Sahabat difable bernama Patrik dibantu ibunya yang mendampingi berkisah,” saya ikut Pemilu keuda kalinya. Dari rumah dengan perasaan menyenangkan pergi ke TPS. Tapi, di TPS saya mengalami kesulitan karena kursi roda tidak bisa bergerak. Saya harus dipapah dan ini bukan situasi yang nyaman buat saya. Kalau begini, saya tidak mau lagi ikut Pemilu.” Patrik marah dan mengatakan tidak akan ikut Pemilu lagi kalau kondisi TPS tidak ramah untuknya, ibunya menegaskan.
Sahabat difable lainnya Marlyn juga menuturkan pengalaman serupa. Adiknya dengan kondisi serupa—disabilitas fisik dan harus di kursi roda—bahkan menolak ke TPS selain karena kondisi TPS yang tidak nyaman juga, “dia biasanya di rumah dan tidak pernah keluar rumah. Bayangkan betapa sulitnya dia dengan mentalnya sendiri berhadapan dengan banyak orang, banyak mata yang melihat dan ditambah kondisi TPS yang tidak nyaman.”
Difable lainnya Yustina, berharap kalau boleh mereka didahulukan dalam proses pemungutan suara di TPS. Karena kondisi mereka yang tidak bisa diperlakukan sama dengan orang lain. “Kalau bisa, kami jangan antri,” ujarnya
Difable lainnya, Siska lain lagi kisahnya. Pada Pemilu legislatif Februari 2024 Siska menjadi petugas yang jaga di meja celup jari setelah pencoblosan. Di TPS tempat Siska bertugas kemudian ditemukan adanya kecurangan dan dilakukan pemungutan suara ulang (PSU). Yang memprihatinkan, dirinya tidak lagi dipanggil bertugas tanpa penjelasan. Apakah dirinya bersalah dalam melaksanakan tugas? Dia sendiri tidak diberitahu. Mudah-mudahan saya jangan dilihat sebagai difable, jadi tidak dianggap.
Difable bapak Lorens bahkan jujur mengatakan tidak ikut mencoblos dalam beberapa kali Pemilu. Alasannya,” saya sangat kecewa karena saya pernah mengajukan proposal ke pemerintah dan DPRD untuk urusan difable tetapi sampai saat ini, tidak ditanggapi. Apakah difabel bukan bagian dari rakyat dan tidak punya hak mendapatkan kemudahan dalam bekerja? Jadi saya tidak ikut Pemilu karena itu alasannya, ” ujar bapa Lorens tegas
Sementara salah seorang anggota forum, pendamping difable, Nona Mudapue mengharapkan sosialisasi tentang Pemilu untuk difabel agar bisa dilakukan hingga tingkat desa. Sebab banyak sahabat difable tinggal di kampung-kampung
Pendamping lainnya, ibu Eta Kleden juga menegaskan pentingnya TPS mobile untuk pada difable yang hanya tidur saja dan juga para orang sakit dan paramedis di rumah sakit.
Di hadapan Ketua Forum Peduli Kesejahteraan Difable dan Keluarga (FPKDK) Kabupaten Lembata, Ramsy Langoday para sahabat difable ini menuturkan hambatan dalam partisipasi mereka dalam Pemilu
Ramsy Langoday menjadi pemateri dalam kegiatan Sosialisasi Pengawasan Pemilu kepada Difable yang diselenggarakan Bawaslu Kabupaten Lembata, Selasa (17/9/2024) di Hotel Anissa, Lewoleba, Lembata.
“Curhat” para difable dan pendamping yang juga didengarkan langsung anggota Bawaslu Kabupaten Lembata, Muhamad Rifai dan sejumlah staf Bawaslu itu menjadi rekomendasi dari FPKDK.
“Kami akan membawa semua soal ini dalam rapat bersama KPU Kabupaten Lembata,” ujar Rifai.
Ditegaskan, difable memiliki hak politik yang sama dengan warga negara umumnya dan karena itu tidak boleh ada diskriminasi terhadap difable. (Fince Bataona)