Anselmus D. Atasoge
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Perhelatan ETMC 2022 di Tanah Lepan Batan telah usai, Kamis, 29 September 2022. Pelbagai dinamika hadir di sana, tidak hanya di areal pertandingan melainkan juga di setiap sudut lapangan dan meluas tak terbendung di media sosial. Keindahan sepak bola dibarengi ‘kekerasan’ dan diikuti dengan ‘saling bergandengan’ tangan lahir silih berganti di setiap momennya.
Tak ketinggalan kisah-kisah ‘menarik’ di luar lapangan yang beredar di kanal-kanal media sosial. Saya sebutkan beberapa: ada kisah seorang lelaki muda yang melakukan ‘oreng’ di bukit dekat Gelora 99; ada pula ‘sesajian’ yang ditaruh di dekat lapangan pertandingan. Sementara itu, ada pula warganet yang memposting ‘ritual-ritual khusus’ sebagai simbol ‘jalan menuju kemenangan’. Juga kepingan-kepingan gambar supporter yang sedang mengatup tangan di dada tatkala hendak memohon pada Yang Kuasa untuk menghadirkan mujizat tatkala wasit menunjuk titik putih bagi tim kesayangannya.
Kepingan-kepingan kisah ini seakan menjadi hal yang biasa saja. Ada yang memandangnya sebagai lelucon. Ada pula yang melihatnya sebagai ‘sesuatu yang luar biasa’ yang kehadirannya menjadi hiasan sejarah di Gelora 99. Bagi saya, kepingan kisah itu lebih dari sekedar peristiwa biasa yang ‘ditradisikan’ dari satu momen ke momen yang lain. Ada sekian banyak pesan di baliknya. Saya menyebutnya sebagai ‘simbolik bolaisme’.
Sepak bola telah menghipnotis kehendak dan keinginan ribuan masyarakat, tak terkecuali pada momen ETMC 2022. Kakek, nenek, tua, muda, anak-anak memenuhi sudut-sudut lapangan. Semua menyatu dalam kehendak yang sama: menyaksikan dan mendukung tim kesayangan dengan pelbagai cara dan gaya. Panas terik, dedebuan, haus lapar, bukan menjadi soal, halangan, rintangan. Di lapangan, tak segregasi yang ketat di antara semua yang hadir, meski mereka hadir dengan ‘warna’ yang berbeda-beda.
Kehendak dan keinginan untuk menyaksikan kemenangan bagi timnya seakan menggerakan pelbagai aktivitas dan tindakan untuk mendukung dengan menghadirkan spirit fisik dan metafisik. Spirit fisik jelas terlihat di lapangan atau di medan-medan ‘nobar’ yang digelar di mana saja. Spirit metafisik hadir dalam ‘ritual-ritual khusus’ yang saya sebutkan sebagian kecilnya tadi. Dan, hal itu mewujud dalam tindakan-tindakan simbolis baik di sekitar lapangan maupun di sudut-sudut wilayah manapun.
Sejatinya, tindakan simbolik ataupun benda-benda simbolik yang dihadirkan sebelum, selama dan sesudah pertandingan sepak bola (termasuk warna-warni tubuh supporter yang dikemas melalui kostum supporter, bendera-bendera atau spanduk yang dipikul supporter, kata-kata yang dikeluarkan, gerakan tangan-kaki-kepala, dan sebagainya) mengandung intensi yang layak disimak.
Simbol telah menjadi bagian penting dalam peradaban manusia. Melalui simbol manusia mengungkapkan cara pandangnya atau apa yang dipikirkannya tentang realitas kehidupan yang mengitarinya. Melalui simbol juga manusia mengungkapkan model-model relasinya dengan realitas yang berada di luar dirinya, yakni dengan Tuhan, sesama manusia dan alam semesta.
Saya teringat akan pemikiran Paul Avis dalam karyanya “God and The Creative Imagination, Metaphor, Symbol and Myth in Religion and Theology (London, 1991). Menurut Avis, simbol berarti membayangkan satu hal dalam bentuk yang lain. Ada dua aspek penting dalam pengertian ini yakni “membayangkan satu hal” dan “dalam bentuk yang lain”. Hal pertama berkaitan dengan tindakan membayangkan yang berhubungan erat dengan aktivitas imaginatif manusia. Hal kedua berkaitan dengan kemampuan manusia untuk mengabstrasikan sesuatu yang dibayangkan itu dalam bentuk tertentu.
Kedua hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, simbol dan imaginasi. Seseorang atau sekelompok orang yang membuat dan atau membaca simbol membutuhkan imaginasi. Ketika simbol digunakan dan ditanggapi atau dibaca arti dan maknanya, ketika itu imaginasi digunakan. Setiap orang atau kelompok yang membuat atau membaca simbol mengerahkan seluruh kekuatan kreatifnya. Tindakan penyimbolan tersebut menuntut sikap aktif dari pencipta simbol tersebut.
Demikian pula, untuk sampai pada pemahaman yang komprehensif terhadap sebuah simbol, para pencari arti dan makna simbol diharuskan untuk berpartisipasi di dalamnya hingga masuk ke dalam imaginasi tersebut dengan terlibat langsung dan aktif dalam realitas yang diimaginasikan tersebut. Sebab, menurut Avis, imaginasi adalah lingkungan simbolisme.
Kedua, simbol dan bentuk. Bagi Avis, bentuk merupakan kunci untuk simbol. Simbol diabstrasikan dalam bentuk serentak pula mengandung esensi dari simbol. Bentuk membuat simbol menjadi nyata. Bentuk membuat apa yang diimaginasikan dapat diindrai.
Sepak bola sepertinya mengandung lautan simbolik yang diciptakan untuk menjembatani antara realitas fisik dan dunia metafisik. Allah yang ‘jauh, suci, sakral’ diundang hadir untuk menyatakan ‘mujizatnya’ di lapangan pertandingan. Leluhur yang telah ‘tenang’ di dunia seberang ‘dipaksa bangun’ untuk menyatakan dukungannya. Benda-benda budaya dihadirkan pula di sana untuk membangkitkan spirit kemenangan. Sejumlah ‘kata/sabda/koda’ dilemparkan di sana untuk mendukung kawan dan menghantam lawan.
Tak salah jika dikatakan bahwa semuanya bermuatan imaginasi-imaginasi kesuksesan dan kemenangan. Dan semuanya tidak salah. Yang salah adalah para pencipta simbol ‘memaksakan hasil imaginasinya’ kepada yang lain dengan cara yang paling sadis dan tidak beradab. Imaginasi simbolik yang mengandung paksaan (memaksa dan mengkerangkeng kebenaran-kemenangan menjadi milik diri sendiri) di lapangan sepak bola, sejatinya adalah aktualisasi diri yang tidak sempurna. Sepak bola NTT mesti jauh dari simbolik bolaisme seperti ini! ***