Aksinews.id/Larantuka – Ketua Forum Guru Garis Depan Kabupaten Flores Timur, Fandy Setiayanto mengaku kagum dengan tolerasi antar umat beragama di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sejak pertama kali bertugas di NTT, baik di Manggarai maupun di Flores Timur, ia mengaku sangat mudah beradaptasi dengan lingkungan sosial. Bahkan, ia menilai Provinsi NTT sebagai laboratorium toleransi terbesar di Tanah Air, Indonesia.
Ya, “NTT menurut saya adalah Laboratorium Toleransi terbesar di Indonesia. Toleransi tidak sekedar kata atau teori semata, tetapi diwujudnyatakan dalam kehidupan bermasyarakat. Damai dirasakan di tanah ini”, ungkap Fandy.
Hal itu disampaikan Fandy dalam dialog bertajuk “Guru Garis Depan (GGD) Menyapa, Lebaran TanpaMudik” di Studio PGRI Flores Timur, Rabu (12/5/2021). Selain Fandi Setiyanto, dialog ini juga menghadirkan anggota GGD Flores Timur lainnya, Slamet Wahyanto, Helga Kusuma Poetry, dan Putri Wulan.
Guru SMAK St. Fransikus Asisi Larantuka, Marya Kia mengambil peran sebagai moderator. Salah satu anggota Tim Edukasi PGRI Flores Timur ini mampu menciptakan ruang berbagi yang akrab diantara rekan-rekan GGD. Masing-masing mempunyai kisah yang membanggakan, gembira, pilu, juga mengharukan.
Cerita awal menjadi GGD, papar Fandy Setiayanto, adalah cara membuka diri berbagi dan mengenal daerah lain se-Nusantara. “Dari kecil hingga usia sekolah, saya hidup dan tinggal di Jawa. Indonesia, Nusantara ini begitu luas. Saya ingin belajar dan berbagi juga di daerah lain. Puji Tuhan, saya tidak mengalami kendala berarti di NTT, sejak awal di Manggarai hingga kini di Flores Timur”, ungkap Fandy.
Guru pada SMKN 1 Larantuka ini terharu hingga meneteskan air mata saat menyapa istri, anak dan keluarganya dalam acara Live Streamming pagi tadi. “Minta maaf saya sampaikan kepada istri dan anak-anak. Kali ini saya tidak bisa kembali ke rumah. Saya tidak bisa mudik. Saya tidak menempati janji bertemu dengan istri dan anak-anak. Terima kasih untuk doa-doa terbaik buat ayah. Salam dan doa terbaik buatmu semua. Selamat Merayakan Idul Fitri”, ujar Fandy penuh haru.
Helga Kusuma memilih menjadi bagian dari Guru Garis Depan (GGD) karena tidak ingin tetap berada dalam zona nyaman. Guru SMAN 1 Larantuka ini, sedikit lebih baik nasibnya dari rekannya yang lain karena ia tinggal bersama dengan suami. Jodohnya adalah rekannya sendiri dalam komunitas GGD. Namun di sisi lain, kerinduan bersama orang tua sudah empat tahun ini belum terobati. Rencana tahun ini bisa ketemu dengan orang tua, terhalang oleh pembatasan mudik dan virus corona yang masih merebak.
Slamet Wahyanto yang berbakhti di SMAN 1 Kelubagolit, Pulau Adonara merasakan betul suasana kekeluargaan dan toleransi. “Membuka Surat Keputusan (SK) penugasan, tertulis SMAN 1 Kelubagolit. Saya tidak menyangka kalau harus nyeberang lagi. Di sana saya diberikan tumpangan sebuah rumah oleh warga. Tinggal di rumah sendiri, jauh dari istri anak, keluarga adalah hanya yang menyedihkan. Semua kegalauan ini terhibur oleh masyarakat yang ramah. Toleransi antar umat di Pulau Adonara sungguh nyata. Saya kaget, heran dan bertanya-tanya, suatu waktu di acara Idul Fitri, kami sholat di depan Gereja yang di dalamnya Umat Katolik sedang berdoa. Senang bisa mengenal banyak teman di Flores Timur. Buat istri, anak dan keluarga, saya sampaikan permohonan maaf karena belum bisa bertemu Idul Fitri kali ini. Rindu, kangen, iya… apa daya, belum bisa bertemu. Palingan besok hanya andalkan video call. Sedih memang”, ungkap Slamet, lirih.
Sementara Putri Wulan paling haru saat sahabat seperjuangan di Komunitas GGD meninggal dunia. “Haru, sedih, bagaimana rasanya sakit di tanah rantau, jauh dari keluarga. Kami pernah alami itu. Sahabat kami Evi Restiawati sakit di lokasi tugas dan kami harus merawat bergantian. Pada akhirnya meninggalkan kami semua selamanya. Saya mungkin lebih bahagia dari teman teman lain, karena saya sendiri asli dari Lembata, dan rumah tinggal saya tidak jauh dari sekolah tempat saya mengajar di SMKN 1 Larantuka. Lebaran adalah hari yang istimewa, tidak dirasakan oleh teman-teman seutuhnya. Dalam komunitas, kita tetap dan terus bergerak bersama”, ungkap Wulan.
Ketua PGRI Flores Timur, Maksimus Masan Kian menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Jajaran Guru Garis Depan (GGD) yang mengambil peran maksimal membantu Guru di Kabupaten Flores Timur. “Apresiasi setinggi-tingginya kepada jajaran Guru Garis Depan. Dalam kaca mata PGRI Flores Timur, GGD mengambil peran maksimal membantu guru Flores Timur dalam wadah PGRI Flores Timur. GGD Flores Timur selalu bersama dengan PGRI Flores Timur termasuk kemarin dalam kegiatan solidaritas kepada korban bencana di Pulau Adonara dan Lembata. Kedepan, kerja sama akan tercipta, terlebih dalam proses membantu PGRI dalam percepatan pelayanan administasi anggota yang berhubungan dengan digitalisasi”, ucap Maksi. (*/fre)