Oleh: Anselmus DW Atasoge
Staf Pengajar STIPAR Ende
Sepak bola telah menghipnotis kehendak dan keinginan ribuan masyarakat, tak terkecuali pada momen ETMC XXXIII yang sedang digelar saat ini. Semua menyatu dalam kehendak yang sama: menyaksikan dan mendukung tim kesayangan dengan pelbagai cara dan gaya. Panas terik, dedebuan, guyuran hujan, siram tetesan embun tengah malam, haus lapar, bukan menjadi soal, halangan, rintangan dalam perhelatan yang kadang berakhir di jam tengah malam ini. Di lapangan, tak nampak segregasi yang ketat di antara semua yang hadir, meski mereka hadir dengan ‘warna’ yang berbeda-beda.
Jauh dari Ibu Kota Propinsi, nobar digelar di mana-mana. Keasyikan dalam kesendirian di ruang-ruang privat pun tak kalah sengitnya. Narasi-narasi yang dibangun di kolom-kolom chat di layar livestreaming tak sepi dari ajakan membangun semangat dan cacian bernada miring. Entah apa yang mau dikatakan. Namun, satu hal yang nampak adalah semua yang dekat di pusat lokasi pertandingan maupun yang nun jauh di sana seakan ‘menyatu hati-rasa-impian’ di tribun penonton maupun di ruang-ruang digital.
Kehendak dan keinginan untuk menyaksikan kemenangan bagi timnya seakan menggerakan pelbagai aktivitas dan tindakan untuk mendukung dengan menghadirkan spirit fisik dan metafisik. Spirit fisik jelas terlihat di lapangan atau di medan-medan ‘nobar’ yang digelar di mana saja. Spirit metafisik hadir dalam ‘ritual-ritual khusus’ yang mungkin saja ‘diritualkan’ di sudut-sudut lapangan yang jarang terlihat namun ‘berdampak besar’ bagi kemenangan sebuah klub lantaran dipercaya sungguh sebagai ‘medan simbolik’ yang menghadirkan pelbagai kekuatan untuk mendukung kemenangan.
Aksi simbolik ataupun tindakan dan benda-benda simbolis telah menjadi bagian penting dalam peradaban manusia. Melalui simbol manusia mengungkapkan cara pandangnya atau apa yang dipikirkannya tentang realitas kehidupan yang mengitarinya. Melalui simbol juga manusia mengungkapkan model-model relasinya dengan realitas yang berada di luar dirinya, yakni dengan Tuhan, sesama manusia dan alam semesta.
Saya teringat akan pemikiran Paul Avis dalam karyanya “God and The Creative Imagination, Metaphor, Symbol and Myth in Religion and Theology (London, 1991). Menurut Avis, simbol berarti membayangkan satu hal dalam bentuk yang lain. Ada dua aspek penting dalam pengertian ini yakni “membayangkan satu hal” dan “dalam bentuk yang lain”. Hal pertama berkaitan dengan tindakan membayangkan yang berhubungan erat dengan aktivitas imaginatif manusia. Hal kedua berkaitan dengan kemampuan manusia untuk mengabstrasikan sesuatu yang dibayangkan itu dalam bentuk tertentu.
Kedua hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, simbol dan imaginasi. Seseorang atau sekelompok orang yang membuat dan atau membaca simbol membutuhkan imaginasi. Ketika simbol digunakan dan ditanggapi atau dibaca arti dan maknanya, ketika itu imaginasi digunakan. Setiap orang atau kelompok yang membuat atau membaca simbol mengerahkan seluruh kekuatan kreatifnya. Tindakan penyimbolan tersebut menuntut sikap aktif dari pencipta simbol tersebut.
Demikian pula, untuk sampai pada pemahaman yang komprehensif terhadap sebuah simbol, para pencari arti dan makna simbol diharuskan untuk berpartisipasi di dalamnya hingga masuk ke dalam imaginasi tersebut dengan terlibat langsung dan aktif dalam realitas yang diimaginasikan tersebut. Sebab, menurut Avis, imaginasi adalah lingkungan simbolisme.
Kedua, simbol dan bentuk. Bagi Avis, bentuk merupakan kunci untuk simbol. Simbol diabstrasikan dalam bentuk serentak pula mengandung esensi dari simbol. Bentuk membuat simbol menjadi nyata. Bentuk membuat apa yang diimaginasikan dapat diindrai.
Sepak bola sepertinya mengandung lautan simbolik yang diciptakan untuk menjembatani antara realitas fisik dan dunia metafisik. Allah yang ‘jauh, suci, sakral’ diundang hadir untuk menyatakan ‘mujizatnya’ di lapangan pertandingan. Leluhur yang telah ‘tenang’ di dunia seberang ‘dipaksa bangun’ untuk menyatakan dukungannya. Benda-benda budaya dihadirkan pula di sana untuk membangkitkan spirit kemenangan. Sejumlah ‘kata/sabda/koda’ dilemparkan di sana untuk mendukung kawan dan menghantam lawan. Simbol-simbol keagamaan seperti membuat tanda salib dan sujud syukur mencium bumi juga dihadirkan di tengah dan sudut lapangan.
Tak salah jika dikatakan bahwa semuanya bermuatan imaginasi-imaginasi kesuksesan dan kemenangan. Dan semuanya tidak salah. Yang salah adalah para pencipta simbol ‘memaksakan hasil imaginasinya’ kepada yang lain dengan cara yang paling sadis dan tidak beradab. Imaginasi simbolik yang mengandung paksaan (memaksa dan mengkerangkeng kebenaran-kemenangan menjadi milik diri sendiri) di lapangan sepak bola, memaksa kehendak pada sang wasit dan memaksa panitia untuk tunduk pada impian klub sejatinya adalah aktualisasi diri yang tidak sempurna. Sepak bola NTT mesti jauh dari ‘imaginasi-imaginasi paksaan’ seperti ini!
Perhelatan ETMC XXXIII di Ibu Kota Propinsi NTT tengah memasuki ‘waktu-waktu krusial’. Pelbagai dinamika hadir di sana, tidak hanya di areal pertandingan melainkan juga di setiap sudut lapangan dan meluas tak terbendung di media sosial. Keindahan sepak bola dibarengi ‘kekerasan’ dan diikuti dengan ‘saling bergandengan’ tangan lahir silih berganti di setiap momennya. Sejumlah reporter yang melaporkan momen ini secara live streaming selalu mengantisipasi situasi dengan kata-kata: ‘rivalitas hanya 90 menit, persaudaraan akan terjalin selamanya’. Sebuah narasi antisipatif yang bernuansa kohesif!
Impian imaginasi paling akhir dari perhelatan semacam ini adalah persaudaraan yang kohesif di bumi NTT. ‘Rivalitas sembilan puluh menit, persaudaraan selamanya’ kiranya menjadi bingkai yang tak terlewatkan di hadapan mikrofon sang reporter. Sepak bola kiranya menjadi ajang untuk membumikan persaudaraan semesta: Fratelli Tutti (Kita Semua Bersaudara)! Aksi simbolik dan benda-benda simbolis yang dihadirkan di sana semoga terarah pada pembumian persaudaraan itu. Di ruang-ruang kolektif maupun privat persepakbolaan ini tengah tercipta ‘persaudaraan persepak-bolaan’, sebuah magnet sosial yang menembus batas-batas teritorial. Kita jaga dan rawat spirit fisis yang tengah bersahabat dengan spirit metafisis ini demi sebuah peradaban kemanusiaan universal! ***