Kulababong KAHE merupakan salah satu program diskusi yang diinisiasi oleh komunitas KAHE. Kulababong sendiri berasal dari bahasa Sikka-Flores, yang berarti “musyawarah, mufakat”. Melalui program ini, KAHE membuka diskusi dengan berbagai fenomena dan tema, tentang media, budaya, sastra, sosial, juga filsafat. Ini dilakukan dalam rangka menciptakan ruang sirkulasi pengetahuan.
Edisi Kulababong kali ini, Jumat, 26 Agustus 2022 digelar di studio komunitas KAHE, yang menghadirkan Karlin Karmadina untuk mempresentasikan skripnya berjudul “Sikap Media Lokal Pada Pemberitaan Terhadap Minoritas Gender dan Seksualitas di Ekora NTT”.
Karolina Karmadina adalah mahasiswa Universitas Nusa Nipa Maumere, program studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial. Dalam skripsinya, Karlina menggunakan analisis wacana kritis Teun A. Van Dijik pada pemberitaan yang diterbitkan Media Ekora NTT. Karlina melihat pemberitaan media dan penerimaan atas minoritas gender dan seksualitas saling berkaitan.
Menurutnya, media berkontribusi terhadap cara masyarakat luas memahami kelompok minoritas gender dan seksualitas. Pemberitaan media yang tidak akurat dan stigmatik berperan dalam melegitimasi hingga memunculkan diskriminasi terhadap kelompok ini. Tak pelik jika kebijakan publik yang kelak muncul menjadi diskriminatif, alih-alih melindungi warga negaranya.
Frasa kaum minoritas gender dan seksualitas adalah istilah yang digunakan untuk menggantikan akronim LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) yang dinilai memiliki muatan diskriminatif dengan label sebagai orang aneh, kelainan, dan lain-lain.
Dalam forum diskusi itu, KAHE juga mengundang berbagai kalangan seperti para pegiat seni, mahasiswa, serta wartawan. Diskusi kali ini membahas bagaimana hubungan antara pemberitaan media dan penerimaan masyarakat terhadap kaum minoritas gender dan seksualitas. Harus diakui bahwa era sekarang ini, informasi juga memiliki nilai bisnis dan politik.
Karolina menggunakan pemberitaan Ekora NTT edisi 15 Juni 2019, dengan judul: Saya Perempuan Yang Berkarya, sebagai bahan analisisnya. Berita ini membahas bagaimana keberadaan Mayora, salah seorang transgender dari Maumere, dalam mengekspresikan diri di tengah berbagai sikap penolakan masyarakat dan stigma minor karena statusnya sebagai transgender.
Secara biologis, papar Karolina, gender memiliki tiga klasifikasi. Yakni, laki-laki, perempuan, dan gender ketiga. Gender ketiga adalah konsep bahwa seseorang bukan pria dan bukan wanita, baik dalam dirinya ataupun oleh masyarakat. Kondisi biologis menentukan apakah seks anatomi dan kromosom dari seseorang itu laki-laki, perempuan, atau salah satu dari variasi yang tidak umum yang dapat menimbulkan ambiguitas yang dikenal sebagai interseks.
Akan tetapi, menurut Karolina, hal itu tidak banyak menjadi pengetahuan masyarakat umum. Akibatnya, muncul paradigma diskriminatif terhadap kaum minoritas gender dan seksualitas.
Pada sesi diskusi, beberapa pandangan dan analisis tentang pemaparan Karolina menjadi permenungan bersama para peserta yang terlibat dalam kegiatan ini. Forum diskusi mengamini bahwa membicarakan keberadaan kaum minoritas gender dan seksualitas, akan selalu berhadapan dengan paradigma sosial. Paradigma sosial ini merupakan hasil dari konstruksi sosial yang diciptakan oleh budaya yang terbentuk melalui sistem nilai yang ada di dalam budaya, agama, serta pandangan politik dan idiologi manusia.
Dengan menggunakan pendekatan kritis analis wacana Teun A Van Dijk, Karolina mengungkapkan bahwa keberadaan teks-teks dalam berita bukanlah kumpulan kata-kata yang berdiri sendiri tanpa analisis dan pandangan pribadi seorang jurnalis. Selain itu, jelas dia, teks-teks tersebut juga berkaitan dengan kognisi sosial serta konteks sosial yang dirasakan dan dihidupi seorang jurnalis.
Karolina mengkuatirkan, jika tendensi ideologi dan pandangan yang negatif terhadap kaum minoritas gender dan seksualitas akan selalu ada karena konstruksi pandangan tersebut sudah menjadi commonsense atau pandangan umum.
Karlin, begitu Karolina akrab disapa, berharap agar media lebih objektif dan memulai akses wacana yang lebih seimbang dalam merekam atau melihat keberadaan kaum minoritas gender dan seksualitas.
Dede Aton, yang biasa disapa Gembul, dari komunitas KAHE mengungkapkan bahwa kebebasan atau keberadaan kaum minoritas gender dan seksualitas akan selalu berbenturan dengan sistem sosial yang melingkupinya. Gembul mengungkapkan bahwa akan selalu ada benturan pandangan serta hukum yang akan menjadi halangan bahkan konflik bagi kaum minoritas gender dan seksualitas.
Dia menambahkan, HAM atau hak asasi manusia akan menjadi ilusi, jika tidak ditunjang oleh hukum yang melegitimasi HAM tersebut. “Tidak akan ada Human Rights tanpa Nitizen Right,” ungkap Gembul. (Fr. Rintho Jaga, Ritapiret)