Oleh: Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik Facultad Ciencia Politica Universidad Complutense de Madrid Spanyol
Pilpres dan pileg sudah selesai. Pengumuman Quick Count, terlepas dari kecurigaan di baliknya, yang juga didukung perhitungan real count KPU, maka harus diterima, Prabowo dan Gibran menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029. Gambar keduanya akan dipasang di hampir semua ruang publik.
Tetapi apakah pertarungan itu selesai? Apakah dengan kemenangan itu maka suara-suara kritis yang ramai menjelang pesta demokrasi itu juga bisa disebut kalah? Apakah persoalan persoalan etik yang cukup ramai dipertanyakan sekadar ‘omon-omon?’
Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Tetapi beberapa anomali yang membuat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas semakin tidak mudah dijawab.
Pada satu sisi kemenanangan sampai hampir 60% menjadi sebuah pencapaian yang luar biasa. Bahkan ketika hanya ada 2 paslon, Jokowi hanya menang 53,15% (2014) dan naik sedikit menjadi 55,50% di 2019.
Apakah ini karena faktor kualitas diri Prabowo dan Gibran atau ada faktor X? Fakta empiris justru sangat minim untuk mendukung kesimpulan bahwa kemenangan itu dikarenakan oleh kualitas pribadi Prabowo (apalagi Gibran). Rekam jejak tidak menghadirkan fakta meyakinkan. Yang ada justru janji yang lebih terdengar muluk-muluk.
Lalu apakah faktor Jokowi sangat berpengaruh? Bisa saja ya. Bansos yang begitu gencar ‘diobral’ pasti ada pengaruh. Tetapi pada sisi lain semestinya ada fakta lain yang meragukan hal ini. Lihat saja PSI yang begitu mengobral gambar Jokowi (bersama Kaesang) dalam bayang-bayang abu-abu di balik aneka foto yang melihat PSI sebagai partainya Jokowi dalam kenyataannya tidak seperti diharapkan. Diprediksi PSI bakal tersingkir.
Dari sisi PDIP tentu aneka penjelasan harus dicari. PDIP tentu tidak sebatas menyalahkan pihak lain (seperti Jokowi yang seperti ‘kacang lupa kulit). Bahkan keheranan mengapa Jawa Tengah yang jadi ‘markas’ Ginjar seakan dibuat keok. Semuanya ini tentu tidak bisa dipersalahkan semuanya kepada Jokowi. Soalnya faktor internal pun perlu dicari penjelasan. Misalnya saja, kalau massa PDIP itu cukup kuat imannya, tentu godaan itu akan ‘lari lewat’. Yang terjadi selama ini PDIP terlalu merasa nyaman.
Tidak hanya itu. Selain Jokowi yang bisa dipersoalkan karena ‘air susu dibalas dengan air tuba’, tetapi cara PDIP menyikapi hal ini pun tidak bisa dianggap benar. Upaya menyerang Jokowi ‘habis-habisan’ bisa menjadi salah satu celah. Semua bobrok diumbar yang bukannya mendatangkan keuntungan bagi PDIP tetapi justru membuat Gerindra menuai berkah. Gerinda akhirnya menjadi ‘pembela’ seakan melupakan bahwa tidak begitu lama mereka menyerang Jokowi tanpa ampun.
Tetapi ada fakta lain yang bisa disebut mencengangkan untuk terus mengaumi PDIP. Meski di pilpres dibuat sepertinya tak berdaya (sama sekali), tetapi dari segi perolehan partai, partai besutan Megawati ini bisa dianggap luar biasa. Pencapaian hampir 17% menyadarkan bahwa fakta ini tidak bisa dianggap hal kecil. Karena sudah terbukti, PDIP bakal ‘kuat iman’ agar tidak mudah digoyang oleh Jokowi (yang telah tak setia) akan menjadi partai yang bakal menyulitkan Prabowo dan Gibran dalam menunaikan masa pemerintahannya dengan mudah. Prabowo bisa dengan mudah merangkul partai lain yang tidak tahan berdiri di luar pemerintahan tetapi tidak akan mudah merangkul PDIP apalagi berusaha ‘membelai’ Megawati.
Anomali terakhir tentang Gerindra. Meski Prabowo menang ‘gemilang’, tetapi justru Gerindra sepertinya ‘terseok’. Partai ini tidak seperti PDIP yang selama pilpres 2014 dan 2019 sama-sama menang baik dari segi partai maupun pilpres. Gerindra justru di pileg 2024 hanya menempati posisi ketiga, mundur 1 posisi dari pileg 2019. Itu menunjukkan bahwa secara ke dalam Gerindra tidak akan mudah. Partai ini harus ‘bertandang’ ke partai lain untuk meminta dukungan yang tentu semuanya bukan gratis. Meski Prabowo tawarkan makan siang gratis kepada 90 juta warganya tetapi tahu bahwa dalam politik tidak ada makan sian gratis.
Tiga Awasan
Melihat fakta di atas maka sesungguhnya pertarungan sebenarnya baru akan terjadi setelah hasil kemenangan ini dipatenkan.
Pertama, kemenangan Prabowo-Gibran meski di tengah kontroversi tetapi cepat akan lambat akan diterima. Tetapi penerimaan itu disertai tanggungjawab yang tidak sedikit. Aneka pelanggaran etik seperti ditetapkan MKMK menunjukkan bahwa hal itu menjadi beban yang tidak kecil. Suara-suara dari kampus hari-hari terakhir sebelum ‘pencoblosan’ membuktikan bahwa kali ini pihak kampus tidak akan ‘sayang-sayang’ pada presiden terpilih.
Hal ini akan menjadi pembeda. Bila pada periodenya Jokowi menjadi ‘media darling’ di mana ia selalu menjadi “newsmaker” atau “name makes news”, maka kali ini tidak akan semudah itu. Bahkan di tahun ke-10 dengan putusan ‘etik’ MKMK, apapun yang dilakukan Jokowi yang meski benar pun disalahkan (apalagi kalau salah). Hal itu berbeda sebelumnya. Walau Jokowi melakukan kesalahan pun dianggap benar.
Hal ini menjadi ‘alarm’ serius bagi Prabowo – Gibran. Hal yang benar saja bakal dipersoalkan hingga menjadi isu negatif apalagi hal yang jelas-jelas bersifat negatif. Kampus akan menjadi kekuatan besar yang membuat ketenangan politik tidak akan mudah dibentangkan pada 5 tahun tersebut. Hal itu mestinya menjadi dorongan agar kualitas kepemimpinan dan profesionalisme benar-benar perlu diberi ruang, hal mana tentu menjadi pekerjaan yang tak semudah yang dibayangkan.
Kedua, meski kemenangan Prabowo-Gibran tidak lepas dari pengaruh Jokowi tetapi perlu diwaspadai bahwa faktor Jokowi tidak akan terus dipertahankan begitu saja. Fakta bahwa PSI yang nyaris lolos ke Senayan meski sudah ‘mengumbar habis-habisan wajah Jokowi’ menandakan bahwa Jokowi bukan segalanya. Dengan demikian maka diperlukan untuk mengambil jarak dengan menghadirkan kepemimpinan yang ‘khas Prabowo’ meski di dalamnya Gibran sebagai putera Presiden ikut serta.
Tetapi apakan Prabowo bisa berani mengambil jarak? Tidak mudah menjawabnya. Infrastruktur yang ‘gila-gilaan’ yang dibanggakan dari Jokowi akan menjadi beban karena harus diikuti dengan pengembalian dana pinjamannya. Itu berarti bila ingin lepas dari Jokowi, Prabowo mesti sangat kreatif dalam menata ekonomi dengan pembantu dekat yang inovatif. Persosalannya, ganjalan dukungan parpol akan menjadi hal yang tidak mudah dilakukan karena dalam politik tidak ada makan siang gratis. Lalu dari mana dana besar diperoleh untuk mewujudkan janji-janji manis? Hal itu akan memungkinkan bahwa bayang-bayang Jokowi tidak akan mudah dilepas begitu saja tetapi pada saat yang sama menjadi duri dalam daging.
Yang terakhir, kondiri internal yang tidak terlampau kuat akan menghadapkan Prabowo-Gibran pada fakta tentang ‘opisisi’ yang tidak akan membuat mereka tenang. Mereka akan berhadapan dengan kenyataan bahwa yang tidak memilih Prabowo-Gibran justru akan mengawal suaranya. Seperti kata George Carlin bahwa mereka akan mengawal suaranya tetapi juga para pendukung pun akan meminta pertanggungjawaban: If you don’t vote, you lose the right to complain. Mereka justru bakal menuntut karena sudah memberikan suaranya.
Tidak hanya itu. Kampus akan ‘turun’ dan ikut dalam barisan orang yang mengawal dan menuntut. Karena itu terbayang bahwa usai pilpres dan pileg, justru pertarungan sebenarnyalah yang terjadi. Tetapi dengan mengurai panorama yang tak positif tidak berarti mengingingkan agar hal itu terjadi. Justru sebaliknya dibeberkan demikan agar awasan itu diharapkan tidak terjadi. ***