Oleh: Elias Kaluli Making
Warga Lembata, Mantan Komisioner KPU Lembata
Kendati Pilkada serentak 2024 sudah berakhir namun masih menyisahkan cerita miris. Salah satunya tentang menurunnya partisipasi Pemilih dalam Pilkada. Menurut data yang diungkap Ketua KPU Lembata, Hermanus Haron Tadon sebagaimana rilis berita suluhnusa.com, dari total pemilih Lembata 105.806, ada 32.164 yang tidak menggunakan hak pilih.
Menurut Ketua KPU Lembata, dari total pemilih yang tidak menggunakan hak pilih, hanya 9.353 saja yang masuk dalam kategori pemilih Golput. Sementara 22.811 pemilih lainnya tidak menggunakan hak pilih karena tidak mendapat formulir C Pemberitahuan.
Agar tidak dikira mengada-ada, berikut petikan langsung pernyataan Ketua KPU Lembata yang saya copy dari berita bertajuk Pilkada Sudah Usai Dengan Damai, Tapi KPU Lembata Gagal Keren, Mengapa? Yang dirilis suluhnusa.com.
“Sehingga dari data DPT Kabupaten Lembata berjumlah 105.806, formulir C pemberitahuan terdistribusi sebesar 82.995 lembar. Sehingga kalau mau jujur berdasarkan data ini 32.164 di kurangi 22.811 maka ada 9.353 ini yang dikategorikan sebagai Golput. Angka golput kita tidak sampai 10 ribu, kita di angka 9.353. Apakah kami dinilai gagal ? Itu penilian publik tetapi kita juga harus jujur pada angka yang kami sodorkan,” ungkapnya.
Dalam kutipan langsung berita ini, saya tergelitik untuk membahas dua hal. Pertama tentang Golput, dan kedua tentang frassa “Kalau Mau Jujur”. Sebelum lanjut membahas dua hal tersebut, terlebih dahulu saya menjelaskan alasan di balik lahirnya ulasan ini.
Pertama, pernyataan Ketua KPU tetang Golput merupakan tanggapan atas pernyataan saya yang pada intinya terkait menurunya partisipasi masyarakat pemilih lembata dalam Pilkada. Dalam berita itu saya menyebut jumlah Golput lembata sebanyak 33.706 dimana merupakan akumulasi dari jumlah pemilih yang tidak yang tidak menggunakan hak pilih, ditambah jumlah surat suara tidak sah.
Alasan kedua dibalik lahir ulasan ini merupakan ekspresi kecemasan saya selaku mantan Komisioner KPU Lembata, terhadap turunnya rasa tanggungjawab dan kesadaran akan pentingnya hak pilih dalam Pemilu dan Pemilihan. Dalam Pemilu, suara rakyat adalah mutlak untuk menjamin keberlangsungan pemerintahan, namun fakta miris dalam Pilkada Lembata, jumlah pemilih Golput jauh unggul dari perolehan suara paket pemenang. Fakta ini mesti menjadi perhatian terutama KPU selaku Lembaga Penyelenggara Pemilu dan Pemilihan untuk menjadi bahan evaluasi sebagai alat untuk menemukan jalan perbaikannya, sehingga situasi miris Pilkada 2024 tidak terulang di Pemilu dan Pemilihan mendatang.
Apalagi ukuran sukses tidaknya agenda pemilu dan pemilihan bukan semata pada pelaksanaan pemilihan yang aman dan damai semata, tetapi indikator lainnya adalah pada penyelenggaraan Pemilu yang demokratis dan berintegritas, juga tingkat partisipasi pemilih. Indikator sukses pemilu itu tidak bisa diputus lepas antara satu dan lainnya.
Mengenal Golput
Golput atau Golongan Putih dalam sejarah kepemiluan hadir sebagai gerakan moral yang digagas sekelompok mahasiswa sebagai protes terhadap pelaksanaan Pemilu tahun 1971. Dalam gerakan itu kelompok mahasiswa penggagas Golput menyeruhkan kepada warga pemilih untuk mencoblos kertas suara pada bagian yang kosong diantara tanda gambar peserta pemilu.
Golput menurut beberapa sumber internet didefinisikan sebagai Pilihan warga pemilih untuk tidak memilih atau tidak menggunakan hak pilih dalam Pemilu atau Pemilihan. Sementara golput menurut Wikipedia on line adalah, ketika seorang peserta dalam proses pemungutan suara tidak memberikan suara atau tidak memilih satupun calon pemimpin, atau bisa juga peserta yang datang ke bilik suara tetapi tidak ikut memberikan suara hingga prosesi pemungutan suara berakhir.
Sementara itu mengutip Nyarwi Ahmad sebagaimana yang ditulis Wikipedia online, Jenis Golput di Indonesia diantaranya : Golput Teknis, adalah pemilih yang tidak datang ke TPS karena suatu alasan, berada di luar domisili (tidak mendapatkan C Pemberitahuan), keliru mencoblos sehingga suaranya dianggap tidak sah, warga kategori pemilih tetapi namanya tidak tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap
Golput Pemilih Hantu atau ghost voter mengacu pada nama-nama yang ada dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), tetapi setelah dicek ternyata tidak memenuhi syarat sebagai pemilih karena berbagai alasan. Misalkan saja, pemilih meninggal dunia, atau nama pemilih ternyata terdaftar ganda. Golput Ideologis, adalah pemilih yang tidak menggunakan hak plih karena tidak percaya pada sistem ketatanegaraan. Golput Ideologis bisa juga diartikan sebagai bagian dari gerakan untuk menolak kekuasaan negara.
Golput Pragmatis, merupakan pemilih yang memilih untuk tidak memilih dalam Pemilu karena menggangap Pemilu/Pemilhan tidak memberi keuntungan baginya. Selanjutnya ada Golput Politis, adalah orang-orang yang percaya pada negara dan Pemilu. Hanya saja, kelompok ini tidak mau mencoblos karena merasa kandidat-kandidat dalam Pemilu tidak mampu mewadahi kepentingan serta preferensi politik mereka.
Dari ulasan singkat mengenai Golput ini, dan membaca kembali pernyataan Ketua KPU Lembata dalam kutipan langsung diatas, maka boleh saja pembaca berkesimpulan kalau Ketua KPU Lembata keliru dalam memahami Golput. Tetapi disini bukan soal menjudge salah atau benar, sebagai mantan penyelenggara Pemilu, saya terpanggil untuk membuat ulasan ini untuk meluruskan kembali pemahaman tentang Golput dan meletakannya dalam ranah Pilkada Lembata, agar secara jernih kita melihat total pemilih Golput, dan berharap akan ada pihak yang mengkaji alasan dibalik turunnya partisipasi pemilih dalam Pilkada Lembata tahun 2024.
KPU Lembata hanya mencatat 32.164 Pemilih yang tidak menggunakan hak pilih, pun Ketua KPU Lembata dari data itu mengkategorikan pemilih Golput hanya 9.353. lantas bagaimana dengan pemilih salah coblos atau suara tidak sah dalam pemilihan?. Jika suara sah dalam Pilkada Lembata tercatat sebanyak 72.100 sementara Pemilih yang tidak menggunakan hak pilih 32. 164 maka suara tidak sah dalam Pilkada Lembata sebanyak 1.542, artinya Pemilih Golput lembata dari data rilis KPU sebanyak 32. 164 yang adalah Pemilih yang tidak datang ke TPS ditambah Pemilih salah mencoblos surat suara atau suara tidak sah sebanyak 1.542, maka Pemilih Golput dalam Pilkada Lembata dipastikan sebanyak 33.706.
Lantas apakah Ketua KPU Lembata keliru dalam memahami Golput? Jawabannya adalah tidak. Pernyataan Ketua KPU Lembata sebagaimana dalam kutipan langsung diatas justru membenarkan data Golput yang saya ungkap tetapi dalam hal pengkategorikan pemilih Golput, Ketua KPU menyampaikan dalam bahasa yang beda.
Frasa Kalau Mau Jujur
Sudah saya sampaikan dibagian terdahulu, kalau saya tergelitik untuk membahas dua hal dari kalimat petikan langsung Ketua KPU Lembata Hermanus Haron Tadon. Frasa kalau mau jujur, mengandung arti pilihan atau kalimat bersyarat. Mau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) berarti Sungguh-Sungguh, sementara Kalau menurut KKBI merupakan kata hubung untuk menyatakan syarat. Kata kalau, bisa juga dipakai untuk mengatakan mungkin atau tidak mungkin.
Oleh karena itu, frasa kalau mau jujur dapat saya artikan bahwa, Ketua KPU Lembata sedang berada dalam sebuah kondisi untuk memilih antara mengakui data Golput secara jujur, atau sebaiknya membantah. Dan seperti yang sudah saya sampaikan pada bagian terdahulu, Ketua KPU Lembata akhirnya memilih jujur mengakui tingginya angka Golput dalam Pilkada Lembata, walau disampaikan dalam kalimat yang berbeda.
Jujur dalam pandangan moral adalah sebuah keharusan dan bukan pilihan, apalagi bila ditarik kedalam ranah Pemilu, maka jujur adalah kewajiban. Tidak saja secara kelembangaan untuk mengungkap data dan fakta, tetapi jujur adalah sikap yang wajib diekspresikan oleh setiap oknum penyelenggara Pemilu. Pasal 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mewajibkan setiap penyelenggara Pemilu melaksanakan 11 prinsip penyelengaraan pemilu diantaranya mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien.
Memang dalam urusan dengan Pemilu, sikap jujur tidak semata ditujukan kepada Penyeleggara Pemilu, tetapi sikap jujur dalam melaksanakan pemilu menjadi kewajiban semua pihak termasuk peserta pemilu dan paket calon. Tetapi dalam konteks tulisan ini saya lebih mengarahkan kepada sikap penyelenggara Pemilu sebagai lembaga dan orang yang melaksanakan seluruh tahapan dan jadwal pemilu termasuk penyelenggaraan administrasi kepemiluan. Bila jujur masih menjadi pilihan maka prinsip penyelenggaraan pemilu lainnya bisa diabaikan, dan bila demikian maka pemilu dan pemilihan yang idealnya harus berlangsung secara berintegritas dan demokratis hanya dalam mimpi ditidur siang. S e m o g a.Wangatoa, 10 Desember 2024