Oleh Anselmus D Atasoge
Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
“Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya” (GS. 1).
Saat ini sedang ada satu perasaan identitas bersama dan kebutuhan bersama warga dunia, yakni terbebaskan dari kerentanan dan ketularan Covid-19. Perasaan dan kebutuhan itu seakan ‘menerobos’ kebijakan pembatasan-pembatasan sosial negara bagi para warganya. Dia tak terbatas ruang dan waktu. Perasaan dan kebutuhan itu melahirkan perasaan kohesif di antara sesama manusia, dekat maupun yang nun jauh di sana. Kesadaran akan keretanan bersama menembus segregasi ‘aku-engkau’ dan merangkumkannya dalam satu bahtera ‘esse-co esse est’, adaku adalah ada bersama, seperti yang dikatakan filsuf Perancis, Gabriel Marcel.
Di tengah situasi ini, komunitas negara-negara dunia tengah mengotak-atik kebijakan-kebijakan politiknya dalam pelbagai bidang terutama sosial-ekonomi untuk menghadapi ‘gempuran’ Covid-19. Institusi-institusi non-government pun mengeluarkan himbauan-himbauan bagi komunitasnya untuk mengemas kewaspadaan-kewaspadaan sosial. Komunitas sosial kemasyarakatan di pelbagai sudut dunia juga terpanggil erat untuk mengkampanyekan aksi-aksi melawan Covid-19. Semua bersatu dalam ‘keberadaannya sendiri’ untuk ‘ada bersama’. Saya kira hal ini menjadi komitmen eksistensial untuk menyelamatkan bumi dari ancaman Covid-19.
Tulisan ini hendak mencoba memberikan basis eksistensial dalam menghidupkan perasaan kohesif masyarakat dunia dalam mengurai dan menghadapi dampak pandemi covid 19 dari sudut pandang kristiani.
Dokumen Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II Gaudium et Spes artikel boleh dipandang sebagai sebuah pembukaan yang sungguh menggugah kesadaran akan sisi kemanusiaan Gereja serentak mengundang para anggotanya untuk berkompasio kepada situasi dunia. “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya” (GS. 1).
Hemat saya, artikel 1 ini merupakan prinsip solidaristik inklusif yang mesti ditunjukkan Gereja ketika berhadapan dengan ‘situasi batas’ (Karl Jaspers menyebutnya sebagai Grenzsituationen) yang sedang dialami masyarakat manusia dan dunia pada umumnya. Solidaritas inklusif bersumber pada solidaritas ilahi: dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan menuju Kerajaan Bapa. Kerajaan Bapa adalah kerajaan keselamatan dan justru seluruh warta Yesus bersama Roh Kudus bermuara pada misi keselamatan.
Dalam dokumen lainnya yang diberi judul Sollicitudo Rei Socialis, disebutkan bahwa solidaritas merupakan keutamaan Kristiani sekaligus sebagai ciri para murid Kristus (bdk. Yoh. 13:35). Artikel 40-nya menegaskan: ”Dalam terang iman solidaritas berusaha melampaui diri, mengenakan dimensi-dimensi khas Kristiani kemurahan hati yang sepenuhnya, pengampunan dan pendamaian. Sesama bukan melulu manusia beserta hak-haknya sendiri dan kesetaraan dasariah dengan manusia lain mana pun juga, melainkan menjadi citra yang hidup menyerupai Allah Bapa, ditebus berkat darah Yesus Kristus, dan tiada hentinya diliputi oleh karya Roh Kudus. Oleh karena itu sesama harus dikasihi, juga kalau ia seorang musuh, dengan cinta yang sama seperti kasih Tuhan sendiri terhadapnya. Dan demi sesama itu orang harus bersedia berkorban, bahkan sampai tuntas: menyerahkan nyawanya demi saudara-saudari (bdk. 1 Yoh 3:16)”.
Dengan bersumber pada solidaritas ilahi, solidaritas inklusif Gereja akan bermuara pula pada misi keselamatan semesta berkat upaya pelampauan diri, kesadaran akan kesetaraan dasariah dengan manusia lain dan yang dibingkai oleh cinta kasih. Dari perspektif ilmu sosial, saya memandang idealisme GS 1 ini sebagai bagian dari usaha dunia untuk menciptakan dan memajukan masyarakat dunia yang kohesif-harmonis.
Menurut Jane Jensen (1998), istilah kohesi sosial digunakan untuk menggambarkan proses pelibatan komitmen dan keinginan dan kemampuan untuk hidup bersama dalam keharmonisan. Dan, menurut Judith Maxwell (dalam Andy Green, dkk, 2006), kohesi sosial melibatkan pembangunan berbagi nilai dan komunitas. Pelibatan ini umumnya memungkinkan orang untuk memiliki rasa bahwa mereka terlibat dalam usaha bersama, menghadapi tantangan bersama, dan bahwa mereka adalah anggota dari komunitas yang sama.
Pelibatan ini umumnya memungkinkan orang untuk memiliki rasa bahwa mereka terlibat dalam usaha bersama, menghadapi tantangan bersama, dan bahwa mereka adalah anggota dari komunitas yang memiliki satu identitas yang sama: satu keluarga manusia. Dalam perspektif yang lebih luas, melalui ensiklik “Fratelli Tutti” Paus Fransiskus mendorong Gereja untuk pergi “’keluar diri sendiri” untuk menemukan “eksistensi lebih penuh dalam diri orang lain”, dengan membuka diri terhadap yang lain sesuai dengan dinamika cinta kasih yang membuat Gereja terarah kepada “kepenuhan universal”. Pada hakekatnya, ensiklik ini bertujuan untuk mendorong keinginan akan persaudaraan dan persahabatan sosial. Pandemi Covid-19 menjadi latar belakang ensiklik ini. Paus Fransiskus merefleksikan bahwa kedaruratan kesehatan global telah membantu menunjukkan bahwa “tak seorangpun bisa menghadapi hidup sendirian” dan bahwa waktunya sungguh-sungguh telah tiba akan “mimpi sebagai satu keluarga umat manusia”. Di dalam konteks yang demikian, Paus Fransiskus mengharapkan agar semua umat manusia boleh membangun komitmen eksistensial manusiawi sebagai satu “saudara dan saudari dari semua”.
Ada dua skenario yang bisa dibangun untuk memperkuat satu identitas bersama yang saya sebut sebagai kerentanan terhadap Covid-19 sebagai konsekuensi lanjut dari komitmen eksistensial tersebut. Dua skenario tersebut adalah skenario individualistik (dari pribadi untuk semua) dan skenario solidaristik (nilai bersama untuk semua). Skenario ini dipikirkan untuk menjembatani idealisme kohesi sosial sebagai konsep yang mencakup nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang bertujuan untuk memastikan bahwa semua warga, tanpa diskriminasi dan dengan pijakan yang sama, memiliki akses kepada hak sosial dan ekonomi. Sederhananya, dengan kearifan-kearifan lokalnya, masyarakat bisa menginisiasi subsidi-subsidi kecil (dari yang mampu kepada yang kurang mampu, dari yang kurang rentan secara ekonomis kepada yang amat rentan secara ekonomis). Dari perspektif GS 1, skenario yang demikian adalah skenario yang berwajah inklusif yakni membangun satu solidaritas bersama tanpa membeda-bedakan latar suku, agama dan kepentingan politis masing-masing pihak.
Pandemi corona telah mengubah pola hidup manusia dan model interaksi antarmanusia. Mau tak mau, suka tak suka, untuk sementara manusia yang satu harus ‘menjaga jarak’ dengan manusia yang lain. Komitmen bersama untuk menjaga jarak demi kebaikan bersama, bukanlah demi misi individualistik yang sering menjebak manusia dalam kesunyian dan kesendirian yang menepis keberadaan ‘yang lain’. Atau, dalam bahasa GS: Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.
Atas dasar kebaikan bersama dan terutama demi nama kemanusiaan, banyak kisah kecil di mana orang saling bantu telah menginspirasi dan menggetarkan hati dan menjadi gerakan bersama untuk saling menolong. Timelime berbagai media sosial tampil kencang dengan kisah-kisah donasi-subsidi untuk para medis, untuk kalangan-kalangan kecil yang terpapar amat serius, untuk mereka yang tak punya pilihan bekerja dari rumah, dan bagi siapa saja yang tak kepalang-tanggung menderita dalam pandemi ini. Pemerintah dan berbagai kalangan bahu-membahu memperkecil jangkauan sebaran corona serentak membangun resiliensi (ketangguhan) masyarakat menghadapi serangan corona. Resiliensi dibutuhkan demi sekurang-kurangnya warga bangsa ini terpenuhi kebutuhan hariannya akan pangan. Di balik imperatif ini hadirlah sebuah pelajaran besar yang bisa diberi judul subsidiaritas sebagai implikasi dari GS 1. Subsidiaritas yakni sebuah kepedulian spontanitas yang memungkinkan orang-orang terlibat untuk menggapai keselamatan (individual dan komunal) dan pertumbuhan sosial (keluarga, lingkungan, masyarakat, negara). Subsidiaritas memungkinkan setiap orang, entah sebagai individu maupun komunitas, untuk membangun kerja sama dengan orang-orang lain dan memberi andil bagi kehidupan sosial di mana seseorang dan komunitas menjadi anggotanya. Solidaritas inklusif di tengah pandemi pada akhirnya melahirkan ‘imperative pandemic’. Bahwasanya, duka dan kecemasan dunia saat ini memanggil setiap umat beriman kristiani untuk menunjukkan solidaritas inklusifnya terhadap siapapun tanpa mempertimbangkan latar sosial dan latar religiusnya.(*)