Lain padang lain belalang. Lain negara lain pula kebijakannya. Ini yang dirasakan kaum difabel atau penyandang disabilitas. Jika daerah-daerah di Indonesia tengah serius mendorong lahirnya Peraturan Daerah perlindungan penyandang disabilitas, bahkan pemerintah pusat membentuk Komisi Disabilitas, di Korea Selatan malah kaum difabel masih merasa sebagai kelompok marginal. Seorang kakek penyandang disabilitas di Seoul, Korea Selatan, malah mengaku 20 tahun memperjuangkan kesetaraan tanpa hasil.
Ya, Park Kyoung-seok yang sehari-hari tetap berada di atas kursi roda, tinggal di Seoul, Korea Selatan. Tidak banyak tempat yang bisa dikunjunginya.
“Saya tidak bisa pergi ke teater karena ada tangga. Saya tidak bisa pergi ke toserba atau kafe yang baru dibuka karena alasan yang sama,” kata Kyoung-seok.
“Bahkan ketika saya masuk ke suatu tempat, ada kendala di kamar mandi. Seringkali saya tidak bisa memakainya.”
Keadaan menjadi lebih buruk ketika dia mencoba keluar dari kawasan tempat tinggalnya. Angkutan umum di Korea Selatan, kata Kyoung-seok, tidak dirancang untuk penyandang disabilitas.
“Perjalanan normal bisa memakan waktu dua atau tiga kali lebih lama untuk penyandang disabilitas, dibandingkan orang lain.”
Kyoung-seok mengalami kecelakaan Hang-gliding pada 1984, yang membuatnya lumpuh pada usia 24 tahun. Dia telah lama memperjuangkan akses yang setara ke transportasi umum, bahkan dia kini menjadi tokoh perjuangan hak-hak disabilitas di Korea Selatan, di mana dia memimpin kelompok Solidaritas Melawan Diskriminasi Disabilitas (SADD).
Kali ini, perjuangan yang telah dia lakukan selama bertahun-tahun digelar di stasiun kereta bawah tanah Seoul.
Selama satu tahun terakhir, Kyoung-seok dan sesama aktivis lainnya telah berunjuk rasa pada jam sibuk di pagi hari, menghalangi akses masuk ke kereta dan mengganggu jalur-jalur utama. Banyak di antara aktivis ini, seperti Kyoung-seok, adalah lansia.
Mereka mengatakan lelah ditolak untuk menjadi bagian dari sistem. Mereka ingin anggaran ditingkatkan untuk penyediaan mobilitas, terutama pemasangan lift di semua stasiun agar seluruh jaringan kereta dapat diakses oleh pengguna kursi roda.
Dari permukaan, aksi protes itu tampak sebagai persoalan infrastruktur dan belanja publik. Tetapi masalah sebenarnya lebih dalam dari itu. Bagi banyak pengamat, ini merupakan cerminan dari sikap orang-orang Korea Selatan terhadap penyandang disabilitas.
“Saya ditabrak oleh pengguna kereta, saya dibuntuti ke rumah. Kadang-kadang orang meneriaki kami,” Lee Hyung-sook, seorang demonstran yang telah menggunakan kursi roda sejak terinfeksi polio saat berusia tiga tahun.
“Mereka berkata, ‘kenapa kamu tidak tinggal di rumah saja?’ Ini bisa menjadi sangat menakutkan, tapi kami perlu terus berusaha agar orang-orang bisa memahami situasi kami. Kesenjangan antara hak penyandang disabilitas dan non-disabilitas di sini sangat besar.”
Namun, simpati dari pada komuter tampaknya minim. “Mengapa mereka membahayakan warga yang tidak bersalah?” tanya seorang lansia perempuan yang sampai melewatkan janjinya di rumah sakit. “Saya rasa apa yang mereka lakukan itu salah.”
Seorang komuter lain memberi isyarat di sekitar stasiun tanpa mengatakan apa-apa dan berkata: “Lihatlah semua fasilitas yang sudah dimiliki oleh orang-orang cacat ini. Saya setuju dengan polisi.”
Dua perempuan muda lainnya yang sedang dalam perjalanan pulang dari kerja setuju bahwa meskipun menggelar aksi protes adalah wajar, namun menimbulkan masalah bagi orang lain tidak bisa diterima.
Tetapi Kyoung-seok mengatakan dia dan rekan-rekan aktivisnya tidak akan berhenti. “Saya mengerti ini adalah situasi yang membuat frustrasi para komuter. Tapi kami telah menyuarakan ini selama lebih dari 20 tahun dan kami masih belum mendapatkan hak yang sama,” katanya.
Wali Kota Seoul, Oh Se-hoon telah berjanji untuk “tidak menoleransi” aksi protes tersebut. Melalui unggahan di Facebook, dia mengatakan, “Saya tidak bisa lagi mengabaikan kekacauan dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan kepada warga biasa.”
Menurut pengunjuk rasa, bahasa yang digunakan oleh wali kota menyiratkan: mereka tidak dianggap sebagai “warga negara biasa”.
Pemasangan lift di semua stasiun, dan seberapa cepat itu akan diwujudkan, adalah salah satu poin penting dalam negosiasi. Saat ini, hanya 19 dari 275 stasiun di kota (7%) yang tidak memiliki akses lift, menurut Metro Seoul.
Itu lebih baik dibandingkan kereta bawah tanah London di mana 69% stasiun tidak dapat diakses, dan di New York sebanyak 71%.
Data pemerintah juga menunjukkan pengeluaran untuk provisi mobilitas di Korea Selatan telah meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun ini, tetapi kedua belah pihak masih berselisih pendapat soal apa yang dianggap sebagai peningkatan yang pantas.
Para aktivs menyebut ini bukan hanya tentang angka. Mereka mengatakan pendekatan keras yang diambil oleh pihak berwenang mengungkap kesalahpahaman seputar disabilitas di Korea Selatan.
“Banyak orang di Korea Selatan berpikir penyandang disabilitas hidup nyaman dan sejahtera. Seseorang pernah mengatakan kepada saya bahwa mereka hidup lebih baik daripada presiden,” kata Hong Yunhui, yang putri remajanya, Jimin, menggunakan kursi roda sejak sembuh dari kanker saat berusia empat tahun.
Dia khawatir aksi protes itu akan dimanfaatkan untuk menjelek-jelekkan penyandang disabilitas. “Kami telah bertemu dengan orang-orang, terutama lansia, menepuk pundak putri saya dan menanyakan banyak hal seperti harga kursi rodanya. Mereka bilang dia sangat beruntung memiliki sistem kesejahteraan yang hebat di Korea, yang dibayar dengan pajak mereka.”
Pada 2015, Yunhui mendirikan Muui, sebuah usaha sosial yang menyuarakan bahwa disabilitas tidak mendefinisikan nilai seseorang. Muui memiliki slogan: “Menjadikan disabilitas seksi”.
Yunhui dan Jimin membuat peta interaktif yang menunjukkan aksesibilitas di seluruh Seoul. Mereka sangat populer dan, sejauh ini, mereka telah membuat lebih dari 1.000 peta yang mencakup lusinan stasiun.
Pada usia 17 tahun, Jimin yang berbeda generasi dengan para pengunjuk rasa, memuji aksi mereka karena mendorong diskusi terkait disabilitas.
“Di dalam masyarakat Korea Selatan saat ini, Anda jarang melihat penyandang disabilitas,” kata dia.
“Hidup kami selalu terjebak di rumah. Kami menyerah untuk pergi ke suatu tempat bahkan ketika kami benar-benar ingin pergi. (Tapi) kami ingin menunjukkan kepada dunia bahwa kami ada.”
Jimin membuat vlog, menulis, dan mengunggah di media sosial soal kesehariannya menjadi perempuan muda penyandang disabilitas di Korea Selatan.
“Di Korea Selatan menjadi perempuan itu sulit, menjadi penyandang disabilitas itu sulit dan menjadi anak di bawah umur itu sulit,” kata Jimin.
“Baru-baru ini, saya menyadari bahwa saya adalah ketiganya. Apa itu membuatku menjadi kelas terendah di Korea?”
“Awalnya itu membuat saya merasa sangat kesepian, tapi sekarang saya pikir tidak ada alasan untuk itu. Melakukan ini dan mendapat tanggapan yang baik dari orang-orang membuat saya optimis tentang masa depan.” (BBC News Indonesia/AN-01)