Catatan Defri Ngo
Alumni STFK Ledalero
Saya patut menyampaikan ucapan terima kasih kepada Rinto Djaga karena sudah menghantar saya untuk “menyaksikan” teater Cermin dari jarak dekat. Catatanmu tentu jadi “pintu lain” yang membantu saya untuk masuk kedalam pementasan Cermin tanpa membuang ongkos kapal ke Maumere. Saya melihat catatan ini sebagai reportasi daripada ulasan yang menyeluruh.
Ada setidaknya tiga bentuk kegelisahanmu dalam catatan ini. Semuanya dimulai dari pandangan tentang multiplisitas dan ambiguitas mengolah lakon, keterpisahan setiap adegan, serta subjektivitas dan estetika berteater. Saya akan mengomentari yang pertama dan ketiga sembari memberi satu masukan kecil yang “bolong” dalam catatanmu.
Namun, tanpa perlu terburu-buru mengomentarinya, saya ingin menegaskan posisi tilik saya. Jika anda adalah orang yang vis a vis berhadapan dengan Cermin, saya justru orang yang berada di luar itu. Saya berada di luar naskah dan di luar lakon. Jarak pandang kita berbeda.
Oleh karena itu, catatan saya justru dibangun atas catatan yang anda buat. Saya mencatat dari catatan anda. Saya sebut catatan ini sebagai “Kritik atas Kritik yang Kritikal”.
Pertama, saya sebut catatan anda sebagai sebuah kegelisahan yang justru menggelisahkan. Struktur bahasa anda tidak dibangun secara sistematis-kronologis-diskursif.
Selain itu, terdapat banyak pengetikan yang salah dan mengganggu kenyamanan pembaca. Sebagai misal, kata kebiusan yang seharusnya ditulis kebisuan (paragraf 10 baris 1) juga beberapa kata dan tanda baca lain yang ditulis secara serampangan. Ada juga kalimat yang tidak memiliki maksud logis. Misalnya, “tampilan perempuan yang dijual, yang dijadikan budak seks, keterlibatan pejabat dan aparat penegak hukum” (paragraf 6 baris 1). Apa maksudnya?
Alih-alih mengkritik Cermin sebagai “gambar acak yang ditampilkan pada beberapa potong cerita” (paragraf 4 baris 3), catatan ini justru in se merupakan potongan tak bersambung: sebuah episode yang dibiarkan terpisah-pisah.
Kedua, soal multiplisitas dan ambiguitas dalam satu lakon yang sama. Saya setuju bahwa keberagaman dimensi dan pengulangan cerita akan membuat penonton bosan. Naskah jadi sangat monoton tanpa ada elaborasi dengan gagasan lain. Namun demikian, kedua unsur ini diperlukan untuk menegaskan kemendesakan atau urgensi isu. Seni bukanlah bahasa yang cukup universal. Dalam arti tertentu, orang tidak bisa memahami seni dalam sekali tangkap. Barangkali, kemungkinan ini yang dipertimbangkan oleh sutradara teater. Cermin butuh multiplisitas dan ambiguitas. Terkait hal ini, semua berpulang kepada kemampuan sutradara untuk membangun format pertunjukan yang menarik. Apakah sutradara kita paham soal ini?
Ketiga, soal subjektivitas dan estetika berteater. Terkait konsep ini, anda mengutip pandangan Bene Ratih dalam buku Perempuan dan Teater. Anda menulis, “dalam subjektivitas, keberadaan perempuan bukanlah sebatas ornamen panggung yang diletakkan sebagai penghias, atau objek yang digerakan oleh orang lain.” (Paragraf 8 baris 1). Secara sederhana, teater adalah ruang penuh raung yang menampilkan seluruh diri subjek sebagai korban yang merasa diintimidasi. Unsur psikis perlu ditonjolkan agar publik menangkap kegelisahan dan maksud hati para korban.
Lebih jauh, anda menulis: “teater memberikan ruang bagi perempuan (apalagi yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan) untuk berbicaca tentang dirinya sendiri (paragraf 8 baris 3). Tesis ini bersifat problematis dan kontradiktoris. Sebab, bagaimana para korban harus berbicara dengan bahasa mereka? apa alat tutur yang paling mujarab untuk membahasakan maksud hati para korban?
Maksud saya, perempuan korban kekerasan sesungguhnya memiliki bahasa yang terbatas. Mulut mereka sudah terpenjara ketakutan. Tubuh mereka ditindas otoritas. Soal ini, Richard Rorty dalam Contingency, Irony, and Solidarity (1989) menambahkan “para korban kekerasan tidak dapat berkata-kata lagi. Mereka terlalu menderita untuk menyusun kata-kata sendiri”.
Bahasa memiliki unsur kontengensi. Tepat di sini, teater justru dipilih sebagai medium untuk membahasakan tangisan para korban. Boleh jadi, aspek psikis sudah tergambar dalam simbol tubuh yang anda sebut “bisu dan erotis” itu. Kebisuan menyimpan pertanyaan sebagaimana erotisme selalu menghasilkan rangsangan.
Oleh karena itu, tidak ada yang bisu dalam teater. Tidak ada yang erotis dalam lakon. Semua berbicara. Semua merasakan rangsangan.***
Lewoleba, 09 November 2022
Ini tulisan Rinto Djaga
Comments 1