Oleh: Antonius Rian
Bekerja di SMAK Santo Yakobus Rasul Lewoleba
Tak dapat dimungkiri bahwa sistim politik modern di Indonesia telah mengadopsi dan memodifikasi sistim pemerintahan tradisional yang dianut oleh masyarakat lokal di berbagai sudut Nusantara, sesuai dengan tuntutan zaman. Sistim pemerintahan tradisional telah lahir sebelum negara Indonesia dibentuk oleh founding fathers and mothers. Dengan demikian, maka berjalannya negara ini tak terlepas dari nilai-nilai politis yang tertanam kuat dalam warisan tradisional nenek moyang Indonesia. Sebagai contoh, Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia sesungguhnya diambil dari nilai-nilai kearifan lokal Nusantara. Hal ini diakui sendiri oleh Soekarno, sebagai salah satu penggali ulung Pancasila.
Dalam sistim pemerintahan tradisional, salah satu nilai baik yang mesti dipegang oleh penganutnya adalah komitmen pada tugas. Hal ini dilandasi pula pada dasar sumpah atau janji yang direstui oleh Tuhan, alam semesta dan leluhur melalui ritual adat. Dapat saya sebutkan dalam tulisan ini, kearifan lokal sayin bayan di Kedang, Lembata – orang Lamaholot menyebutnya Bela Baja – atau yang lebih lengkap disebut sayin nute toye’ bayan – sebuah ritual untuk menegaskan komitmen pada janji yang disepakati bersama. Ritual ini akan mengurbankan hewan misalnya kerbau atau sapi, kemudian orang yang menjalankan sumpah juga akan diambil setetes darahnya dicampur dengan tuak lalu saling tukar dan diminum bersama sebagai bentuk penyatuan. Janji yang disepakati sudah menyatu dalam darah.
Sekilas terkesan amat menakutkan; tetapi terbukti sebagai sebuah kearifan lokal yang bertahan cukup lama. Di Kedang, kita kenal ada Sayin Bayan Kedang dengan Pandai di pulau Pantar yang berawal dari bantuan perang dari Kedang yang bernama Lako dengan istrinya dari Atawatung Ileape bernama Bori. Keduanya membantu raja Pandai untuk membunuh panglima perang Munaseli yang bernama Pito Para dan Mau Para. Usai menang, diadakan Sayin Bayan antara Kedang dan Pandai yang berlangsung di Wowon (Desa Wowong). Ada juga Sayin Bayan lain dalam skala yang lebih kecil, misalnya antarkampung di seputaran Kedang.
Sayin Bayan yang dilakukan memiliki tujuan pada komitmen akan janji. Maka, orang yang melakukan sayin bayan (hala’ sayin) akan mematuhi janji yang disepakati karena jika tidak maka diyakini akan ada bencana yang datang menghampiri pelaku yang telah mengingkari janji tersebut. Cerita-cerita seputar sayin bayan ini masih sering didengungkan walaupun tak lagi dipraktikkan. Namun, nilainya tak akan pernah punah oleh lajunya waktu.
Sayin Bayan Politik
Setiap kali pelantikan pejabat politik, hal yang selalu dilakukan yakni sumpah jabatan. Pemuka agama samawi selalu saja diundang untuk memandu sumpah. Terlihat Kitab Suci para pejabat publik diletakkan di atas kepalanya. Pertanyaanya; mengapa dominasi agama sangat kuat masuk pada ranah politik? Apakah dengan sumpah seperti demikian dapat menjadikan pejabat politik kita berlangkah pada koridor yang tepat atau masih seko leko di belakang layar?
Tentu saja nilai kebenaran di balik sumpah jabatan menjadi harapan tertinggi yang mesti dilaksanakan oleh mereka yang bersumpah untuk menduduki kursi kekuasaan. Namun, hal yang perlu dikritisi di sini adalah, dominasi tradisi agama sawawi – di Lembata misalnya Islam dan Kristen – telah menggeser posisi kearifan lokal Lembata dalam dunia politik. Padahal jika menelusuri kembali sejarah Otonomi Lembata, pulau ini menjadi Kabupaten di atas dasar kearifan lokal adat istiadat nenek moyang. Ritual adat mengiringi jiwa dari perjuangan.
Kini, dasar itu digeser oleh tradisi agama yakni sumpah menggunakan Kitab Suci. Bukan bermaksud membandingkan kebenaran agama dan tradisi adat lokal Lembata. Namun, nilai yang perlu dilihat kembali yakni politik tanpa kearifan lokal akan memberi peluang bagi para pengendali kekuasaan untuk bertindang sewenang-wenang. Agama sudah menjalankan perannya melalui tangan para pemuka agama; mereka memberi sumpah dan menasihati. Lantas bagaimana peran tetua adat dalam kaitannya dengan kehidupan politik? Apakah kearifan lokal kita tak berguna atau tak dibutuhkan dalam dunia politik?
Kembali pada tradisi Sayin Bayan di Kedang, saya berpendapat bahwa tingkah laku oknum politisi yang di luar batas normal diakibatkan juga karena hilangnya relasi oknum tersebut dengan kearifan lokal nenek moyangnya. Atau dengan kata lain, oknum yang tak takut pada adat. Oleh karena itu, setiap kita perlu merefleksikan kembali pertalian mesra antara kearifan lokal dengan politik. Kearifan lokal bukan barang rongsokan yang perlu dibuang, ia memiliki nilai-nilai yang potensial dalam membimbing politik.
Kearifan lokal kita mesti digunakan dan punya dampak yang bermanfaat bukan sekadar dimanipulasi pada kegiatan-kegiatan festival Uyelewun, sare dame dan lain-lain sebagaimana yang pernah ada di Lembata. Kearifan lokal mesti menyata dalam dunia politik. Maka selain sumpah menggunakan Kitab Suci agama, mesti juga ada sumpah menggunakan tradisi kearifan lokal dengan menempatkan koda atau sabda sebagai kekuatan utama yang kemudian disahkan melalui ritual adat, tuang tuak, makan sirih pinang dan lain-lain. Dengan bahasa yang lebih sederhana yakni sayin bayan politik – sumpah janji politik yang diratifikasi secara adat.
Kebenaran kearifan lokal kita tak boleh dilihat sebagai bentuk kepercayaan sia-sia. Sebab ia memiliki relevansi dengan kehidupan saat ini, sebagaimana Jhon Mansford Prior dalam bukunya Daya Hening Upaya Juang (2000) menegaskan, simbol-simbol budaya, upacara-upacara serta mitos-mitos masyarakat memberi makna, arah dan integritas pada dunia pragmatis sehari-hari. Pendapat ini, tentu juga bermakna sama dengan Undang-Undang No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang mau menegaskan peran negara dalam menjaga potensi budaya, salah satunya ritus.
Artinya, kita tak boleh memandang rendah kearifan lokal dalam posisinya dengan politik maupun agama. Ketiganya mesti diletakkan pada level saling membutuhkan untuk jalan kesempurnaan politik yakni demi kebaikan bersama. Agama tentu tak boleh dihindari, adat pun demikian sehingga politik bisa berjalan dalam cahaya kontrol dua kekuatan yakni Kitab Suci dan Koda. Dengan menempatkan kearifan lokal sejajar dengan agama sebagai pembimbing politik, maka kita disadarkan akan tanggung jawab melestarikan kekayaan lokal di daerah yang memiliki nilai untuk kebaikan bersama yang masih sangat relevan dengan kehidupan politik kekinian.
Mampukah, orang Lembata, usai Pemilu 2024, melantik para wakilnya menggunakan atribut kearifan lokal nenek moyang dengan mengundang para tetua adat untuk memberi nasihat melalui koda sakral di hadapan masyarakat? Atau sudah nyaman dengan sumpah yang diberikan pemuka agama dalam ruangan yang dihadiri hanya oleh para elit? ***