Terima kasih atas tanggapan Fr. Defri, SVD. Terima kasih untuk semua koreksi, serta catatan pada sesuatu yang terputus atau belum terisi pada tulisan sebelumnya. Ini memantik semangat untuk memperbaiki tulisan, dan mempertajam apa yang ingin disoroti dari pementasan teater Cermin. Tetapi kembali mengulang, bahwa saya sangat mengapresiasi semangat dari team produksi Teater Aletheia beserta semua pengorbanan dan dinamika yang terjadi selama proses produksi. Ini adalah api yang harus terus dijaga karena Aletheia bukan hanya untuk hari ini. Selalu ada penantian untuk karya selanjutnya dari Aletheia.
Dalam tulisan kali ini, saya akan akan memperjelas apa yang dikoreksi oleh Fr. Defri terkait multiplisitas atau keberagaman serta ambiguitas. Juga, kritik Fr. Defti soal posisi korban dengan bahasa yang terbatas pada para korban. Permasalahan ini akan saya rangkum di dalam dua tema, yaitu soal konstruksi cerita, dan interaksi simbolik antara penonton dan pertunjukkan melalui tubuh aktor.
Konsturksi cerita itu berkaitan dengan dinamika, perubahan sudut pandang, sertak titik transisi dalam pergantian setiap adegan pertunjukkan dengan berangkat pada “apa” (Konsep, Tokoh, Fenomena) dan dirangkai dalam sebuah alur.
Kritik saya bukan terletak pada multiplisitas dalam pertunjukkan. Saya setuju bahwa multiplisitas dibutuhkan dalam sebuah pertunjukkan untuk membangun cerita dan kemendesakan isu yang dimaksud oleh Fr Defri. Poin saya bukan terletak pada keberagaman adegan, tetapi berkaitan dengan bagaimana sebuah cerita dibangun melalu dinamika. Soal peleburan emosi dan konflik, perubahan sudut pandang, bagaimana peristiwa bergerak dari hal-hal yang umum atau universal bergerak menuju hal-hal yang lebih kontekstual dan partikular, begitu juga sebaliknya, Serta titik transisi, akhir dari sebuah adegan serta benang merah yang terjalin dari setiap transisi dalam sebuah alur.
Seperti dalam tulisan saya sebelumnya, adegan pertama dengan lima tokoh perempuan yang sudah menumpuk, dilanjutkan dengan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai ruang hidup. Semua itu menjadi repititif dan monoton, bukan terletak pada multiplisitas, tetapi pada konstuksi cerita yang dibangun. Semua adegan yang ditampilkan adalah potongan-potongan kejadian yang dipanggungkan, cerita-cerita umum yang ditempel di atas panggung.
Saya berimajinasi, di antar pergantian adegan dari 5 perempuan, menuju kasus di dalam gereja, kemudian perdagangan manusia di dalam tempat prostitusi, terdapat adegan dengan titik fokus yang berbeda. Misalnya terdapat adegan seorang aktor perempuan sebagai pekerja malam yang sedang berdandan di depan cermin. Tiba-tiba ada telepon dari kampung, dari ibunya, yang menanyakan kabar dan bagaimana dengan pekerjaan anaknya. Sang aktor menjawab bahwa dia dalam keadaan baik-baik saja, dan sekarang sedang bekerja sebagai seorang pelayan di kafe (berbohong). Di akhir telepon, si perempuan berjanji akan mengirim uang dalam waktu dekat untuk keperluan anaknya yang ditipkan bersama sang ibu.
Atapun, dibuat dengan lebih tragis, bahwa telepon itu tidak dalam nada ramah tetapi sebuah tuntutan untuk sesegera mungkin. Atau, adegan dimana kedua pasangan suami istri yang sedang ribut karena alasan ekonomi Di sela pertengkaran itu, mereka melihat anak mereka, kemudian terpikir untuk menjualnya..(Ini cerita-cerita yang saya baca dalam tulisan features Sindhunata yang dimuat ‘Kompas’ ketika dia mengunjungi kompleks pelacuran Kramat Tungga) Pementasan juga bisa menjadikan sosok Eustochia sebagai fokus dalam suatu adegan, misalnya ketika dia sedang memimpin demo, atau mendengarkan pengakuan atau cerita dari korban.
Sekali lagi, ini bukan soal multiplisitas atau keberagaman dalam pertunjukkan teater Cermin, tetapi bagaimana keberagaman itu dirangkai atau ditata dalam suatu konstruksi cerita. Setiap dinamika, gerak lakon, serta hubungan antar tokoh berada dalam satu tujuan, yaitu untuk mengahdirkan gabungan dari kedalaman rasa, melankoli, juga tragedi terhadap suatu isu atau fenomena yang dipanggungkan.
Tema yang diangkat dalam pementasan teater Cermin adalah permasalahan kekerasan terhadap perempuan. Kemudian dalam pertunjukkan, permasalahan ini ditampilkan dalam berbagai bentuk, kondisi, dan situasi. Justru dalam keberagaman ini, penting memperhatikan konstruksi cerita untuk menjaga atau menunjukkan apa yang ditulis oleh Fr. Defri sendiri yaitu kemendesakan atau urgensi isu. Bukan sekedar potongan-potongan gambar yang bergerak, ini adalah pertunjukkan teater. Proses kreatif dalam melihat dan mengelola keberadaan manusia, dan realitas yang dihidupinya.
Emile Zola(1848-1902) yang menjadi pelopor gerakan naturalis, dalam kata pengantar bukunya yang berjudul Therese Raquein mengatakan bahwa teater penuh dengan kesombongan, khayalan, dan kekosongan. Zola percaya bahwa dunia teater akan mencapai kejayaan apabila penciptaan teater didahului dengan riset kemasyarakatan. Baginya, hal ini bukan hanya membuka konsep dan pengetahuan, tetapi akan memperbaharui bahkan memperkaya makna dan fungsi teater.
Hal ini untuk menghindari jarak antara naskah atau teks dengan realita, sehingga pertunjukkan tidak hanya berisi spekulasi ataupun repitisi dari hal-hal umum yang sudah diketahui. Bagaimana teks terbentuk dan dialektika di dalamnya seharusnya memiliki dasar sebagai pijakan dalam membangun konstuksi cerita. Tidak, bagaimana kemendesakan atau usgensitas isu itu hadir di dalam pertunjukkan? Kerja sama antara Aletheia dan Truk-F seharusnya menjadi suatu modal dalam menggarap suatu naskah.
Pengalaman serta sepak terjang Trufk-F dalam menghadapi masalah kekerasan terhadap perempuan, dapat menjadi bahan riset yang bagus untuk membangun kosntruksi cerita di dalam pertunjukkan, sehingga yang terjadi di atas panggung bukan hanya hal-hal umum, tetapi konteks-konteks tertentu yang jarang diungkapkan di atas panggung. Kenapa orang bekerja di lokalisasi, kenapa pelacuran itu tetap ada walaupun ada penolakan, atau bagaimana situasi pertentangan ketika usaha untuk membina atau mendampingi korban mendapatkan halangan. Sesuatu yang jarang diketahui, diangkat untuk menyentak rasa dan tanggapan dari penonton.
Hal lain yang dikritik oleh Fr Defri adalah bahasa korban yang terbatas, mulut mereka juga sudah terpenjara oleh ketakutan. Menurutnya, aspek psikis sudah tergambar di dalam simbol tubuh yang bisu dan erotis. Tetapi dengan menampilkan adegan kekerasan dalam dimensi yang berbeda-beda, tidak serta merta menjadikan konflik psikis itu nampak. Ini bukan hanya soal bahasa yang mewakili perasaan dan mengungkapkan gugatan, bukan itu inti dari kritik saya. Saya tidak hanya mempersoalkan ketiadaan dialog atapun monolog yang dibawakan oleh perempuan, tetapi kebisuan itu di zoom atau difokuskan menjadi fokus dari suatu adegan. Dalam pementasan, yang saya maksud dengan porsi atau bagian adalah bagaimana di antara sekian adegan, ada fokus yang berbeda dengan menempatkan korban atau perempuan sebagai dasar dari eksplorasi cerita, bagaimana cerita itu bergerak.
Saya sangat setuju, bahwa tidak ada yang bisu dalam teater, semua benda, ornamen, bahkan panggung itu sendiri berbicara. Tapi apa yang mereka bicarakan? Bagaimana kebisuan berubah menjadi dengung atau sensasi di dalam kepala para penonton? Semua itu dibangun melalui cerita bersama berbagai media untuk memperkuat makna. Makna dari semua simbol, tata artistik, maupun lampu, dan tubuh aktor, juga tergantung bagaimana suatu cerita lakon dibangun.
Tulisan 30% di sebuah papan, tidak akan memiliki maknanya, akan berbeda jika diletakan ke sebuah benda dan ketika dikenakan oleh seorang perempuan. Atau, di dalam pementasan teater Cermin, jika yang berdiri di depan cermin itu adalah tokoh-tokoh yang berbeda, maka makna yang disampaikan juga berbeda. Jika yang berdiri di depan cermin adalah polisi, atau pejabat, pasti akan berbeda dengan makna yang ditampilkan ketika ada seorang perempuan (korban) berdiri di depan cermin.
Kritik dari Fr. Defri terkait kebisuan sebagai sesuatu yang sudah disampaikan melalui diam dan gerak erotis akan saya pertajam dengan melihat interaksi simbolik yang saya fokuskan pada interaksi simbolik melalui peran aktor di dalam pertunjukkan, berkaitan dengan peran tubuh di dalam cerita.
Dalam pikiran tentang tubuh sebagai ide atau gagasan didukung oleh konsep yang diajukan oleh Marshal Mc. Luhan, “the media is the message” (1994:7). Luhan mengatakan bahwa tubuh tidak lagi dilihat oleh publik sebagai alat atau media tapi tubuh itu sendiri oleh publik dilihat sebagai gagasan atau ide. Inilah tubuh masyarakat sekarang, dalam proses interogasi tubuh aktor ini akan dibentuk melalui proses kreatif sehingga bisa melahirkan narasi melalui tubuh aktor.
Kekuatan tubuh, tidak hanya terletak pada kehadiran tubuh di atas panggung. Dalam sebuah pertunjukan, tubuh adalah wadah untuk menyampaikan cerita. Eksplorasi dan kemampuan aktor dalam menyampaikan cerita melalui tubuhnya Serta keberadaan media pendukungnya untuk memperkuat narasi. Persis seperti yang dikatakan oleh Fr. Defri, kebisuan atau erotisme di dalam pertunjukan adalah sesuatu yang ditampilkan melalui tubuh, dengan segala perilaku dan gerak yang ada di dalam pertunjukan.
Tony Suparto mengatakan, tubuh yang diam juga berbicara. Tetapi, apakah itu bagian dari pengembangan cerita atau hanya tubuh yang semata-mata bergerak. Bahkan hal-hal abstrak seperti kemarahan, kesedihan, dapat dipersonifikasikan dan dibentuk menjadi semacam karakter melalui sikap pelaku. Jika si pelaku tampak mengindikasikan “Saya adalah sesuatu” alih-alih sekadar menyampaikan “Saya melakukan gerak-gerak ini”. Hal ini yang menjadi kekurangan dalam beberapa adegan yang mengandalkan kekuatan eksplorasi tubuh.
Salah satu adegan yang saya soroti adalah puncak dari adegan pertama yang ditutup melalui sebuah tarian. Di balik berbagai gerak yang dilakukan oleh aktor, kami (penonton) kesulitan untuk mengidentifikasi peran aktor, serta narasi di balik tariannya. Hal pendukung seperti musik, kurang memberi petunjuk, bangunan cerita dengan melihat pergantian tokoh dari tokoh awal hingga tokoh terakhir, tidak terarah, untuk menunjukkan atau memberikan petunjuk, terakit peran dan narasi yang dibawakan oleh sang aktor.
Puncak tarian, lampu dimatikan kemudian adegan berganti. Kemudian pada adegan ketika sedang diadakan sebuah ibadat. Posisi para aktor dengan postur sedikit membungkuk dan kedua tangan diletakan menyamping dalam sebuah barisan, serta adegan ketika mereka bergerak perlahan-lahan keluar melalui sebuah gerakan teatrikal, gerakan ini tidak diperkuat untuk menunjukkan peran gerak tersebut dengan keberadaan imam dan ibadat serta permasalahan antara imam dan perempuan di dalam adegan. Semuanya tiba-tiba ada, tiba-tiba bergerak.
Keberadan tubuh, juga dikenakan oleh berbagai aspek lain di dalam pertunjukkan. Misalnya, kenapa dalam adegan pertama dalam sebuah penculikkan, penculik membawa drom berisi air, menyiramkan air tersebut kepada perempuan, kemudian membawa perempuan tersebut dengan kursi roda. Atau, adegan monstran (beberapa orang menafsrikan cermin sebagai alkitab) yang digantikan dengan cermin. Kenapa digantikan, dan kenpa cermin menjadi pilihan? Air yang digunakan oleh para korban di adegan terakhir untuk menyirami tubuh mereka. Makna air di dalam adegan ini, bisa ditafsirkan sebagai bentuk kesadaran (Ini pendapat dari salah satu penonton ketika berdiskusi), tetapi bukannya di dalam beberapa adegan sudah ditunjukkan bahwa perempuan tersebut melawan ketika dipaksa menjadi wanita penghibur? Beberapa penonton memberikan tafsir bahwa ini adalah simbol dari penyucian, tetapi bukankah mereka ini korban?
Saya bukan melarang bahwa hal ini tidak diperkenankan atau melarang kebebasan orang-orang dalam menafsrikan tontonan, tetapi rangkaian makna atau pesan yang dibangun di dalam pertunnjukkan. Bagaimana penonton mengidentifikasi cerita melalui makna yang disampaikan dalam setiap adegan dalam pementasan.
Di antara sekian banyak ruang dan pergantian tiap adegan, dimensi-dimensi yang berbeda, serta keberagaman dan cepatnya adegan berganti melalui tanda dari lampu yang dimatikan dan dihidupkan, kekuatan narasi atau pesan yang disampaikan melalui tubuh, simbol dan sedikit narasi, perlu memperhatikan konstruksi cerita dan jalinan makna yang dibangun melalui tubuh atau simbol. Hal ini agar kesan penonton tidak sebatas kenikmatan visual dan aural belaka, tetapi merasuk sampai menciptakan sensasi, ketika merasakan kekuatan dari aktor, serta cerita yang menghadirkan dinamika konflik yang menciptakan dengung dan pertanyaan di dalam pikiran penonton.
Sekali lagi, proficiat untuk kerja keras Aletheia. Selalu ada karya yang ditunggu-tunggu dari Aletheia. Jaya selalu Aletheia, serta impian mereka yang meletakkan harapannya di atas panggung.***
Ini Tulisan Fr. Defri Ngo, SVD :
Ini Tulisan Fr. Rintho Jaga: