Aksinews.id/Jakarta – Wali Kota Ambon, Richard Louhenapessy, SH ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga terlibat kasus suap pemberian izin pembangunan cabang retail di Ambon. Dia pasrah dibawa petugas ke Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan. Diduga ia menerima suap sebesar Rp 500 juta.
“Sebagai warga negara yang baik, saya harus memberikan apresiasi dan dukungan kepada penegakan hukum oleh KPK,” kata Richard Louhenapessy sesaat sebelum memasuki Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (13/5/2022).
Richard tiba pukul 18.02 WIB, Jumat, 13 Mei 2022, mengenakan baju putih lengan panjang, celana panjang hitam, dan memakai topi.
Wali Kota Ambon ini membantah bahwa ada upaya penjemputan paksa oleh penyidik KPK karena disebut tak kooperatif. Dia mengaku habis menjalani operasi pada jari kakinya.
Namuin pihak KPK menyatakan telah menjemput paksa Richard. Upaya ini dilakukan karena Richard dinilai tidak kooperatif saat akan dilakukan pemeriksaan.
Ya, “Kami menilai bahwa salah satu tersangka tersebut tidak kooperatif. Sehingga, tim penyidik KPK hari ini masih dalam proses penjemputan paksa para pihak utamanya satu orang,” kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara bidang penindakan KPK, Ali Fikri.
KPK menangkap Richard Louhenapessy karena diduga menerima suap terkait pemberian persetujuan izin prinsip pembangunan cabang usaha retail di Kota Ambon tahun 2020 lalu. Richard ditangkap bersama Staf Tata Usaha Pimpinan Pemkot Ambon, Andre Erwin Hehanusa (AEH).
Ketua KPK Firli Bahuri menjelaskan, KPK telah membawa keduanya dari Ambon ke Jakarta untuk dilakukan penahanan. Tim penyidik akan meminta keterangan tersangka untuk mengusut kasus dugaan suap ini. “Tim penyidik selanjutnya membawa RL ke gedung merah putih untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut,” kata Firli, di Jakarta, Jumat, 13 Mei 2022.
Firli menjelaskan kronologi kasus dugaan tindakan suap tersebut. Menurutnya, Richard Louhenapessy dan Andre Erwin Hehanusa menerima suap dari karyawan Alfamidi Kota Ambon, Amri (AR) yang merupakan pihak swasta untuk mengurus sejumlah izin. “Permohonan izin yang di antaranya surat izin tempat usaha dan surat izin usaha perdagangan,” terang Firli.
Dari pengurusan izin itu, Richard menerima sejumlah uang dari Amir. Uang tersebut ditransfer ke rekening milik Amri yang merupakan kepercayaan Richard Louhenapessy.
“RL meminta agar penyerahan uang dengan minimal Rp25 juta menggunakan rekening bank AEH yang adalah orang kepercayaan Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy (RL) khusus untuk penerbitan terkait persetujuan prinsip pembangunan untuk 20 gerai usaha ritel,” kata Firli.
Jadi KPK menduga Richard mematok Rp25 juta kepada Amri untuk menyetujui dan menerbitkan dokumen izin ritel. Dokumen itu berupa Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).
Selain itu, Amri juga mengguyur Richard sebesar Rp500 juta. Fulus itu untuk penerbitan persetujuan prinsip pembangunan untuk 20 gerai usaha retail. Uang diberikan bertahap melalui Andrew.
Ya, “AR diduga kembali memberikan uang kepada RL sekitar kurang lebih Rp500 juta yang diberikan secara bertahap melalui rekening bank milik AEH. RL diduga pula juga menerima aliran sejumlah dana dari berbagai pihak sebagai gratifikasi dan hal ini masih terus didalami oleh penyidik KPK,” ujarnya.
KPK juga mengendus Richard menerima aliran sejumlah dana dari berbagai pihak sebagai gratifikasi. Namun, hal itu masih didalami lebih lanjut oleh tim penyidik KPK.
Pada perkara ini, Amri disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan, Richard dan Andrew disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 dan pasal 12 B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. (*/AN-01)