Aksinews.id/Lewoleba – Plan Indonesia Area didukung International Union of Conservation Nature (IUCN) dan Global EbA Fund Secretariat menyediakan dana sebesar $250,000 USD atau sekitar 3.974.675.000 jika dikonversi dengan Rp 15.898,70/$1USD, untuk membiayai program Pengelolaan Adaptasi Untuk Tata Kelola Integratif (PANTAI) selama dua tahun, Oktober 2024- September 2026.
Program yang dilaksanakan di lima desa di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata –Muruona, Laranwutun, Kolontobo, Riang Bao dan Petuntawa— ini dilaksanakan Plan Lembata dengan menggandeng dua lembaga lokal, YPII dan Yayasan Bina Sejahtera (YBS) Baru Lembata sebagai implementor.
Rabu (4/12/2024), Program Implementation Area Manager Plan Indonesia, Erlina Dangu didampingi Direktur YBS Baru, Kornelia Penaten dan Kepala Pelaksana Harian BPBD Lembata, Yohanes Gregorius Solang Demo, melaunching program PANTAI di hadapan para kepala desa, para pemuda/i dan para tokoh masyarakat dari lima desa sasaran di Hotel Palm, Lewoleba, Lembata.
Erlina Dangu yang akrab disapa None, mengungkapkan bahwa Lembata memiliki beragam bentuk konservasi berbasis kearifan lokal. Salah satu konservasi yang diungkapkan None adalah Badu atau Muru, larangan oleh masyarakat adat yang bertujuan untuk melindungi dan mengelola sumber daya alam secara lestari. Secara spesifik, Badu atau Muru yang dimaksudkan Erlina berada di wilayah laut.
Kepada peserta kegiatan, Erlina mengatakan, konservasi ini merupakan warisan budaya yang memiliki peran penting dalam melestarikan terumbu karang, mangrove dan perikanan berkelanjutan.
“Badu dan Muru adalah beberapa praktik yang tidak hanya mendukung konservasi lingkungan bagi komunitas pesisir,” ungkap Erlina.
Dalam pemaparan materi program yang disampaikan staf Plan, Frederika Rambu, dijelaskan bahwa Plan Indonesia ingin membangun kembali kesadaran kaum muda akan pentingnya Badu atau Muru dengan melibatkan mereka secara aktif untuk memantau, mengelola, dan melestarikan ekosistem laut serta pesisir.
Lanjutnya, program ini juga akan mendorong integrasi aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi dalam perencanaan masa depan Pulau Lembata, sehingga generasi muda dapat mempelajari dan menjadi agen perubahan sekaligus pendukung pembangunan berkelanjutan.
“Selain itu kami juga mendorong keterwakilan dari berbagai pihak dalam tata kelola konservasi berbasis kearifan lokal masyarakat Lembata, dimana ada keterwakilan dari kaum muda, kaum perempuan, dan penyandang disabilitas dalam pelaksanaannya,” tambah None.
Menanggapi penjelasan Plan terkait program PANTAI, peserta workshop mengingatkan agar pelaksana program ini melakukan riset secara cermat. Sebab muru atau larangan terhadap wilayah (Zona) tertentu tidak hanya terjadi di laut tapi juga di darat.
Selain itu, diingatkan pula agar pelaksana program tidak membangun kelembagaan baru dalam menata dan mengelola muru atau badu. Disayangkan desa sasaran yang merupakan bagian dari masyarakat adat Lewuhala, tapi desa yang menjadi pusat ritual ada Lewuhala, yakni Desa Jontona, tidak menjadi desa sasaran program PANTAI.
Kendati begitu, para tokoh masyarakat dan perangkat desa yang hadir tampak antusias menyambut program PANTAI ini. Mereka bahkan menyatakan siap dan segera membentuk komite pengelola muru atau badu. Namun None meminta agar tidak tergesa-gesa membentuk kelembagaan baru di desa. Sehingga program pelaksanaan program PANTAI lebih terarah yang dimulai dari sosialisasi kepada segenap pemangku kepentingan di desa.
Direktur Yayasan Bina Sejahtera Baru, Kornelia Penaten, menambahkan, “Masyarakat Lembata memiliki ragam bentuk konservasi berbasis kearifan lokal, salah satunya adalah konservasi laut dan kawasan pesisir yang memiliki beragam nama berdasarkan topografi dan gaya bahasa masing-masing komunitas adat.”
Lanjutnya, pendekatan Proyek PANTAI diharapkan dapat meningkatkan ketahanan masyarakat pesisir terhadap bencana terkait perubahan iklim seperti tsunami, abrasi, dan cuaca ekstrem, sekaligus mengurangi tekanan pada ekosistem laut akibat penangkapan ikan berlebihan dan polusi.
Untuk diketahui, Program PANTAI bertujuan untuk meningkatkan tata kelola Konservasi Pesisir Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Lembata, dengan melibatkan kaum muda, kaum perempuan, kaum disabilitas dan komunitas lokal.
Sebagai langkah awal, Plan Indonesia bersama Yayasan Bina Sejahtera Baru Lembata (YBS Baru) mengadakan Start-Up Workshop ini.
Kegiatan ini mempertemukan berbagai pemangku kepentingan untuk membahas rencana kerja sekaligus strategi implementasi program ini.
Hadir dalam kegiatan ini Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lembata, Perwakilan UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Lembata, Perwakilan dari Dinas Perikanan Kabupaten Lembata, Pemerintah Desa, Tokoh Masyarakat Adat, Perwakilan Kaum Muda, Perwakilan Perempuan dari 5 Desa dampingan Program PANTAI.
Usai kegiatan peluncuran itu, Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana (Kalak BPBD) Kabupaten Lembata, Andris Koban menyampaikan apresiasi dan dukungannya terhadap program ini.
Andris juga menyarankan untuk membangun komunikasi yang intens antara pelaksana program, pemerintah, dan masyarakat sebelum sosialisasi dan implementasi yang melibatkan banyak pihak.
“BPBD mendukung penuh Proyek PANTAI dari Plan Indonesia sebagai upaya pengurangan risiko bencana yang memperkuat kapasitas manusia, lingkungan, ekonomi, infrastruktur, dan sosial budaya. Kami mengapresiasi fokus Plan pada anak, perempuan, dan penghargaan terhadap budaya lokal, seperti tradisi Muru atau Badu,’’ kata Yohanes Gregorius Solang Demoyang akrab disapa Andris Koban.
Sedangkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lembata, Christian Rimba Raya mengatakan, proyek ini adalah salah satu solusi terkait tata kelola pemanfaatan sumber daya alam dengan tetap merawat kelestarian lingkungan terutama terkait pemanfaatan terumbu karang, lamun, mangrove dan tumbuhan pesisir.
“Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan terutama komunikasi dan perizinan harus sesuai dengan Kawasan dan tingkatannya agar sesuai dengan ketentuan adat dan administrasi,” kata Christian.
Lanjutnya, dalam jangka panjang, model konservasi ini diharapkan menjadi model perlindungan ekosistem laut yang tidak hanya menjaga kelestarian alam, tetapi juga meningkatkan ketahanan pangan masyarakat pesisir.
“Praktik ini akan dipromosikan untuk direplikasi di desa-desa pesisir lainnya sebagai langkah nyata dalam menghadapi perubahan iklim dan menjaga keberlanjutan lingkungan,” tutup Christian. (AN-01)