Oleh: Richardus Beda Toulwala dan Anselmus DW Atasoge
Akademisi di Ende, Flores
Pemilu 2024 sudah di depan mata dan geliat politik di negeri ini makin kencang. Peserta pemilu sepertinya tak pernah melepaskan waktu berlalu begitu saja. Setiap momen nampak menjadi ‘momen penuh berkah’ untuk tidak sekedar promosi dan sosialisasi diri dan partai namun ‘menjual’ impian tentang ke-Indonesia-an dan masa depan warga bangsa ini.
Ribuan baliho dan selebaran yang berisikan data informatif para capres dan caleg berseliweran di mana-mana, di dunia nyata maupun maya. Padanya terpampang pula idealisme kepemimpinan seperti mensejahterakan rakyat dengan pelbagai jalan, di antaranya perkuat regulasi, buka lapangan kerja, tingkatkan infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia dan lain sebagainya. Gagasan politik yang tak jarang disandarkan pada ‘ayat-ayat suci’ dari Kitab Suci menjadi hidangan gratis di hadapan hati dan budi masyarakat yang menjumpai data-data informatif-subjektif calon-calon pemimpin tersebut. Tak jarang pula dijumpai jargon-jargon yang bermakna sinisme dari seseorang, sekelompok orang terhadap seseorang, sekelompok orang yang lain yang rerata masuk dalam kelompok kategorial ‘baku-saing’.
Apresiasi setinggi-tingginya kepada para calon dan partai yang sungguh-sungguh melahirkan gagasan politik berdasarkan investigasi yang mendalam berbasis ke-Indonesia-an yang pluralistik. Dua kata kunci menjadi tekanan kami dalam tulisan ini. Pertama, investigasi. Kerja investigasi mengandaikan adanya kehendak bebas untuk bergerak ‘ke pinggiran jalan lain’ (kenyataan masyarakat) untuk melihat dan menjumpai kehidupan masyarakat yang sesungguhnya: suka-duka, sudah-sedih, kebutuhan-kepentingan, di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Perjumpaan dengan kenyataan tersebut terutama kenyataan yang ‘tidak mengenakkan’ melahirkan kerinduan untuk mengatasinya. Kerinduan dituangkan dalam cita-cita dan cita-cita dipadatkan dalam program dan rencana kerja. Yang sudah baik ditingkatkan, yang perlu ada diupayakan untuk ada sesuai prioritas kebutuhan. Hal terakhir ini penting, sebab tidak semua kebutuhan merupakan hal yang prioritas. Karena itu, dibutuhkan skala prioritas untuk mengubah kerinduan dan cita-cita menjadi kenyataan yang specific (spesifik), measurable (terukur), achievable (dapat dicapai), relevant (relevan) dan time-bound (berbatas waktu).
Kedua, Indonesia yang plural. Dalam negara berkembang, yang bangsanya berkarakter plural-heterogen, seperti Indonesia, partai politik memainkan fungsi yang amatlah penting yakni membantu meningkatkan identitas nasional dan pemupukan integrasi nasional. Fungsi ini mengandaikan adanya tuntutan lebih atas partai politik yakni lebih mengutamakan kepentingan nasional dari pada kepentingan partai. Karenanya, tidak mengherankan apabila kepada semua partai politik di Indonesia dititipkan harapan dan idealisme: loyal kepada bangsa dan negara dan bukan hanya loyal kepada partai. Mengapa? Pada hakekatnya, partai politik itu merupakan salah satu sarana dalam membangun bangsa dan negara yang demokratis. Konsepsi semacam ini tentu telah diinternalisasi oleh para anggota partai politik.
Partai dan calon pemimpin yang empunya gagasan dengan prosesi pemikiran yang demikian dan menghadirkan gagasan politiknya kepada masyarakat memungkinkan masyarakat untuk terlibat mencermatinya, membanding-bandingkan, menganalisis dan mengevaluasi isi pemikiran-pemikiran atau gagasan-gagasan yang tercurah di dalamnya. Keaktifan ini malah dibutuhkan sebagai salah satu ekspresi partisipasi masyarakat dalam setiap pemilu (pemilihan umum). Sementara itu, hasil cermatan, bandingan, analisis dan evaluasi dapat memperkaya khazanah pemikiran politik warga bangsa ini. Kepadanya tidak dihadirkan sebuah ‘kebenaran tunggal’ melainkan sejumlah ‘pemikiran pilihan’ yang memandunya untuk menjatuhkan pilihan yang baik dan benar, berbasis keilmuan yang inklusif-intergratif-interkonektif.
Gagasan-gagasan politik yang ditampilkan secara terang-benderang dapat dikonversi sebagai parade politik gagasan. Politik gagasan mengandaikan keterbukaan penggagasnya untuk siap dikritisi, dianalisis dan dievaluasi. Tentu dengan pelbagai pendekatan metodologis. Ia tidak sekedar bermuatan subjektivitas yang kadang kala hanya membesarkan popularitas seseorang di dunia maya. Lebih dari itu, ia sungguh menampilkan kenyataan yang objektif, apa adanya yang membutuhkan perhatian yang serius karena berkaitan erat dengan hajat hidup banyak orang.
Sejumlah orang menuangkan hasil ‘analisis dan evaluasinya’ melalui media sosial dan media-media lainnya. Ada yang bilang gagasan-gagasan itu ‘masih jauh panggang dari api’ lantaran tidak SMART (tidak specific (spesifik), measurable (terukur), achievable (dapat dicapai), relevant (relevan) dan time-bound (berbatas waktu). Ada pula yang mengatakan gagasan-gagasan itu bernas dan cocok untuk kondisi ke-Indonesia-an plural-heterogen. Hal ini bisa diamini sebagai bagian dari validasi gagasan serentak mengedepankan pemikiran-pemikiran solutif bagi keberlagsungan bangsa dan negara.
Kami menawarkan dua jalan kecil agar tampilan politik gagasan dan gagasan politik tidak menjadi ‘batu sandungan’ bagi masyarakat, partai politik dan para calon pemimpin bangsa. Pertama, analisis dan evaluasi gagasan harus sampai juga pada landasan epistemologi yang dibangun hingga gagasan-gagasan tersebut terbentuk. Apakah dia lahir sebagai hasil rasio murni ataukah hanya berdasarkan pada pengalaman empirik ataukah merupakan hasil sebuah investigasi mendalam (research). Ataukah, semua yang digagaskan hanya terhenti pada sebuah ‘ilusi’ yang sanggup menciptakan nuansa hipnotisme sesaat? Apakah semua gagasan itu berangkat dari kondisi ke-Indonesia-an kita masa kini sebagai sebuah ‘teks’ yang dilingkupi dengan pelbagai ‘konteks’ yang menyertainya?
Kedua, jika hasil analisis dan evaluasi dengan kerangka logic of thingking yang kredibel (dari sisi keilmuan kontemporer yang tak melupakan tradisi dan sejarah) maka hal itu menandakan bahwa masyarakat kini dan di sini tidak lagi ‘menerima secara buta’ atau ‘ikut bodoh-bodoh’ apa yang dikatakan oleh otoritas-otoritas politik lokal maupun nasional. Jika partai politik dan politisinya ‘agak’ menutup ruang dialektika politik yang mumpuni, media sosial dan media-media lainnya termasuk ‘media tradisional’ bisa jadi menjadi pilihan masyarakat untuk ‘berkompetisi gagasan’. Dan, jika hasil analisis dan evaluasi itu menimbulkan serangan hangat dari pelbagai pihak dengan melampirkan alasan-alasan non-logic maka serangan-serangan semacam itu perlulah dikaji pula.
Gagasan politik dan politik gagasan ‘memperindah alur demokrasi’ bila ditata-kelolai secara baik. Jika tidak, maka bangsa ini akan mengalami pencederaan demokrasi. Pesta demokrasi lima tahunan kita tinggal beberapa saat lagi. Mari kita berdinamika di dalamnya dengan gagasan-gagasan yang tidak mencederai demokrasi.***
Penulis : Richardus Beda Toulwala adalah Dosen STPM Ende, dan Anselmus DW Atasoge adalah Dosen STIPAR Ende.