dengan sepeda motornya, ia menjemput saya. Kalau ingat peristiwa itu, rasa-rasanya, saya tak sanggup berkata-kata tentang sosok seorang Ayah seperti Bapa Meus Belang.
Itu hanya sekeping kisah yang saya pungut kembali setelah kepergian Bapa Meus Belang. Mungkin mata keluarga masih sembab, tapi saya memberanikan diri menulis ini. Karena bagi saya mengenang adalah cara terbaik untuk tidak melupakan.
Saya teringat kisah semasa sekolah dasar (SD). Waktu itu, adik kami Emiliana Bala Ladopurab sambut baru di Lewoleba, dan teman-teman kami pun ikut ke sana, karena kami seangkatan dengan Veronika Tiro kakaknya. Dia adalah teman kelas, juga bine (saudari) dalam suku. Jadi waktu itu, saya dan almarhum Wurin Purab lagi mandi di laut, karena diajak, maka kami pun meluncur menggunakan mobil milik Bapak Sulaiman Hamzah, yang waktu itu, sopirnya Bapak Jeludin. Kami banyak orang waktu itu. Mobil penuh dengan anak sekolah SDK Lewotolok 1.
Kami beramai-ramai ke Lewoleba dan ikut acara itu dengan gembira. Kami semua diundang. Makan dan minum. Dari situ, saya pun belajar bahwa kegembiraan itu selalu dirayakan bersama keluarga, handai taulan, sahabat kenalan.
Dari situ, saya diam-diam belajar. Belajar dari sosok Bapak Meus Belang; seorang ayah pekerja keras, ayah yang telah membuat hidup saya berubah.
Bapa Meus Belang adalah sosok yang rela berbagi. Ia berbagi pengalaman hidup, berbagi pekerjaan. Bapa Meus Belang telah mengubah hidup orang tua saya, yang awalnya hanya seorang pekerja sensor kayu menjadi seorang kontraktor, mengikuti jejaknya. Saya berterima kasih atas jasa baik itu bapa. Tidak akan pernah saya melupakannya.
Bagi saya, Bapa Meus Belang adalah sosok seorang Ayah pekerja keras. Ia bekerja dan terus bekerja. Bapa Meus adalah sosok yang merangkul dan mencintai keluarga dan semua orang. Ia tak pandang bulu.
Sosok yang sederhana itu, telah melakukan banyak karya besar di Lewotanah, juga suku ekan. Ia telah berjasa bagi anak-anak dan juga saya yang merasakan perubahan besar itu. Seorang ayah yang tegar dan penuh cinta, sosok yang ulet dan dermawan.
Untuk itu, ijinkan saya mengatakan beberapa hal ini;
Pertama, terima kasih banyak bapa. Telah menjadi guru dalam keluarga dan juga bagi semua orang yang pernah merasakan cinta yang luar biasa itu.
Kedua, maafkanlah saya yang belum bisa membalas apa yang baik yang sudah ditaburkan untuk saya. Saya tidak akan lupa itu.
Ketiga, kami selalu mendoakanmu agar jalan menuju ke surga lapang dan Tuhan menjemputmu di pintu-Nya.
Selamat jalan Bapa, dan Terima kasih banyak dari kami untuk segala kebaikan selama ini. Kami tidak akan lupa itu.
Salam hangat dari saya.
Yurgo Purab, Maumere; 5 Oktober 2022. ***