Laki-laki paruh baya asal Desa Waiwaru, Kecamatan Ile Ape Timur ini, tengah sibuk meruwat jala miliknya. Ia memintal pinggir jala di lantai dua gedung baru Perpustakaan Daerah Kabupaten Lembata, tempat para pengungsi tinggal.
Disambangi aksinews.id, Selasa (15/12/2020) siang, ia menceritakan dengan terbata-bata tentang peristiwa paniknya saat melihat erupsi gunung api Ile Lewotolok pada 29 November 2020 silam.
“Kami berlarian, hati kami sangat takut. Tiba-Tiba mobil datang jemput kami ke tempat pengungsian ini. Kami bawa barang seadanya,” ujar Theodorus.
Walaupun sibuk memintal jala, ia selalu memicingkan matanya ke kiri maupun kanan menatap anak-anak berlarian, takut-takut mereka jatuh akibat licinnya Lantai. Badannya nampak kurus, tapi ia tak kalah tegarnya menghadapi peristiwa erupsi gunung api Ile Lewotolok. Soalnya, di saat semua orang memilih istirahat, ia malah mengisi kesibukannya dengan bekerja; memintal jala.
“Kami di pengungsian, makan dan minum baik. Hanya saja, kami ingat kebun tidak dikerjakan. Lalu, nanti pulang makan apa,” bebernya.
Ia memilih memintal jala di tempat pengungsian, supaya saatnya mereka kembali ia bisa lanjutkan pergi melaut. Baginya, hasil laut sangat menjanjikan. Selain untuk makan tetapi juga ikan-IMA bisa dijual dan uangnya bisa beli kebutuhan pokok Lainnya seperti pulsa listrik, beras dan sebagainya. Ia berharap semoga musibah ini cepat berlalu sehingga mereka bisa berkebun. “Kami di sini baik, hanya saja kebun tidak digarap dan kami tidak tanam jagung,” tukasnya. (yurgo purap)