Aksinews.id/Lewoleba – Ini tantangan sekaligus dorongan bagi kalangan orang muda Lembata untuk menciptakan sejarah baru bagi kehidupan bersama di kabupaten satu pulau ini. Sastrawan dan dosen senior Fakultas Sastra Universitas Senata Dharma Jogjakarta, Dr. Yosep Yapi Taum, M.Hum mendorong anak muda Lemnbata mendeklarasikan satu bahasa daerah di Lembata sebagai ‘official language’.
Ya, “Orang muda Lembata bisa melakukan semacam sumpah pemuda Lembata yang menyatakan satu bahasa sebagai bahasa Lembata. Ini perlu dilakukan orang muda Lembata, sehingga menjadi pijakan untuk melahirkan sebuah keputusan politik soal office language. Daerah lain sudah punya satu bahasa daerah yang menjadi official language, tapi di Lembata tidak begitu,” ungkap akademisi asal Ataili, Kecamatan Wulandoni, ini kepada aksinews.id di gedung Perpustakaan Daerah Kabupaten Lembata, Lewoleba, Jumat (15/10/2022).
Yapi Taum datang ke gedung Perpustakaan Daerah Kabupaten Lembata untuk memandu lokakarya pembuatan modul pembelajaran untuk SMA: Mengenal Bahasa dan Sastra Lembata.
Dalam presentasenya mengenai situasi bahasa di Lembata, Yapi Taum menjelaskan bahwa Lembata belum memiliki Official Language, yakni bahasa yang berkaitan dengan urusan ‘resmi’ pemerintah, yang digunakan dalam situasi resmi dan diajarkan melalui pendidikan formal.
Yang ada, saat ini, menurut dia, adalah Working Language. Yakni, bahasa yang memiliki status sebagai alat komunikasi utama di dalam masyarakat multibahasa. Bahasa kerja (working language) memiliki fungsi sosial, politik, dan budaya.
“Dalam wilayah kebudayaan Lamaholot, termasuk di Lembata, tidak ada bahasa/dialek standar. Semua bahasa/dialek dipandang sama penting dan sama kedudukannya bagi penuturnya masing-masing,” ujarnya, seraya menambahkan, “Kondisi terisolasi pada masa lampau mempertebal kesadaran mereka untuk tidak mengakui superioritas dari satu bahasa (lain) untuk seluruh wilayah”.
Sebelum menjadi kabupaten Otonom tahun 1999, Lembata menjadi bagian dari kabupaten Flores Timur. Dan, pada masa raja-raja, Flores Timur terbelah menjadi dua pusat kerajaan di masa lampau, yaitu di Larantuka (Demong) dan di Sagu (Paji). “Hal ini menyebabkan konsentrasi penutur bahasa Lamaholot terpecah menjadi dua. Bahasa yang digunakan pimpinan pemerintahan di Larantuka adalah bahasa Melayu yang jauh berbeda dari bahasa Lamaholot yang digunakan sebagian besar rakyatnya, kecuali Boru-Hewa,” jelas Yapi Taum.
Dijelaskan pula, terdapat tiga bahasa yang menonjol dalam perkembangan agama (Katolik) di Flores Timur dan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa substandard. Yakni, bahasa/dialek Lamalera dipakai untuk seluruh daerah di Lembata, Bahasa Dulhi untuk wilayah Adonara Timur, dan Bahasa Baipito untuk daerah belakang Gunung Ile Mandiri.
“Doa-doa di seluruh wilayah Lembata, dulunya, pakai bahasa atau dialeg Lamalera,” jelas dia, namun kemudian hilang dengan munculnya doa-doa dalam bahasa Indonesia.
Menyitir Gorys Keraf dalam bukunya Morfologi Dialek Lamalera (1978), Yapi Taum menjelaskan bahwa terdapat tiga cabang bahasa Lamaholot di Lembata, selain bahasa Kedang. Yakni, Lamaholot Barat yang meliputi Ile Ape, Lamalera, Mulan, Kawela (Merdeka), Lewolein, dan Waienga; Lamaholot Tengah yang terdiri dari dua kelompok, yaitu a) Kelompok Labalekan dan Mingar, dan b) Kelompok Lewuka, Lewokukung, dan Painara (Atadei pegunungan); dan Lamaholot Timur meliputi Lewoeleng (Leragere) dan Lamatuka (Leralodo).
Mantan dosen Universitas Timor Timur (Untim) ini, Lembata perlu membenahi dirinya di segala aspek kehidupan, termasuk di dalam dunia pendidikan dan kebudayaannya. “Salah satu fenomena budaya yang membutuhkan perhatian khusus adalah keragaman bahasa dan budaya di Lembata. Para ahli linguistik mengatakan bahwa Lembata tidak memperlihatkan kesatuan linguistik, budaya, agama, dan ilmu pengetahuan,” tandasnya.
Karena itu, kata dia, Lembata hanya akan menjadi sebuah wilayah administratif yang tidak memperlihatkan kesatuan linguistik, kesatuan budaya, kesatuan religi, dan kesatuan pengetahuan jika fenomena ini tidak dipahami dan disikapi dengan tepat dan bijaksana. “Keragaman itu berpotensi menimbulkan perbedaan, konflik, dan pertentangan, apalagi jika dikaitkan dengan perebutan kekuasaan politik,” tandasnya, mengingatkan.
Di masa lampau, Lembata memiliki sejarah konflik dan perang yang sangat panjang dan melelahkan. “Inilah kenyataan sejarah (historical imperative) yang menjadi tantangan hidup yang berdampak pada kelangsungan hidup masyarakat masa kini dan di masa depan,” ucap Yapi Taum.
“Di dalam menjawab tantangan yang dihadapi pada tahap-tahap perkembangan masyarakat Lembata, akan muncul proses adaptasi, inovasi, sintesis, bahkan transformasi atau perubahan kebudayaan. Transformasi dapat dibayangkan sebagai suatu proses yang lama dan bertahap-tahap, tetapi dapat pula dibayangkan sebagai suatu titik balik yang cepat, bahkan abrupt (mendadak),” tegasnya lagi.
Yapi Taum berharap anak muda Lembata bisa menjadi motor penggerak dalam melahirkan kesepakatan untuk menjadi bahasa tertentu menjadi ‘office language’ yang dipakai oleh seluruh rakyat Lembata. Dia mencontohkan bahwa bahasa Indonesia disepakati para pemuda melalui Sumpah Pemuda tahun 1928. “Padahal, kalau mau bahasa yang mayoritas dipakai di Indonesia kan ada bahasa Jawa. Tapi, para pemuda Indonesia mendeklarasikan bahasa Indonesia (melayu), dan dipakai sebagai bahasa nasional kita,” tandasnya.
Contoh lainnya, jelas Yapi Taum, adalah kembali munculnya bahasa Ibrani yang sudah hilang, tapi sejak abad 19 dimunculkan kembali.
“Bahasa adalah sebuah sistem. Artinya, bahasa itu bukanlah sejumlah unsur yang terkumpul secara tak beraturan melainkan sebaliknya. Bahasa adalah sejumlah unsur yang beraturan. Unsur-unsur bahasa itu diatur. Bahasa terbentuk oleh suatu aturan atau kaidah atau pola yang teratur dan berulang, baik dalam tata bunyi (fonologi), tata bentuk kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), dan tata makna (semantik),” tandasnya.
“Lembata perlu menyusun bahasa Lamaholot dialek Lembata dalam sistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantic,” tegas Yapi Taum. (AN-01/AN-03)
Sepakat dengan ulasan di atas bahwa “anak muda Lembata bisa menjadi motor penggerak dalam melahirkan kesepakatan untuk menjadi bahasa tertentu menjadi ‘office language’ yang dipakai oleh seluruh rakyat Lembata” Pertanyaannya adalah “ANAK MUDA SIAPA YANG MAU MEMPROVOKASI GERAKAN SATU LEMBATA, WADAH APA YANG AKAN DIGUNAKAN UNTUK MENGUMPULKAN SEMUA ELEMEN ANAK MUDA LEMBATA?” Secara pribadi kita perlu menata ulang bahwa Lembata milik kita. Milik anak Lamblean mereka yang mendulang hidup di tanah ini juga harus dilibatkan secara paripurna jangan tinggalkan mereka, karena diantara mereka mungkin punya potensi aura positif memberi nilai positif membangun Pulau Kusta ini.
Perdebatan dan konflik bisa saja terjadi bukan karena bahasa saja tapi areal keyakinan dan budaya secara diam-diam dapat menyulut api dalam sekam. Ini menjadi tugas Anak Muda Lembata (AML) yang dibentuk tanpa sekat walau harus diakui perbedaan sangat nyata seharusnya bisa didulangi dalam wadah Satu Lembata.
Lamahora, 15/10/2022
Dirgahayu Lembataku Dirgahayu Satu Lembata. Ta’an Sare, Ta’an mela, Hara di’en atau apalah namanya yang PASTI LEMBATA SATU LEMBATA.