
Anselmus Dore Woho Atasoge
Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende
Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dalam setiap perayaan Idul Adha, umat Islam kembali merenungi kisah Ibrahim dan Ismail, sebuah narasi yang telah memberi warna mendalam pada sejarah kemanusiaan dan spiritualitas. Kisah ini bukan sekadar riwayat tentang ketaatan seorang ayah kepada Tuhan, tetapi juga tentang keikhlasan, pengorbanan, dan makna solidaritas dalam kehidupan bersama.
Saat Ismail beranjak remaja, Ibrahim menyampaikan kepadanya perintah ilahi yang ia terima dalam mimpi—sebuah panggilan untuk mengorbankan anaknya sendiri. Yang menarik dari kisah ini bukan hanya ketundukan Ibrahim, tetapi juga jawaban Ismail, yang dengan penuh keyakinan dan keteguhan hati berkata, “Wahai Ayah, laksanakan perintah Allah. Saya akan sabar dan ikhlas atas segala yang diperintahkan-Nya.” Dalam dialog ini, kita melihat bagaimana keimanan menjadi sebuah ruang komunikasi yang penuh penerimaan, tanpa paksaan, dan tanpa rasa takut.
Namun, Tuhan menggantikan Ismail dengan seekor domba sebagai kurban, sebuah isyarat bahwa pengorbanan bukan semata-mata tentang kehilangan, melainkan tentang mendekatkan diri kepada Tuhan dan sesama manusia. Sebagaimana makna kata qurban yang berakar dari qarib—dekat, maka hakikatnya adalah mempererat hubungan dengan Tuhan melalui tindakan nyata yang mencerminkan kasih dan kepedulian.
Prof. Quraysh Shihab, seorang intelektual Muslim yang dikenal dengan pemikiran moderatnya, menekankan bahwa kurban bukan hanya ritual, tetapi juga representasi dari solidaritas sosial. Menurut Beliau, Idul Adha mengajarkan bahwa mendekatkan diri kepada Tuhan tidak cukup dilakukan melalui ibadah ritual semata, tetapi juga dengan berbagi kepada sesama, terutama kepada mereka yang hidup dalam kekurangan.
Dalam semangat ini, kurban bukan sekadar penyembelihan hewan, tetapi juga bentuk kesadaran bahwa keberlimpahan seseorang adalah amanah yang harus dijadikan sarana untuk mengurangi penderitaan orang lain. Seorang Muslim yang berkurban bukan hanya menyisihkan sebagian hartanya untuk beribadah, tetapi juga untuk memastikan bahwa mereka yang membutuhkan ikut merasakan kebahagiaan dan keberkahan hari raya.
Allah yang akbar—Maha Besar, adalah juga Allah yang akrab—Maha Dekat dengan semua umat-Nya. Dalam hubungan ini, kedekatan dengan Tuhan harus tercermin dalam kepedulian terhadap manusia lain. Idul Adha membuka pintu bagi keterhubungan yang lebih luas—antara yang mampu dan yang membutuhkan, antara yang berlimpah dan yang kekurangan.
Di balik esensi Idul Adha, kita dapat melihat bagaimana nilai pengorbanan dan solidaritas bersifat universal, melintasi batas agama dan kepercayaan. Dalam tradisi Kristen, misalnya, ada konsep kasih dan pengorbanan dalam makna yang lebih luas—seperti dalam ajaran Yesus tentang memberi tanpa pamrih. Dalam Hindu dan Buddha, nilai kepedulian terhadap sesama juga menjadi inti ajaran spiritual.
Oleh karena itu, refleksi Idul Adha dapat menjadi ruang dialog antaragama, di mana konsep pengorbanan dan kepedulian dapat menjadi titik temu. Semangat berbagi, menjadikan kelebihan sebagai sarana membangun keadilan sosial, dan menghapus sekat-sekat yang memisahkan manusia berdasarkan status ekonomi, adalah nilai yang dapat dianut oleh siapa pun, tanpa melihat latar belakang agamanya.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Idul Adha adalah momentum di mana kegembiraan dan harapan dari mereka yang memiliki kelebihan dibagikan kepada mereka yang hidup dalam penderitaan. Dalam tindakan berbagi, ada keindahan spiritual, ada keadilan yang ditegakkan, dan ada cinta yang diperluas untuk merangkul sesama.
Lebih dari sekadar ritual, Idul Adha menjadi momentum untuk menjembatani perbedaan, memperkuat solidaritas, dan menghayati kemanusiaan dalam cahaya keimanan. Selamat merayakan Idul Adha, semoga semangat pengorbanan menginspirasi kita semua untuk saling mendekatkan hati dan melintasi batas-batas yang sering membatasi kita sebagai manusia.(*)