“Historia Vitae Magistra Est”, “Sejarah adalah guru kehidupan”, demikian bunyi pepatah Latin yang saya gunakan sebagai acuan dalam menyoroti buku “Lembata Dalam Pergumulan Sejarah Dan Perjuangan Otonominya”.
Buku ini menggambarkan dinamika dan sejarah kehidupan masyarakat Lomblen, kemudian secara resmi berganti nama menjadi Lembata pada 1 Juli 1967, yang secara umum terbagi dalam dua babakan sejarah, yakni: Pertama, sejarah Lembata pada zaman Nirleka (zaman pra aksara, zaman pra sejarah), yakni sejak zaman Nusa Kawela hingga bahasan tentang Lera Wulan Tana Ekan. Kedua, menggambarkan Lembata pada zaman sejarah, mulai dari masuknya agama wahyu, Islam dan Katolik, dilanjutkan dengan dinamika perjuangan menggapai otonomi selama 45 tahun (1954 – 1999) hingga visi Lembata masa depan.
Sebagai “guru kehidupan”, sejarah Lembata mengajarkan kita beberapa hal penting, antara lain :
Pertama, tinggalan sejarah dalam beragam bentuk, baik dalam arti objektif maupun subjektif, mulai dari zaman batu, zaman perunggu, zaman besi hingga zaman moderen, merupakan sumber refleksi untuk memahami sekaligus merekonstruksi dinamika peradaban Lembata lintas masa sebagai pelajaran hidup menuju Lembata Depan, yaitu Lembata yang bangkit menuju sejahtera;
Kedua, berbagai fakta sosial yang terjadi sepanjang spektrum sejarah Lembata, selain menjadi media pembentukan identitas diri dan komunitas Lembata masa kini, juga merupakan sumber etika dan moralitas hidup yang dapat dikembangkan sebagai media edukasi dan pembentukan karakter;
Ketiga, terbitnya buku ini merupakan awal yang baik untuk merangsang berkembangnya tradisi menarasikan tinggalan sejarah Lembata untuk diwariskan kepada generasi mendatang, sekaligus mengeliminasi berbagai kelemahan tradisi tutur yang mendominasi pewarisan sejarah selama ini;
Keempat, saya bangga dan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap semua yang terlibat dalam penulisan buku ini, yang saya yakini memiliki kesadaran sejarah yang mendalam untuk menempatkan sejarah Lembata sebagai sumber ajaran yang menuntun kehidupan. Oleh karena itu, hindarilah subjektifitas sedapat mungkin, mengingat keterpesonaan terhadap sejarah dapat melumpuhkan orisinalitas dan kemampuan bertindak untuk mengembangkan kesadaran yang objektif dan jujur terhadap amanat sejarah Lembata, baik dalam perspektif ilmu, seni, peristiwa maupun kisah.
Berdasarkan keempat pelajaran di atas, sebagai Gubernur Nusa Tenggara Timur, saya menyambut gembira lahirnya karya “Anak Lewotana”: “Lembata Dalam Pergumulan Sejarah Dan Perjuangan Otonominya”, dengan menyampaikan beberapa pesan sebagai berikut :
Pertama, menghadapi penjajahan Portugis, Belanda dan Jepang, masyarakat telah menunjukkan semangat dan sikap nasionalisme, patriotisme serta semangat juang yang pantang menyerah. Pembentukan dan kesigapan kerajaan-kerajaan Islam Lomblen untuk membendung pengaruh Portugis di Solor, penyatuan kekuatan rakyat melalui pembentukan komunitas “Solor Watan Lema”, Perang Blasting di Tanah Leragere, kisah Polo Ama Bantai Belanda serta penolakan terhadap pemberlakuan sistem “Paji Demong”, merupakan bukti sejarah yang tidak terbantahkan tentang nilai nasionalisme, patriotisme dan semangat juang masyarakat Lembata. Oleh karena itu, nilai-nilai warisan leluhur Lembata ini harus direkonstruksi dan direaktualisasi melawan berbagai bentuk “penjajahan baru”, seperti kemiskinan, keterbelakangan, tingginya angka stunting, tingginya angka kematian ibu dan anak serta rendahnya aksesibilitas masyarakat terhadap infrastruktur dasar, khususnya pelayanan kesehatan, fasilitas pendidikan, air bersih, serta sarana dan prasarana transportasi.
Kedua, posisi strategis Lembata terhadap “ring of beauty” NTT. Sebagaimana tertulis dalam catatan sejarah, Lembata memiliki potensi pariwisata yang kaya dan unik, yang apabila dikembangkan dapat menjadi asset destinasi pariwisata unggulan di NTT. Sebagaimana dikisahkan dalam buku ini, Lembata memiliki kekayaan budaya, berbagai bentuk kearifan lokal, kelembagaan adat, tinggalan sejarah berupa situs, mitos, legenda, benda-benda purbakala, temuan-temuan arkeologis, desa adat, karya seni, agama suku atau agama leluhur : “Lera Wulan Tana Ekan”, tradisi penangkapan ikan paus di Lamalera serta berbagai potensi objek wisata bahari lainnya.
Dengan melakukan transformasi secara terencana dan sistematis terhadap berbagai potensi objek wisata Lembata di atas, melalui pendekatan yang inklusif, berkelanjutan dan berbasis masyarakat lokal, saya yakin Lembata akan menjadi New Tourism Territory yang unik dan menjanjikan serta berpotensi mendongkrak kualitas pertumbuhan ekonomi Lembata, menjadi pertumbuhan yang berdampak positif terhadap pengentasan kemiskinan dan pengangguran serta peningkatan kesejahteraan rakyat Lembata dalam arti yang seluas-luasnya.
Ketiga, Masyarakat Majemuk Lembata. Pluralisme sosial dan budaya Lembata sudah berlangsung lama. Masyarakat asli Lembata sejak kedatangan dari Migran dari Hindia Belakang sudah berintergrasi dan hidup bersama dengan suku-suku pendatang (Sina Jawa Malaka, Seran Goran Abu Muar, Kroko Puken) dan masuknya penyebar Islam dari Palembang, Jawa, Ternate, Tidore, Makasar, dan Barat. Unsur kepelbagaian Lembata, baik sosial maupun kultural, diperkaya dengan hadirnya bangsa Portugis, Belanda dan Jepang. Pada paruh terakhir penjajahan Belanda kemajemukan Lembata kembali diperkaya oleh kedatangan masyarakat dari pulau-pulau sekitar seperti Alor, Pantar, Adonara dan Solor yang bergabung dalam rumpun keluarga Lamaholot. Inti soal yang ingin saya kemukakan adalah, bahwa masyarakat Lembata, baik secara sosial maupun budaya memiliki pengalaman panjang dalam membangun kehidupan yang rukun, damai dan toleran bersama suku-suku pendatang, dengan latar belakang agama, tradisi dan budaya yang berbeda. Warisan sejarah ini mesti dikembangkan untuk membangun dan memperkuat gaya hidup rukun, damai dan toleran dalam masyarakat Lembata kontemporer serta secara sistematis dan terukur wajib diwariskan bagi generasi Lembata masa depan.
Keempat, Sentra Industri Terpadu. Sebagai Gubernur NTT, saya pernah melakukan kalkulasi visioner bahwa Lembata ke depan akan menjadi sentra industry terpadu, khususnya industri pengolahan hasil pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kelautan. Posisi strategis Lembata yang berada di antara Pulau Pantar, Adonara, Solor dan bagian timur Pulau Flores memungkinkan Lembata menjadi pusat pengembangan industri terpadu dengan pulau-pulau sekitar sebagai titik rantai pasok. Bila ini terjadi, maka Lembata akan menjadi sentra industri terpadu di NTT yang menghasilkan berbagai produk unggulan untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik, lokal, nasional bahkan internasional.
Kelima, Pembangunan Koneksitas Wilayah. Dalam rangka mendukung Lembata sebagai Sentra Industri Terpadu dan New Tourism Territory perlu dibangun infrastruktur transportasi orang, barang dan jasa baik itu pelabuhan Pelni, Pelabuhan Feri, Pelabuhan Perikanan, Airport, jalan dan pergudangan hingga tambatan perahu motor, yang semuanya diarahkan bagi terjaminnya koneksitas Lembata dengan wilayah lain. Bukan tidak mungkin, Lembata ke depan akan menjadi titik utama rantai pasok berbagai kebutuhan destinasi wisata super premium Komodo.
Keenam, Pengembangan SDM. Sejarah Lembata menunjukkan bahwa selain berbagai dampak negatif, penjajahan Portugis dan Belanda juga turut mengembangkan pendidikan dan membangun peradaban baru. Bahkan perjuangan rakyat Lomblen melawan penjajah, justru dimotori para guru hasil didikan bangsa penjajah. Fakta juga menunjukkan bahwa Lembata memiliki ilmuan dan tehnokrat bertaraf nasional bahkan internasional yang banyak memberi kontribusi bagi kemajuan Indonesia, khususnya di bidang pengembangan sumber daya manusia.
Oleh karena itu, saya mengajak seluruh “Anak Lewo Tana” Lembata, baik yang di rantau maupun di nagi, mari kita berkolaborasi untuk membangun sinergitas pengembangan sumberdaya manusia Lembata demi mendukung visi masa depan Lembata, yakni Lembata yang Bangkit menuju Sejahtera.
Ketujuh, Perang terhadap Kemiskinan dan Stunting. Sudah puluhan tahun NTT terkenal di Indonesia karena tingginya angka kemiskinan dan stunting. Tahun 2018, NTT menempati urutan ke 3 daerah termiskin, setelah Papua dan Papua Barat. Sejak memimpin daerah ini, saya mengajak semua pemangku kepentingan, termasuk para Bupati, untuk memerangi kemiskinan. Hasilnya, prosentase kemiskinan NTT mengalami kecenderungan menurun, walaupun belum signifikan. Pada September 2018, prosentase kemiskinan NTT berada pada angka 21,03 %, kemudian menurun 0,41 poin menjadi 20,62 % pada September 2019, dan kembali naik 0,28 poin pada September 2020 menjadi 20,90 %, karena pandemik Covid-19. Pada sisi lain, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar 2018, NTT menempati urutan tertinggi angka stunting se Indonesia, yakni 42,26 %. Berkat kerja keras semua pihak, walaupun belum optimal, pada Agustus 2020, angka stunting NTT turun drastic menjadi 24,2 %.
Saya mendapat informasi bahwa angka kemiskinan dan stunting di Lembata juga terus menurun. Angka stunting Lembata, misalnya, pada tahun 2018, menempatiurutan ke-20 dari 22 kabupaten/kota, yakni sebesar 45,5 %, kemudian turun drastic menjadi 25,7 % pada Agustus 2020 (urutan 14).
Melalui kesempatan ini, saya mengajak seluruh Warga Lembata, termasuk warga keturunan Lembata yang berada di daerah rantau, mari bersama kita nyatakan perang terhadap kemiskinan dan stunting di Lembata. Sekali lagi, saya mengajak kita semua untuk belajar dari sejarah Lembata. Apabila waktu dahulu, Leluhur kita bersatu dan bangkit melawan sistem Paji Demong yang menjadi momok dalam masyarakat, sekarang ini sebagai Gubernur saya mengajak kita semua untuk menjadikan kemiskinan dan stunting di Lembata sebagai “paji demong baru” yang mesti kita perangi hingga ke akar-akarnya.
Demikianlah beberapa hal yang dapat saya sampaikan untuk menyambut terbitnya buku ini. Semoga bermanfaat.
Kupang, Desember 2020
Gubernur Nusa Tenggara Timur, DR. Viktor Bungtilu Laiskodat, SH, M.Si.