Dalam rangka memperingati 150 tahun berdirinya Serikat Sabda Allah (SVD), para suster yunior PRR (Putri Reinha Rosari) dari daratan Flores sekitar 21 orang melaksanakan serangkaian kegiatan rohani dan sosial penuh makna di Paroki Santu Petrus dan Paulus Lamalera, Kabupaten Lembata.
Kegiatan ini berlangsung dari Sabtu, 26 April hingga Jumat, 2 Mei 2025 dan menyentuh berbagai aspek kehidupan umat serta warisan spiritual di daerah tersebut. Bersama tiga Orang suster Pendamping, Sr. M. Simprosa, PRR (Wakil Pimpinan Umum), Sr. M. Ambrosia, PRR (Pendamping para Yunior), dan Sr. M. Miranda, PRR.

Kegiatan diawali dengan misa perutusan bersama para suster di Biara Pusat Lebao – Larantuka pada Sabtu, 26 April 2025 pagi. Sebelum melakukan perjalanan para suster berdoa bersama di kapel Pendiri “Hamba Allah Gabriel Y. W. M” sebagai tradisi bahwa seorang anak yang akan keluar rumah untuk melakukan sesuatu kegiatan harus berpamitan kepada orang tuanya. Itulah yang dilakukan oleh para suster yunior sebelum berangkat untuk melakukan misi mereka di Lamalera-Lembata.
Perjalanan ziarah rohani pertama, mengunjungi tempat penyekapan Mgr. Gabriel Manek, SVD oleh tentara Jepang di terowongan Hadekewa – Lembata. Selama 2 minggu dengan mata yang ditutup kain, Mgr. Gabriel Manek, SVD mengalami tekanan fisik dan mental, namun tetap teguh dalam doa dan iman kepada Tuhan.

“Hamba Allah Gabriel Y.W.M” ditangkap dan disekap oleh para tentara jepang, karena beliau selalu berlayar ke pulau Suba, untuk melayani orang kusta yang dibuang oleh tentara Jepang. Para suster yunior melakukan kunjugan, sebagai bentuk penghormatan terhadap tokoh besar gereja yang juga merupakan Uskup Larantuka pertama, dan Pendiri Kongregasi PRR. Para suster juga mengunjungi rumah singgah bagi penderita lepra di Hadakewa serta rumah-rumah keluarga para suster sebagai bentuk perjumpaan dan pelayanan kasih.
Minggu, 27 April 2025, para suster mengikuti Misa Kudus bersama umat di Gereja Paroki Lamalera. Usai Misa, para suster mempersiapkan barang-barang bantuan untuk para lansia.

Senin, 28 April 2025, menjadi salah satu momen paling menggetarkan hati bagi para suster yunior PRR dan ketiga suster pendamping dalam perjalanan menuju ke Suba. Laut Lamalera yang terkenal ganas menyambut mereka dengan ombak besar yang terus menghantam pledang perahu tradisional yang mereka tumpangi bersama para nelayan setempat. Rasa takut dan cemas tak bisa disembunyikan. Beberapa suster saling menggenggam tangan, berusaha menguatkan diri di tengah guncangan laut.
Namun di balik ketakutan itu, iman menjadi jangkar yang menenangkan. “Jika pendiri kami, Mgr Gabriel Manek bisa melintasi lautan yang sama dengan perahu sederhana dan hanya menggunakan kekuatan dayung demi melayani orang-orang kusta, mengapa kami harus takut?”.

Sepanjang pelayaran, para suster mendaraskan doa Rosario dalam keheningan dan kekhusukan. Lantunan Ave Maria bercampur dengan gemuruh ombak seolah menjadi nyanyian harapan yang menyatu dengan alam. Bersama para nelayan yang tangguh dan terlatih, mereka yakin akan selamat. Perjalanan itu bukan sekadar menembus laut ke Suba, melainkan ziarah iman menuju warisan cinta kasih Mgr Gabriel Manek yang rela mengarungi bahaya demi mereka yang ditolak dunia. Perjalanan itu membangkitkan semangat untuk terus melayani, walau dalam keterbatasan dan ketakutan.
Satu peristiwa kembali mengguncang batin para suster terjadi saat tiba di Suba. Di tengah keheningan dan rasa haru mengenang tempat pelayanan Pendiri “Mgr. Gabriel Manek, SVD” kepada para penderita kusta, para suster menemukan bahwa salib kayu yang dahulu dipasang di kuburan para penderita kusta telah dipotong. Sebuah pemandangan yang mengejutkan dan menyayat hati. Dalam diam dan duka, para suster menunduk. Salib itu bukan sekadar tanda, melainkan simbol cinta kasih dan pengakuan martabat mereka yang pernah disingkirkan dari kehidupan. Suster M. Simprosa, PRR, (Wakil Pimpinan Umum Kongregasi PRR), dengan penuh kelembutan namun tegas, meminta kepada bapak penjaga makam untuk mengadakan upacara adat sederhana, sebelum akhirnya mengangkat kembali Salib yang telah dipotong. Diiringi doa dan air mata.

Setelah itu, salib yang telah kehilangan kepalanya dibawa kembali oleh para suster ke Museum Lamalera. Dalam perjalanan pulang melintasi laut yang bergelora, para suster membawa salib itu seperti dalam perjalanan salib yang sesungguhnya di atas ombak. Mereka merasakan betapa setiap tindakan kasih tak selalu diterima dengan kebaikan, namun justru itulah yang menguji kesetiaan dan keberanian dalam mengikuti jejak Kristus. “Ini pelajaran iman”. Bahwa tidak semua perbuatan baik membawa balasan yang menyenangkan, tetapi justru menguatkan kami untuk tetap berdiri teguh di jalan salib pelayanan.
Selasa sore, 29 April 2025, pantai Lamalera menyuguhkan pemandangan yang menyejukan hati. Di bawah langit senja yang mulai meredup, para nelayan satu per satu kembali dari laut dengan wajah lelah namun penuh harap. Para suster yunior PRR menyambut mereka, dengan senyum tulus dan tangan terbuka sambil membagikan kopi hangat, sebagai bentuk syukur dan penghormatan atas kerja keras serta pengorbanan para penjaga pangan laut itu. Kegiatan sederhana ini berubah menjadi momen penuh makna. Di tengah hembusan angin laut dan debur ombak, para suster dan nelayan duduk bersama di atas pasir, menyapa dan saling berbagi cerita. Lalu, perlahan suasana berubah menjadi hening. Doa Rosario dilantunkan bersama. Di tepi pantai yang sakral bagi masyarakat Lamalera, suara Ave Maria menggema di antara desir angin, membalut kelelahan dengan damai rohani. Kegiatan ini menjadi simbol perjumpaan antara kehidupan keras dan kekuatan iman, antara kerja dan doa, antara manusia dan alam.

Rabu, 30 April 2025, menjadi hari pelayanan kasih yang sunyi namun mendalam. Sejak pagi, para suster yunior PRR menyebar ke berbagai stasi di wilayah Paroki Lamalera. Mereka mendaki bukit, menyusuri jalan-jalan tanah yang licin dan terjal, bahkan melintasi semak dan hutan demi satu tujuan, mengunjungi orang-orang sakit dan memberikan Komuni Kudus kepada mereka yang tak lagi mampu menghadiri Misa. Dengan Ciborium di tangan dan lantunan doa doa bersama mama Santa Anna dan diiringi bunyi lonceng sebagai tanda bahwa Yesus (Sakramen Mahakudus) sedang lewat.
Sore harinya, umat berkumpul di Kapela Pantai Lamalera. Angin laut yang membawa garam dan kenangan menyambut mereka. Para suster bersama umat melakukan Ibadat Arwah bersama, mengenang para leluhur dan nelayan Lamalera yang telah berpulang terutama mereka yang gugur di tengah lautan saat mencari nafkah bagi keluarga. Doa Rosario dilanjutkan dalam kelompok-kelompok kecil yang menyebar di sepanjang garis pantai. Masing-masing kelompok didampingi 1–3 suster, membentuk lingkaran hening dalam nyala senja. Laut menjadi saksi bisu kekhusyukan umat yang berdoa di atas pasir, seolah menyampaikan harapan ke seberang kekekalan. Di sela-sela doa Rosario dialntunkan, keluarga-keluarga membawa lilin yang menyala dan mengirimkan ke laut, sebagai lambang cinta bagi para leluhur. Para suster kemudian membagikan snack sederhana untuk umat, dan rosario kecil untuk anak-anak, mengajarkan sejak dini bahwa iman adalah warisan paling berharga. Dalam senyap dan cahaya lilin, haru menyelimuti Lamalera. Malam itu, pantai tidak hanya berbicara tentang laut dan ikan paus, tetapi juga tentang doa, duka, dan cinta yang tidak pernah hilang meski ditelan waktu.
Kamis, 1 Mei 2025, menjadi puncak spirit perutusan dalam seluruh rangkaian kegiatan para Suster Yunior PRR di Lamalera. Di tepi pantai yang menjadi pusat kehidupan masyarakat nelayan, para suster berdiri bersama umat dalam satu tujuan, yaitu mendoakan mereka yang akan berlayar mencari ikan, tradisi yang sakral dan menjadi nadi budaya Lamalera selama berabad-abad. Ibadat perutusan dipimpin langsung oleh para suster, dengan lagu-lagu liturgi yang dinyanyikan penuh semangat, seolah menghantar semangat surgawi bagi para nelayan yang akan menghadapi lautan lepas. Dalam momen menggetarkan itu, para nelayan berdiri dengan kepala tertunduk, berdoa bersama menyerahkan diri kepada perlindungan Tuhan.
Tak lama setelah itu, suara khas pun membelah udara, para suster menyanyikan lagu “Lepo Lamalera”, sebuah lagu tradisional yang tak hanya menyuarakan cinta kepada tanah dan laut Lamalera, tetapi juga harapan bahwa setiap yang berangkat akan kembali dengan selamat. Lagu itu mengalun seperti doa yang terbang ke cakrawala. Sesaat sebelum pledang (perahu tradisional) mulai meninggalkan pantai, semua umat yang hadir, anak-anak, orang muda, hingga dan para pengunjung lainnya mengantar para nelayan. Suasana haru tak terbendung. Di antara suara ombak dan tangis syukur dari beberapa para suster yang merasa terharu.
Sekitar pukul 10.00 pagi, setelah ibadat perutusan yang khidmat di pantai Lamalera, para Suster Yunior PRR tidak langsung beristirahat. Justru di saat itulah mereka memulai misi cinta kasih berikutnya menyusuri jalan-jalan desa, memanggul kantong-kantong sembako, mengetuk satu persatu pintu rumah lansia yang tersebar di Lamalera. Namun, mereka datang bukan sekadar membawa beras, gula, dan sebagainya. Mereka membawa kehadiran, membawa Gereja dalam bentuk yang paling lembut dan manusiawi yang hadir, mendengarkan, menyapa, dan merangkul. Di balik setiap daun pintu yang terbuka, ada wajah-wajah tua yang menyambut dengan mata yang berbinar dan senyum yang mungkin sudah lama tak begitu lebar. Para suster tidak terburu-buru, mereka duduk bersantai sebentar hanya sekedar menyapa, memberi senyman dan merengkul mereka yang kesendirian, menggenggam tangan opa dan oma yang dikunjungi, dan lebih banyak mendengar daripada bicara.
Kegiatan ditutup pada Jumat 2 Mei, saat para suster kembali ke Larantuka dengan hati penuh syukur dan semangat baru untuk melanjutkan pelayanan dan misi di tempat karya masing-masing. Kegiatan ini bukan hanya memperingati 150 tahun SVD, tetapi juga menegaskan kembali semangat misi dan pelayanan yang menjadi warisan para pendahulu, seperti Mgr. Gabriel Manek. Kepekaan sosial, doa, dan kehadiran nyata para suster menjadi berkat bagi sesama. (rilis biara suster PRR)
Sungguh menyentuh kalbu kisah nyata yang telah dilakonkan para suster PRR di Lamalera…tanah pusat misi di Lembata. Memang Lamalera lewo ikan paus sumber nafkah penyambung hidup,rahim suci para biarawan/Wati perdana yang terutus di tanah serani dan belahan bumi ini…Lamalera lewo serani tulen murni tetap mengukir yang terindah….memang kita hendaknya semakin berakar dan berbuah….salam manis tuk biara PRR dan suster suster PRR…aku sangat dibentuk di PRR..terimakasih.