Kupang— Sidang putusan sela Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Kupang, Rabu (2/12/2020), akhirnya mengabulkan eksepsi atau nota keberatan terdakwa Ibrahim Isre terkait dugaan korupsi pengadaan Kapal Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Kapal Patroli). Majelis hakim menyatakan Surat Dakwaan Penuntut Umum tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat formil dan materil.
Ibrahim Isre, S.Pi ditetapkan sebagai terdakwa tindak pidana korupsi karena dianggap melawan hukum, yaitu melaksanakan kegiatan pengadaan Kapal Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Kapal Patroli) tidak sesuai dengan Peraturan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2010 tentang perdagangan barang dan jasa Pemerintah, Melakukan Perbuatan Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yaitu memperkaya orang lain dalam hal ini Satria Patrosiando, S.Ds, MBA selaku Direktur Utama PT. SUSANTO SOEKARDI BOARTYARD sebesar Rp. 383.012.640,00.
Hal ini termuat dalam laporan hasil pemeriksaan khusus Badan Pemeriksaan Keuangan perwakilan Provinsi NTT, atas laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata Tahun anggaran 2018 pada aspek kepatuahan terhadap UU No: 19.c/LHP/XIX.KUP/05/2019 pada (20/5/2019) yang tertuang dalam hasil temuan rekanan dari Inspektorat Daerah Kabupaten Lembata dengan surat pengantar No : Inspek.700/35/1/2020.
Kuasa Hukum Herry F.F Battileo SH.,MH saat membacakan eksepsi pada 20 November 2020 lalu menyampaikan, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan tentang pengertian cermat, jelas dan lengkap sebagaimana Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, namun berdasarkan Pedoman Pembuatan Surat Dakwaan yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia pada bulan April 1985 telah dirumuskan pengertian cermat, jelas dan lengkap.
Menurut Herry, cermat adalah ketelitian Jaksa Penuntut Umum dalam mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan kepada Undang-Undang yang berlaku bagi Terdakwa, serta tidak terdapat kekurangan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau tidak dapat dibuktikan, misalnya apa ada pengaduan dalam delik aduan? apakah penerapan hukum atau ketentuan pidananya sudah tepat? apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan tindak pidana tersebut? apakah tindak pidana tersebut belum atau sudah kadaluarsa dan apakah tindak pidana yang didakwakan itu tidak ne bis in idem?.
Lanjutnya, Jaksa Penuntut Umum harus mampu merumuskan unsur-unsur dari delik yang didakwakan sekaligus memperpadukan dengan uraian perbuatan materil (fakta) yang dilakukan oleh terdakwa dalam surat dakwaan.
“Dalam hal ini harus diperhatikan, jangan sekali-kali memperpadukan dalam uraian dakwaan antara delik yang satu dengan delik yang lain yang unsur-unsurnya berbeda antara satu dengan yang lain atau uraian dakwaan yang hanya menunjuk pada uraian dakwaan sebelumnya, sedangkan unsur-unsurnya berbeda,” ujar Herry.
Ditambahkannya, lengkap adalah uraian surat dakwaan harus mencakup semua unsur-unsur yang ditentukan undang-undang secara lengkap. Jangan sampai terjadi ada unsur delik yang tidak dirumuskan secara lengkap atau tidak diuraikan perbuatan materilnya secara tegas dalam dakwaan, sehingga berakibat perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana menurut undang-undang.
Selanjutnya, bahwa ketidakcermatan, ketidakjelasan dan ketidaklengkapan Surat Dakwaan Penuntut Umum terhadap Terdakwa Ibrahim Isre, S.Pi adalah kaburnya uraian tentang peranan terdakwa sebagai terdakwa tunggal tidak menambahkan pasal deelneming, yakni Pasal 55 ayat 1 KUHP dalam perkara a quo. Dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP menetapkan, 1) dipidana sebagai si pembuat sesuatu tindak pidana; ke-1 orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan itu”. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP menetapkan pelaku tindak pidana menjadi 3 (tiga) peran, yakni Orang yang melakukan tindak pidana, Orang yang menyuruh melakukan tindak pidana dan Orang yang turut melakukan tindak pidana.
Herry Battileo menilai Jaksa Penuntut Umum nampaknya terburu-buru dan sangat prematur menetapkan terdakwa tunggal dalam suatu tindak Pidana Korupsi, sebagaimana yang didakwakan karena dalam sebuah tindak Pidana Korupsi dengan dakwaan Pasal 2 jo Pasal 3 sangatlah mustahil jika perbuatan itu dilakukan seorang pelaku Tunggal, karena unsur setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun.
”Dakwaan ini menjadi semakin kabur lagi dan tidak jelas lagi ketika saudara Jaksa Penuntut Umum dengan tidak memasukannya Pasal deelneming yakni Pasal 55 ayat 1 KUHP dalam perkara aquo, di lain pihak dikatakan memperkaya diri atau orang lain tetapi Pelakunya Tunggal. Ini kan sebuah dagelan hukum dan menunjukan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak cermat membuat dakwaan karena harusnya unsur bersama-sama dan turut serta dikenakan dalam perkara a quo jika Pasal yang didakwakan adalah pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi semacam ini. Dakwaan semacam ini harus dinyatakan batal demi hukum karena tidak memuat unsur-unsur Pasal yang didakwakan secara lengkap, terang dan jelas,” ujar Herry.
Selanjutnya Selasa (2/12/2020) pada Sidang lanjutan dengan Agenda Putusan Sela, dihadiri Hakim Ketua Wari Juniarti, SH.,MH didampingi Hakim Anggota Ikrarniekha El. Fayu, SH.,MH dan Drs. Gustap PM Marpaung. SH, panitera pengganti Hanna Margaretha Fenat, SH serta Penasehat Hukum Terdakwa E. Nita Juwita SH.,MH.
Dalam keputusan, Hakim mengabulkan eksepsi dari Penasihat Hukum Terdakwa, dan yang menjadi pertimbangan hakim Bahwa ketidakcermatan, ketidakjelasan dan ketidaklengkapan Surat Dakwaan Penuntut Umum, di mana terdakwa sebagai terdakwa tunggal dengan tidak menerapkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagai salah satu dari ketentuan hukum yang harus didakwakan kepada terdakwa, sehingga dakwaan Penuntut Umum tidak cermat, tidak jelas dan lengkap apa peranan dari terdakwa tersebut.
Hakim menyatakan Surat Dakwaan Penuntut Umum tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat formil dan materil sebuah surat dakwaan sebagaimana yang dimaksud pasal 143 Ayat (2) UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Terhadap keputusan ini Majelis Hakim memberi kesempatan kepada pihak yang tidak puas untuk melakukan upaya Hukum sebagaimana diatur dalam UU.
Hakim menjelaskan bahwa keberatannya Penasehat Hukum Terdakwa Ibrahim Isre, S.Pi Alias Ibrahim, S.Pi tersebut dapat diterima, dan menyatakan surat dakwaan Penuntut Umum REG. Perkara PDS-01/N.3.22/Ft.1/11/2020 tanggal 5 November 2020 atas nama Terdakwa Ibrahim Isre, S. Pi batal demi hukum. Selanjutnya hakim juga memerintahkan untuk mengembalikan berkas perkara ini kepada Penuntut Umum dan membebankan biaya perkara kepada Negara.
Seusai sidang putusan, Penasihat Hukum Terdakwa E. Nita Juwita SH.,MH merasa puas dengan keputusan hakim, karena telah dengan cermat menilai dakwaan penuntut umum yang tidak sesuai dengan pasal 143 Ayat (2) UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP dan Pedoman Pembuatan Surat Dakwaan yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia pada bulan April 1985. (InfoNTT.com/fre)