WAHER dikenal sebagai bunyian -bunyian atau sejenis alat musik yang popular di komunitas masyarakat petani di Kampung Lama Kukung Dawataa Kecamatan Adonara Timur,Flores Timur. Waher, alat musik yang identik dengan petani, dan biasa dibunyikan saat musim tanam hingga musim panen tatkala petani ada di kebunnya.
Nama Waher dikenal sebagaimana nama pohonnya berasal, dalam bahasa lokal disebut waher. Dari batangan pohon waher, warga menyebutnya begitu, kemudian dipakai beberapa bilah potongan batang pohonnya. Biasanya 5 -7 potongan. Namun warga lokal belum menemukan nama Melayu/Indonesia untuk pohon ini.
Waher juga dapat dibuat dari potongan batang pohon waru .Kalaupun terbuat dari potongan pohon waru,warga tetap menyebut alat musik ini dengan nama Waher. Potongan kayu waher atau waru biasanya berjumlah 5 sampai 7, dililit dengan tali sebagai pemisah antar tiap bilah potongan, lalu digantung atau diikat pada palang penyangga bagian dari arsitektur pondok.
Bisa juga digantung atau diikat di tiang penyanggah terpisah dari pondok. Tiap bilah potongan, sepanjang kurang lebih 1 meter.
Waher karena asal muasalnya dari pepohonan yang tumbuh di rimba raya, alat bunyi-bunyian atau sebut saja alat musik ini melekat dan menjadi bagian dari peradaban orang kampung, orang gunung, kaum kerabatnya Petani.
Waher mudah kita temukan jika kita ke kebun kaum petani, menyinggahi pondok -pondok petani terutama pada masa menanam padi jagung dan palawija hingga musim panen.
Mendengar waher, seperti mendengar perpaduan alunan bunyi tinggi rendah semacam not dalam ilmu nada.
Waher , karena perpaduan bunyi tinggi rendah dari ketukan bilah pohon , alat musik ini laksana nyanyian kaum petani di rimba raya.
Waher dibunyikan atau dimainkan berbiasa dengan irama tertentu mengikuti dengungan penabuh( pukulan) , ada kalanya mengiringi nyanyian lagu – lagu kampung jaman dulu , lagu lagu tenar di masa nya atau mengikuti iringan gong untuk tarian perang seperti hedung, tarian penjemputan seperti soka seleng dan lain lain.
Memainkan waher tidak butuh instruktur musik profesional lulusan Sarjana Sendratastik, meskipun tidak semua orang bisa memainkan dengan irama enak didengar.
Petani di tempat ini belajar secara autodidak, turun-temurun dari generasi ke generasi. Dari melihat, mendengar, lalu mencoba berkali kali.
Awal mula mencobanya, biasanya tiap orang punya target tidak besar. Yang penting bunyi dulu, biarpun nada tinggi rendah atau iramanya tak beraturan, lama kelamaan mulai menemukan tempo dan irama, tinggi rendah nada dan bisa mengalun.
Dari generasi ke generasi, hampir pasti mereka belajar autodidak. Tidak cukup informasi, sejak kapan sebermulanya waher ini. Tapi, dari kemelekatan alat bunyi bunyian ini dengan hidup kaum petani di sini dari zaman ke zaman, bolehlah dibilang wajar adalah bagian dari peradaban petani di sini.
Bagi petani di sini, waher adalah nyanyian mereka di kebun. WAHER dipersepsikan sebagai nyanyian alam, ekspresi jiwa mereka. Waher bagi petani di sini adalah perpaduan seni bermain, luapan warna-warni emosi jiwa penyerta kerinduan hati akan kegembiraan tak terkira.
WAHER adalah bisikan semangat.
WAHER, selain bunyi -bunyian untuk menghibur hati, bagi kaum Petani, WAHER juga sebagai bunyi penanda bahwa mereka ada di kebun, menjaga keselamatan jiwa raga padi dan jagung, ubi kayu, sorgum, jewawut, labu, pisang dan lain lain di kebun selama musim tanam hingga menunggu panen dari intaian penguasa rimba yakni Monyet dan Babi Hutan.
Tidaklah salah juga jika WAHER bagi petani di sini sekaligus menyerupai narasi tentang keseimbangan alam. Ada nada di pondok di antara kicauan burung di dedahanan, ada nada di antara gemericik air, ada nada di antara sepoi bayu senja !
Ada nada di sela bunyi hela nafas jangkrik dan belalang penghisap pucuk daun jagung muda.
WAHER, adalah nyanyian petani, nyanyian rimba raya. (Kornel AT)