Oleh Anselmus D. Atasoge
Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Minggu siang, 28 Maret 2021, publik Indonesia kembali ‘dikejutkan’ dengan peristiwa kemanusiaan di Makassar. Di depan Gereja Katedral Makassar pada pukul 10.30 WITA terjadi sebuah ledakan yang ‘diduga’ sebagai ledakan bom bunuh diri. Ledakan terjadi sesudah misa kedua dan bertepatan dengan pergantian jam ibadah di Gereja Katedral Makassar.
Beragam reaksi muncul pasca peristiwa ini. Beberapa di antaranya bisa disebutkan. Anwar Abbas, Wakil Ketua Umum MUI mengutuk dengan keras tindakan pelaku peledakan dugaan bom di Makassar yang terjadi pagi ini, yang telah membuat ketakutan di tengah-tengah masyarakat. Anwar Abbas menyebut, tindakan tersebut tidak bisa ditolerir karena tidak manusiawi. Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini menegaskan segala bentuk kekerasan bukanlah ajaran dari agama apapun sebab setiap agama mengajarkan cinta kasih antarsesama dan mengedepankan nilai-nilai toleransi dalam beragama dan menebarkan perdamaian.
Atas peristiwa ini, Ketum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Gomar Gultom mengimbau agar umat kristiani tetap tenang dan mempercayakan kepolisian untuk mengusut tuntas peristiwa ledakan tersebut. Gultom mengimbau agar masyarakat tidak mengunggah atau memposting gambar atau video tentang peristiwa ini yang hematnya dapat menimbulkan keresahan masyarakat. Sementara itu, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas aksi ini sebagai tindakan keji yang menodai ketenangan hidup bermasyarakat dan jauh dari ajaran agama. Menurutnya, agama apa pun mengajarkan umatnya untuk menghindari aksi kekerasan karena kekerasan akan menggerus nilai-nilai kemanusiaan. Kekerasan ini pulalah yang rawan mengoyak tatanan kehidupan masyarakat yang sudah terbina dengan rukun dan baik.
Pasca peristiwa itu pun, sejumlah kalangan mengklasifikan aksi tersebut sebagai ekspresi radikalisme dan fundamentalisme dalam beragama yang amat jauh dari idealisme toleransi. Pada umumnya, aksi bom bunuh diri seringkali dihubungkan dengan ‘jalan menuju keselamatan’ yang ‘dirancangkan oleh manusia’ atau kadang juga dipandang sebagai ‘aksi membela agama’ dan aksi ‘membela Tuhan’.
Saya memandang aksi ini tidak lahir sebagai ekspresi dari pribadi beragama yang beriman melainkan dilatari oleh sebuah ideologi yang memilih agama (dengan perspektif yang amat ekstrim) sebagai bingkainya. Namun, bukan agama melainkan ideologi tersebut yang diperjuangkan. Ia bukan merupakan distorsi dan reduksi atas pesan-pesan luhur keagamaan sebab pola dan perwajahannya bercorak destruktif terhadap ajaran-ajaran keagamaan.
Jika demikian, maka ia bukan merupakan ekspresi dari keberimanan melainkan merupakan ekspresi dari ideologi yang ekstrim tersebut. Sebab, agama apapun akan menolak cara-cara kekerasan atas nama agama dalam bentuk apapun. Kelompok atau organisasi yang mengemban gerakan kejahatan dengan ‘baju keagamaan’ seperti ini akan melahirkan retorika-retorika yang memanipulasi agama dengan gagasan teologis-dogmatis sedemikian rupa untuk ‘memancing dan menarik’ serta ‘menggerakkan spirit’ para pengikutnya agar bersedia melakukan apapun: membunuh atau bunuh diri (jika dibutuhkan) demi mencapai tujuan-tujuan ideologis mereka.
Dari perspektif keagamaan, aksi bom bunuh diri tersebut bukanlah merupakan anjuran maupun ajaran dari agama manapun. Dalam sebuah dokumen yang diberi nama ‘Fratelli Tuti’ (Abu Dhabi, 4 Februari 2019), Paus Fransiskus dan Imam Besar A-Azhar Ahmad Al-Tayyeb menegaskan tujuan pertama dan terpenting dari agama adalah percaya pada Allah, untuk menghormati-Nya dan untuk mengundang semua perempuan dan laki-laki untuk mempercayai bahwa alam semesta ini bergantung pada Allah yang mengaturnya. Allah adalah Pencipta yang telah membentuk kita dengan kebijaksanaan ilahi-Nya dan telah menganugerahi manusia karunia kehidupan yang harus dilindungi. Bagi mereka, karunia kehidupan merupakan anugerah yang tidak seorang pun berhak untuk mengambil, mengancam atau memanipulasi demi kepentingan dirinya. Sesungguhnya, setiap orang harus menjaga anugerah kehidupan ini dari awal hingga akhir alamiahnya. Dokumen ini mengutuk semua praktik yang mengancam kehidupan seperti genosida, aksi terorisme, pemindahan paksa, perdagangan manusia, aborsi, dan eutanasia.
Untuk mengatasi hal ini, kedua tokoh besar ini menyebutkan pentingnya membangkitkan kesadaran beragama dan perlunya membangkitkan kembali kesadaran ini di dalam hati generasi baru melalui pendidikan yang sehat dan kepatuhan pada nilai-nilai moral dan ajaran agama yang benar. Dengan cara ini, diharapkan setiap insan manusia dapat menghadapi kecenderungan yang individualistis, egois, saling bertentangan, dan juga mengatasi radikalisme dan ekstremisme buta dalam segala bentuk dan ungkapannya. Sesungguhnya, agama menjadikan manusia sebagai sungguh manusiawi yang berharkat dan bermartabat di mata Tuhan dan di seluruh pelosok bumi. Tak setitikpun terngiang idealisme untuk menggerus kemanusiaan itu. Kita berharap agar impian kedua tokoh besar tadi menjadi ‘sebuah loncatan jauh’ untuk menggapai peradaban kemanusiaan.
Ya, sebuah lompatan jauh untuk melahirkan kemanusiaan semesta yang “inclusion of the others” (seturut gagasan Jurgen Habermas) dan kesadaran akan “ren” (seturut gagasan Lo Chung-Shu): sebuah solidaritas lintas batas (etnis, budaya, ras, agama dan kesatuan-kesatuan primordial lainnya dan ‘bersedia untuk mengikut-sertakan yang lain” di dalam keunikannya dan sebuah “sikap simpatik” yang didasari pada kesadaran bahwa semua orang di sekeliling kita juga mempunyai keinginan yang sama untuk mendapatkan hak-hak yang sama, sama seperti diri kita menginginkan hak kita untuk dipenuhi.(*)