Nama saya Kopong. Saya anak timur yang suka cari hal, selain cari ilmu. Sudalah. Saya bukan preman. Saya anak kuliahan. Ternyata susah juga menjadi anak kuliah di kota Jakarta. Tiap hari harus bergegas ke kampus tanpa makan. Kopi hitam pekat dan jagung titi menemani perut yang lagi kosong. Belum lagi kos yang jaraknya tiga kilometer dari tempat kuliah saya, membuat saya agak telat datang ke kampus.
Imbasnya, saya dikenai surat penyataan dari dosen mata kuliah sosiologi. Tak jadi masalah. Yang penting selalu bahagia. Tak banyak yang saya buat selain tidur, sambil mendengar ceramah dosen yang bikin muak. Oh, maaf. Saya tidak muak ilmu yang diberikannya, tapi cara ngajarnya yang bikin saya pusing tujuh keliling. Lebih baik baca diktat hasil racikannya ketimbang duduk mendengar ceramah yang sulit didengar dari jarak jauh. Itulah saya, paling ribet kalau bicara tentang kuliah.
Tinggal di Kota Jakarta bikin kepala saya jadi pusing. Menyaksikan ributnya politisi di gedung DPR, melihat alumni 212 yang sok alim tapi menzalimi pihak lain. Aneh. Negeri ini seperti milik mereka saja. Kalau ada apa-apa selalu bilang mengapa-mengapa. Lalu kamu tinggal dimana bung? Di Indonesia bukan? Negeri ini negeri Pancasila, bukan buatan bapakmu apalagi agamamu. Kalau mau bukti, bangunkan saja Soekarno dari kuburnya.
Saya anak timur, berani bertarung kalau ada yang mau merobohkan dasar negara saya. Saya siap mati di bumi pertiwi ini, kalau harga diri bangsa saya diinjak-injak dan dipolitisasi oleh kepintaran orang-orang yang sok nasionalis tapi bertopeng agamis.
Setiap pagi sebelum berangkat kuliah, saya melihat pemandangan yang lumrah. Puluhan anak-anak pemulung di pinggir jalan. Mereka menanti mobil-mobil berhenti saat lampu merah, dan menembus keramaian sambil minta-minta di sepanjang jalan. Tak ada bedanya dengan politisi, yang minta-minta pada rakyat agar didudukan pada kursi yang panas. Katanya kursi itu bisa datangkan uang tanpa berpikir. Ah… mental negarawan seperti ini, bisa-bisa negara ini dijual hanya untuk mengisi perutnya yang buncit.
Saya anak kampung, datang dari pelosok negeri sambil membawa harapan yang masih gantung. Saya kira di Jakarta, saya bisa belajar lebih banyak tentang politik dan upaya menjadi negarawan yang sejati. Eh, malah elit-elit politik yang dibilang kritis, begitu gampang disuapin seperti bayi. Saya mahasiswa bung, kalau dikata preman ya, mungkin cocoknya preman intelektual supaya lebih elit dibilang cendikiawan cilik dari negeri pelosok. Masa saya gampang disuapin seperti bayi. Malu aku.
Hidup di kota Jakarta memang ribet. Saya baru tamat kuliah, itu pun baru seminggu lalu wisudahnya. Saya tidak mau menganggur begitu lama, takut ketuaan. Apalagi saya belum dapat jodoh. Ya bagaimana bisa dapat jodoh, kerja saja tidak. Hari ini saya langsung datangi salah satu perusahan. Membawa setumpuk berkas dengan nem kuliah saya. Saya yakin dengan nem yang lumayan bagus, itu mampu mendongkrak kepercayaan mereka terhadap saya. Apalagi, saat ini perusahan bang Tohib lagi butuh karyawan baru di bagian manajemen. Huffft…sial, waktu saya lamar kerja, masa yang ditanya bukan ijasah melainkan agama. Waduh, ada apa dengan agamaku bang? Belum lagi ditanya berapa fulusnya bang, kalau mau kerja di perusahan bang Tohib. Gila. Belum dapat kerja sudah minta dibayarin.
Saya anak timur dari negeri yang kaya akan matahari. Hidup di desa yang jauh dari keramaian publik, membuat saya mencoba sesuatu yang baru di tanah Jawa. Kota yang hiruk-pikuk, dengan gedung pencakar langit membuat saya terkagum-kagum. Tapi aneh, wajah kota yang indah, dihiasi oleh mogoknya lalu lintas, yang membuat ratusan orang terpaksa antri, bahkan stress karena telat datang ke kantor. Kekaguman saya sirna ketika duduk di bawah gedung pencakar langit, ada sebuah taman kecil dengan bangku sepanjang tiga meter, melihat seorang anak dengan ibunya tidur beralaskan karton. Air mata saya mengucur sengit.
Saya ingin pulang ke kampung, di mana orang-orangnya hidup kalem dan bahu membahu. Bagi saya, hidup itu singkat tapi kasih itu panjang. Hidup itu rumit, belajar mencintai itu selalu dan selalu. Tak ada yang bisa saya buat selain belajar mencintai tanpa perbedaan, belajar mengenal tanpa menilai, belajar hidup tanpa melukai. Itulah saya. Saya anak timur yang hidup di kota Jakarta.
Jangan tanya lagi siapa saya. Cukup kau tahu, saya punya hati buat negeri ini.(*)
*Jagung titi : Makanan khas daerah Flores, Lembata- Nusa Tenggara TimurPenulis adalah wartawan aksinews.id di Larantuka