Oleh Polce Tifaona
Tinggal di Lewoleba-Lembata
Belakangan ini Facebook Profesional (FB Pro) gencar berseliweran dengan konten-konten random oleh akun-akun berlabel konten kreator. Bukan hanya ibu-ibu olshop yang rajin mengupdate barang dagangannya. FB Pro sudah merambat di semua kalangan. Mendadak para kaum adam lebih rajin mengekspos segala macam di beranda facebooknya. Mulai dari konten yang berfaedah, hingga sesuatu yang sudah jelas-jelas tidak layak secara kualitas untuk dikonsumsi publik.
Facebook adalah ruang maya yang menghebokan. Facebook mampu mendekatkan yang jauh lantas menjauhkan yang dekat. Ia sudah menjadi fenomena pertemanan yang menembus ruang dan waktu. Facebook menjadi cerminan diri setiap penggunanya. Pengguna Facebook dengan sukarela dan berkesadaran tinggi akan membuka dirinya untuk bersedia dikomentari, dilihat, dan juga dipeloloti khalayak. Semuanya ini terjadi karena dalam dunia Facebook pengguna Facebook (fesbuker) akan melaporkan setiap kegiatan dan aktivitas yang dilakukannya. Karena itulah bersama Facebook semuanya menjadi terbuka lebar. Keberadaan Facebook mampu menarik minat jutaan manusia di dunia untuk menggunakan dan menjadi anggota komunitas fesbuker.
Seperti pepatah, bak jamur yang tumbuh di musim hujan. Para akun Facebooklantas memonetisasi akun dan diaktifkan menjadi akun profesional. Sudah sepantasnya, tujuan mulia akun profesional harusnya membagikan konten-konten, baik itu (video, gambar, tulisan) yang menjadi pengaruh baik untuk dikonsumsi publik. Konten-konten yang mengedukasi dan mendidik orang lain. Apabila konten yang di posting menghibur, haruslah bermanfaat bagi publik. Dan yang paling penting menjunjung tinggi etika. Etika menjadi amat penting dalam melakukan interaksi dan membangun jaringan dengan sesama. Oleh sebab itu, etika berkomunikasi yang baik dan efektif di dunia maya akan semakin mempererat hubungan keakraban.
Menjadi seorang konten kreator itu baik. Namun harus diperhatikan adalah isi konten yang dibuat. Bukan soal mengejar for your page (FYP) sehingga apa saja dibabat. Pada akun profesional, tidak lagi mengeluh, menghujat, menyindir, bahkan konten-konten yang tidak mendidik sama sekali. Musti lebih bijak dalam memanfaatkan monetisasi Facebook agar dapat menghasilkan cuan yang lebih efektif. Lebih selektif juga menayangkan konten agar sesuai dengan keprofesionalan akun. Etika itu harus dijaga agar akun tetap menarik bagi pengguna sosial media.
Guru Berlabel Konten Kreator
Berbicara tentang pendidikan maka sosok seorang guru sangatalah vital. Tidak bisa dibantahkan lagi kalau guru adalah obor yang menerangi kegelapan. Semuanya akan sepakat bahwa guru adalah sosok yang digugu dan ditiru. Guru menjadi profesi yang amat mulia, sehingga guru layak menjadi model di masyarakat. Guru bukan hanya mengajar namun lebih dari itu mengemban tugas yakni mendidik peserta didik agar bukan hanya pintar tapi juga cerdas beretika alias memiliki karakter yang baik. Usia masa sekolah adalah usia siswa akan mudah meniru setiap semua yang ia lihat. Maka dari itu, guru juga harus bisa memberikan contoh yang baik kepada peserta didiknya. Konsep tersebut harus sejalan antara perkataan dan perbuatan dari sang guru.
Fb pro bukan hanya menyisir kaum ibu-ibu ataupun masyarakat umumnya. Rupanya profesi mulia sebagai guru pun tergiur untuk menjadi konten kreator. Tidak ada yang salah. Semuanya sah-sah saja. Bila berjalan di atas rel yang aman maka pasti baik adanya. Dalam artian segala macam konten, baik itu berupa video, foto atau gambar, dan juga tulisan yang diposting oleh guru di dinding FB Pro miliknya bolelah berkisah tentang dunia pendidikan. Akan lebih bijak apabila mengekspos tentang materi ajar, tugas-tugas yang berkaitan dengan materi pembelajaran. Tentu masih banyak nilai-nilai budi pekerti yang diajarkan bisa dibagikan di beranda FB pro milik guru yang berlabel konten kreator.
Bukan tentang FYP sehingga semuanya bebas berekspresi alias buka-bukaan di sosial media. Bahkan ada yang jungkir balik buat konten sehari bisa empat sampai lima video. Parahnya lagi, isi konten yang dibuat berisi sindiran, hujatan dan olok-olokan. Bukan hanya itu, tata cara berbusana pun nyaris lebih vulgar dan berjoget ria di depan kamera tanpa memperdulikan lagi nilai-nilai etika. Demi kejar jam tayang sampai buru dolar harga diri pun dipertaruhkan. Kita ingat kembali semboyan khas bapak pendidikan Ki Hajar Dewantara yang pertama adalah di depan dan menjadi teladan (Ingarso sung tulodo). Sangatalah jelas guru harus menjadi suri teladan bagi peserta didiknya. Lalu apa yang diharapakan dari seorang guru yang berlabel konten kreator, sementara isi kontennya menyimpang dari dunia pendidikan? Semoga lebih bijak dalam bersosial media. (*)