Oleh Yosi Kares
Guru SMP Negeri 3 Sano Nggoang – Manggarai Barat
Tanggal 25 November ditetapkan sebagai Hari Guru Nasional (HGN). Penetapan hari guru ini ini berdasar keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994. Di tanggal yang sama diperingati juga hari lahir Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Organisasi yang menghimpun segaian besar guru di Indonesia, kini berusia 76 tahun.
Tema hari guru nasional 2021 adalah “Bergerak dengan Hati, Pulihkan Pendidikan’’. Sedangkan Tema peringatan hari ulang tahun (HUT) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang ke-76, mengusung tema “Bangkit Guruku, Maju Negeriku, Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh”.
Pulihkan pendidikan
Pendidkan di Indonesia memang lagi sakit. Wabah Covid-19, mengakibatkan proses kegiatan belejar mengajar di sekolah pincang. Tidak berjalan dengan nomal, seperti biasanya. Segala upaya dilakukan oleh penempuh kebijakan, baik dari pemerintah pusat hingga daerah mentaktisi situasi ini agar proses kegiatan belejar mengajar tidak lalu mati. Kegiatan-kegiatan bimtek (bimbingan teknis) untuk pebelajaran daring dan luring, pengadaan sarana TIK, hingga pada pengadaan pulsa internet untuk guru dan siswa.
Selain merebaknya Covid-19, yang meresahkan pendidikan di Indonesia, akhir-akhir ini juga berbagai kasus yang menimpa dunia pendidikan. Guru yang notabene sebagai ujung tombak pendidikan yang mengalihkan berbagai nilai dan kearifan, tidak menghayati lagi moral, etika, dan prilaku sebagaimana seharusnya dihayati dan dimilikinya sebagai pendidik. Jadi kedua tema di atas mencakup juga pemulihan kompetensi guru, yang salah satunya adalah kompetensi kepribadian (baca: moral).
Guru, digugu, ditiru
Guru yang tidak saja memenuhi kewajiban untuk mengajar, tetapi lebih dari itu guru mampu menjadi model, panutan yang membimbing yang memperhatikan, mengarahkan dan memberikan kasih sayang kepada peserta didiknya. Guru tidak saja memenuhi kewajiban untuk mentransfer ilmu pengetahuan tapi guru juga harus menjadi teladan untuk mentranfer nilai –nilai kehidupan yang baik, sikap, moral dan prilaku yang baik. Dan karenanya guru disebut orang tua kedua bagi peserta didik
Hamid Harmadi, dalam esay tulisannya, menuliskan bahwa, guru dalam leksikon Jawa umumnya ditafsirkan sebagai akronim dari ungkapan “bisa digugu dan ditiru”
Ungkapan artinya bahwa sosok guru adalah orang yang dapat dipercaya dan dipegang teguh kebenaran ucapannya dan dapat diteladani tingkah lakunya. Tersirat asumsi bahwa yang dikatakan, yang dilakukan dan diajarkan guru adalah benar. Guru dianggap sebagai profesi yang mempunyai keutamaan moral.
Karena itu, jika orang membutuhkan nasehat atau pertimbangan, pergilah ia ke guru. Semua kegiatan di masyarakat, guru pasti mendapatkan tempat yang sangat dihormati. Guru dianggap serba bisa, baik urusan agama maupun kehidupan sosial masyarakat. Hal ini karena dipandang sebagai teladan, sehingga sangat dihormati masyarakat. Begitulah kiranya pandangan tentang guru, tempo dulu.
Bagaimana dengan guru sekarang dan yang akan datang?
Beberapa contoh kasus moral yang melibatkan guru di dalamnya, mengakibatkan pergeseran pandangan masyarakat akan eksistensi guru digugu ditiru. Tribuana Pos (26/10/2021) melansir, di Alor guru dipecat karena melakukan penganiayaan kepada siswa hingga tewas. Di Flores Timur, guru cabuli muridnya (Pos Kupang, 13/11/2021). Dan masih banyak kasus lain lagi yang menyeret guru untuk mempertanggungjawabakan profesinalisme dan moralitasnya.
Realitas ini, ungkapan guru sebagai “yang bisa digugu dan ditiru” agaknya sudah usang dan mengalami peyorasi. Jika muncul pemakaian ungkapan itu, seringkali justru untuk menyatakan perasaan tidak puas terhadap perkataan atau perilaku guru, atau dipakai sebagai semacam “umpatan” kepada guru.
Anggapan dan paradigma berpikir masyarakat sekarang tentunya sedikit bahkan jauh bergeser dengan tempo dulu. Bahkan dewasa ini banyak guru yang dianiaya oleh orang tua siswa atau masyarakat. Entah motifnya apa namun realita ini menggambarkan ketokohan guru bergeser.
Momentum Hari Guru Nasional maupaun HUT PGRI ke-76, membangkitkan kesadaran Guru akan peran dan tanggung jawab yang dimiliki baik secara pribadi, sosial, intelektual, moral dan spiritual. Pertama, tanggung jawab pribadi yang mandiri yaitu mampu memahami dirinya, mengelola dirinya, menngendalikan dirinya dan menghargai serta mengembangkan dirinya.
Kedua, tanggung jawab sosial diwujudkan melalui kompetensi guru dari lingkungan sosial serta memiliki kemampuan interaktif yang efektif. Ketiga, tanggung jawab spiritual dan moral diwujudkan melalui perkataan, tindakan, penampilan guru sebagai makhluk beragama yang perilakunya senantiasa tidak menyimpang dari norma agama dan moral.
Tangung jawab guru di atas menempatkan guru sebagai pengalih berbagai nilai, moral dan kearifan. Guru adalah pelaku utama memanusiakan manusia. Guru juga adalah cermin masa depan siswa.
Oleh karena itu, guru harus mempunyai mental yang kuat, moral yang tangguh, dan profesionalisme yang tinggi. Agar kelak bisa digugu, bisa ditiru.
Selamat hari guru nasional maupun HUT PGRI ke-76. Mari bangkit, bergeraklah dengan hati, pulihkan pendidikan, agar kelak lahir dan tumbulah generasi masa depan yang bermoral tangguh dan kuat menuju Indonesia jaya.(*)