Oleh: Y.B. Januarius Lamablawa
Yang tulus dan yang bulus
Menjelang peringatan hari guru nasional 25 November 2021, ada kebiasaan mengesankan di sekolah-sekolah tertentu sebagai simbol penghargaan terhadap para guru. Di beberapa sekolah di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, para murid membawa bingkisan kado untuk guru wali kelasnya. Ini hanyalah ekspresi sederhana rasa cinta dan penghormatan para murid terhadap guru-gurunya yang telah “memberi diri” / berkorban untuk mendidik dan mengajar mereka. Guru telah menjadi inspirator, teladan kehidupan, pelita di dalam kegelapan untuk menuntun anak-anak menuju masa depan yang cerah. Kado / barang hadiah material akan hancur dan lenyap, tetapi perbuatan kasih dari anak-anak didik akan tetap terpatri di dalam sanubari para guru. Guru yang mengabdi dengan ketulusan pantas mendapatkan yang terbaik walau dalam bentuk yang sangat kecil dan sederhana sekalipun termasuk dari setiap anak yang dididik.
Beriringan dengan kisah unik ungkapan cinta dan rasa hormat anak-anak didik buat para gurunya ini, terbetik berita yang tak sedap dari ruang guru. Dunia pendidikan diterjang malapetaka asusila karena ulah oknum guru yang berakal bulus di sejumlah wilayah di tanah air.
Di pangkal November 2021, seorang guru di SMKN 1 Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Provinsi NTT dilaporkan mencabuli seorang muridnya yang berumur 16 tahun di kediamannya. Modusnya adalah si guru pacaran dengan muridnya lalu memberikan bantuan mengerjakan tugas dan diakhiri dengan tragedi moralitas, percabulan (Regional.kompas.com 15/11/2021).
Di Lumajang, Seorang guru SMP swasta dilaporkan telah mencabuli muridnya (13 tahun) sebanyak empat kali. Malahan kelakuan bejat oknum guru ini pernah dilancarkan di sekolah tersebut. (Detiknews, 19/11/2021).
Lebih sadis lagi, seorang guru di SDN Bouse, Kecamatan Gunung Sitoli Utara, Kota Gunung Sitoli, Sumatera Utara, melakukan tindakan tak senono kepada 7 orang siswinya. Modusnya adalah memberikan tugas kelas sebagai medium untuk perbuatan amoralnya. Ia kemudian mengiming-imingi mereka dengan duit, sekaligus memberikan ancaman agar mereka tutup mulut (Okenews, 26/10/2021).
Negasi Keteladanan
Tiga kasus di atas hanyalah cuplikan fakta dari begitu banyaknya kasus amoral guru terhadap anak didik di Indonesia. Ini semacam wajah lain dari potret guru yang menjadi negasi keteladanan. Coba saja masuk ke mesin pencari google dan ketik kata kunci “guru cabuli murid”. akan ada begitu banyak tulisan media online yang dengan seketika menghadirkan berbagai kasus di Indonesia. Memprihatinkan. Dunia pendidikan di tanah air sungguh diliputi duka lara kemanusiaan karena ulah oknum-oknum guru tertentu dengan perilaku tidak sepantasnya.
Guru yang secara in se (dalam keberadaannya) harus menjadi teladan atau panutan, pada saat yang sama disangkal dengan perilaku yang biadab. Para guru dalam kasus-kasus kekerasan seksual ini telah menjadi gerbong kotra-produktif atas luhurnya martabat sebagai guru. Lebih dari itu, mereka telah menyebarkan racun kemanusiaan yang punya daya rusak hingga menggapai puluhan tahun ke depan atas nasib anak-anak yang menjadi korban. Barisan manusia jenis ini sangat tidak pantas menyandang profesi guru karena mereka akan menjadi “duri dalam daging” pendidikan yang terus menyakitkan.
Sekolah belum sepenuhnya safe buat anak-anak
Pertanyaannya lebih lanjutnya adalah mengapa guru bisa berlaku sekejam ini dan mengapa sekolah belum menjadi tempat/lingkungan yang aman buat para murid? Kenyataan yang terjadi menyentuh kesadaran kita dan membuat kaget bahwa ternyata ada orang dengan kepribadian dan perilaku biadab seperti ini bisa berhasil masuk ke dalam sebuah organisasi luhur yang bertugas memajukan generasi bangsa dari waktu ke waktu. Mana mungkin guru jenis ini berhasil masuk dan bermetamorfosa jadi monster asusila yang menakutkan? Apa yang kurang beres dengan proses rekruitmen dan pembinaan lanjutan (on going formation).
Kelemahan kepribadian oknum guru ditambah kelemahan sistem seleksi untuk mendapatkan guru “yang punya hati” serta ketiadaan perangkat code of conduct telah memberi peluang untuk munculnya persoalan seperti ini. Dengan kondisi demikian sekolah menjadi tempat yang tidak aman dan tidak ramah buat anak-anak. Sewaktu-waktu peristiwa serupa bisa terjadi kalau pertama: sistem rekruitmen guru serta pembinaan lanjutan tidak mendapat porsi yang dipertimbangkan dari prioritas untuk memastikan bahwa guru tidak akan melakukan tindakan amoral terhadap murid; dan kedua kealpaan (implementasi) kebijakan perlindungan anak (childsafeguarding policy) dalam menjalankan roda pendidikan di lingkungan sekolah.
Peristiwa kelam yang terungkap di SMKN 1 Larantuka membuat kita melihat bahwa atas nama ketertarikan / pacaran (cinta?) oknum guru tersebut memanipulasi perasaan seorang murid perempuan lalu memanfaatkannya untuk kesenangan badaniah. Si guru mengibuli muridnya sebagai orang baik yang membantu mengerjakan tugas lalu kebaikan palsu itu berlanjut dengan penghancuran.
Mungkin saja relasi ini tidak ketahuan oleh pihak manapun sehingga tidak ada intervensi pencegahan terhadap kejadian buruk. Atau, mungkin juga ada pihak lain (termasuk unsur sekolah) mengetahui tapi tidak mengambil tindakan pencegahan untuk menghindari hal-hal buruk. Sepertinya kealpaan sistem kontrol telah menjadi bagian dari suatu pembiaran pasif untuk kasus ini.
Di lain pihak, Kasus di Lumajang, Jawa Timur menunjukkan bahwa sekolah juga sangat lemah dalam implementasi sistem keamanan. Sekolah yang adalah lokus pembelajaran dijadikan lokus kebejatan oknum guru dengan murid perempuan sebagai obyek seksualnya. Berbagai lapisan kerja keamanan sekolah jebol oleh sepak terjang sang guru ini.
Di SDN Bouse Gunung Sitoli utara, Sumatera Utara, kita dapat melihat dengan jelas aspek power relation dalam tindakan pelecehan seksual. Guru mengintimidasi para murid (korban) agar jangan membongkar rahasia perilakunya. Para murid adalah korban yang tak berdaya (powerless) di hadapan gurunya yang mungkin selama ini dihormati, dihargai, disegani dan mungkin juga ditakuti.
Ketakberdayaan para korban di bawah rumah besar pendidikan ini menegaskan dan mengingatkan semua pihak bahwa sekolah dengan seluruh komponennya harus berbenah secara serius untuk menjadi tempat yang super aman dan nyaman bagi peserta didik. Sekolah jangan lagi menjadi referensi kita menarasikan berbagai bentuk kekerasan, ketidakadilan dan bau tak sedap guru yang mencemari masa depan para murid.
Urgensi perlawanan terhadap negasi dunia pendidikan
Negasi keteladanan guru oleh kasus asusila yang mencoreng dunia pendidikan bukan disebabkan ketiadaan regulasi. Persoalan utamanya ada dalam diri oknum guru yang bersangkutan. Ada ketidakberesan kepribadian. Mungkin saja ada banyak variable yang berperan. Itu berarti aspek internal person yang menjadi penentu utama. Regulasi hanyalah faktor eksternal yang memastikan bahwa factor internal (kepribadian) bisa dikontrol dan memenuhi standard. Ketika faktor internal bermasalah, regulasilah yang diharapkan untuk bisa membantu menyelesaikan pada posisi sekunder.
Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen di pasal 8 telah mensyaratkan siapa itu guru dengan berbagai kualifikasinya yang memastikan bahwa guru itu bermartabat dan beradab. “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Itu berarti semua orang yang menjadi guru harus juga sehat secara kepribadian (rohani). Kalau tidak memenuhi kualifikasi yang ditetapkan maka seseorang tidak pantas menjadi guru. Malahan untuk membangun benteng berlapis mencegah perilaku guru yang amoral, undang undang perlindungan nomor 23 tahun 2002 yang diubah dengan UU nomor 35 tahun 2015 pasal 9 ayat 1a, menyatakan bahwa: “setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesame peserta didik, dan / atau pihak lain.
Kendati demikian, regulasi yang ada tidak menjamin bahwa semua yang menjadi guru memenuhi dan bertahan dengan dengan kualifikasi dan ketentuan yang diisyaratkan. Kasus-kasus serupa bisa saja terulang lagi kapan saja. Untuk itu yang sangat perlu ada spirit dan aksi perlawanan bersama secara sistematis terhadap model-model negasi pendidikan termasuk yang dibuat oleh para guru. Ini adalah bagian utama dari pencegahan agar kasus jangan terjadi lagi, atau memperkecil peluang untuk kejadian-kejadian berikutnya.
Dengan semangat regulasi perlindungan anak, institusi pendidikan perlu membentengi diri secara aktif dan sangat protektif untuk menyelamatkan anak bangsa. Segala kegiatan yang terjadi di dan atas nama sekolah harus menjamin dan melindungi anak serta hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Sekolah sebagai unit teknis penyelenggara pendidikan perlu menerapkan sistem pencegahan / penanganan yang meliputi beberapa poin berikut:
Pertama, pendidikan nilai untuk membangun kesadaran bersama di lingkup sekolah yang meliputi guru, tenaga kependidikan dan peserta didik. Penanaman nilai religius dan cultural yang terus menerus dilakukan untuk menghormati harkat dan martabat setiap orang akan sangat berperan membentuk kesadaran kolektif. Untuk maksud ini, pihak sekolah bisa membangun kerjasama dengan lembaga-lembaga agama atau lembaga adat yang potensial.
Kedua, membangun sistem pelaporan sebagai bagian dari kontrol bersama. Jika ada orang di lingkup sekolah melihat ada gejala tidak beres yang mengarah kepada kekerasan seksual dan diskriminasi yang berpotensi menegasi dunia pendidikan, mereka (tentu dengan identitas yang dilindungi) perlu secepatnya melapor kepada bagian penganggulangan untuk segera diatasi dengan pendekatan persuasif. Mengetahui sesuatu yang tidak baik dan mendiamkannya adalah bagian dari menambah daya ledak “bom waktu” untuk kehancuran bersama.
Ketiga, respon cepat dari otoritas atau divisi yang ditentukan atas laporan yang masuk untuk mencegah persoalan menjadi lebih besar dan destruktif.
Pada akhirnya partisipasi semua pihak di lingkup sekolah akan sangat membantu dunia pendidikan untuk bergerak maju dengan lebih bermartabat tanpa perlu terus membalut luka karena ketidakpedulian yang mungkin disalah tafsir sebagai penghargaan atas kebebasan orang lain.
Sekolah yang aman dan nyaman akan menjadi sumber energi humanitas yang bermartabat. Di sana ada para guru yang tulus, yang punya hati untuk dibagi dengan media didikan dan pengajaran. Mereka membagi kehidupan agar para murid menemukan jalan untuk membangun kemanusiaan yang bermartabat. Dan karena mereka memberi diri dengan keiklasan, maka pantaslah guru-guru mendapat sebingkis kado di hari guru nasional ini.
Terima kasih buat semua yang sungguh terpanggil menjadi guru untuk Indonesia hebat…
Penulis adalah Pemerhati sosial, tinggal di Larantuka, Flores Timur