Aksinews.id/Jakarta – Apakah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) bisa membatalkan putusan yang telah ditetapkan hakim Mahkamah Konstitusi (MK)? Ini masih menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum. Namun pakar hukum tata negara sekaligus advokat Denny Indrayana bersikeras agar MKMK tidak hanya menjatuhkan sanksi etik kepada Ketua MK Anwar Usman, melainkan juga membatalkan produk yang diputuskan MK.
Denny Indrayana terus mendesak agar MKMK membatalkan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat batas usia minimum capres-cawapres yang diputuskan hakim konstitusi yang diketuai ipar Joko Widodo, Anwar Usman. Dimana, putusan itu diketahui menyatakan bahwa anggota legislatif dan kepala daerah di semua tingkatan berhak menjadi capres ataupun cawapres, meski belum berusia 40 tahun.
Putusan itu sekaligus telah membuka bagi Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang baru berusia 36 tahun, melaju menjadi cawapres Pilpres 2024, mendampingi Prabowo Subianto, yang diajukan Koalisi Indonesia Maju (KIM). Menurut eks Wamenkumham tersebut, pelanggaran Anwar Usman tidak hanya kode etik, melainkan produk hukum.
Jadi, “Saya tetap bersikeras bahwa MKMK mesti memberikan ruang kepada permohonan saya untuk tidak hanya memberikan sanksi etik kepada Anwar Usman, tapi juga konsekuensi terhadap putusan 90,” kata Denny dalam sebuah diskusi daring yang dikutip republika.co.id, dari Jakarta, Sabtu (4/11/2023).
Denny Indrayana punya dua argumentasi mengapa MKMK juga harus membatalkan Putusan MK Nomor 90 tersebut. Pertama, ia sudah melaporkan dugaan pelanggaran kode etik Anwar Usman ke MKMK dua bulan sebelum MK membacakan putusan.
Denny melaporkan Anwar atas dugaan pelanggaran kode etik. Pasalnya, berstatus sebagai paman, Anwar Usman turut memutus perkara yang berkaitan dengan kepentingan keponakannya, yakni Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi.
“Jadi sebelum (putusan nomor 90 itu) final dan binding, saya sudah menyampaikan ini putusan akan bermasalah. Setelah putusan dibacakan lalu dikatakan ‘maaf putusan sudah final and binding, tidak bisa diganggu gugat’, ya jangan begitu dong,” ujarnya.
Argumentasi kedua, sebuah putusan yang dalam proses penyusunannya diwarnai pelanggaran kode etik seharusnya dibatalkan. Apalagi, putusan tersebut merupakan megaskandal yang melibatkan Anwar; kakak iparnya, Jokowi; dan keponakannya, Gibran.
Denny memahami bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga tak bisa diganggu gugat. Kendati begitu, pada setiap prinsip hukum selalu ada pengecualian, yang salah satunya adalah ketika terjadi pelanggaran etik dalam penyusunan putusan. “In every principle that should be exception. Selalu ada pengecualian dalam prinsip hukum,” kata Denny.
Dia mengakui, selama ini, belum pernah MKMK sebagai mahkamah etik membatalkan putusan MK. Pasalnya, selama ini, belum pernah terjadi kasus pelanggaran etik seperti yang terjadi pada putusan MK Nomor 90.
Kendati begitu, Denny menyebut, peradilan etika kepemiluan, yaitu Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), pernah menjatuhkan sanksi etik kepada KPU sekaligus menjatuhkan sanksi koreksi terhadap putusan penyelenggaranya. Putusan tersebut dibuat ketika DKPP diketuai oleh Prof Jimly Asshiddiqie.
MKMK diketahui menerima 21 laporan dugaan pelanggaran kode etik terhadap semua hakim konstitusi dalam penyusunan putusan Nomor 90. Ketua MK Anwar Usman paling banyak dilaporkan berbagai elemen masyarakat.
MKMK yang diketuai Jimly Asshiddiqie telah menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan dan pembuktian secara maraton sejak Selasa (31/10/2023) hingga Jumat (3/11/2023). Sembilan hakim konstitusi juga sudah diperiksa. Khusus Anwar Usman diperiksa dua kali.
MKMK akan membacakan putusan pada Selasa (7/11/2023), tepat sehari sebelum KPU menutup jadwal penggantian capres atau cawapres. Jimly mengatakan, dalam putusan etik tersebut akan ditentukan pula bagaimana implikasinya terhadap putusan MK Nomor 90.
Testimoni Hakim Enny Nurbaningsih
Sementara itu, hakim konstitusi Enny Nurbaningsih mengaku telah menyampaikan semua yang ia tahu soal dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi berkaitan dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dianggap memuat konflik kepentingan ke Majelis Kehormatan MK (MKMK) selama 1 jam lebih.
“Sudah habis, kami nangisnya tadi,” kata Enny kepada wartawan pada Selasa (31/10/2023) lalu.
Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie juga mengungkap hal yang sama. Ia mengatakan bahwa selama memeriksa 3 hakim konstitusi, yaitu Anwar Usman, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih, MKMK membebaskan para hakim untuk curhat. “Wah, curhatnya banyak sekali. Yang nangis malah kami,” kata dia.
“Intinya, banyak sekali masalah yang kami temukan, jadi dari tiga hakim ini saja muntahan masalahnya ternyata banyak sekali,” ucap Jimly, sebagaimana dilansir kompas.com.
Salah satu hal yang diperiksa MKMK dalam sidang pemeriksaan Enny yaitu soal alasan berbeda (concurring opinion) Enny dan hakim konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh dalam putusan itu.
Keduanya tidak setuju semua pejabat negara hasil pemilu, termasuk kepala daerah di segala level, dapat menjadi capres-cawapres sebelum 40 tahun. Enny dan Daniel menganggap hanya jabatan gubernur yang memenuhi syarat untuk mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres pada usia di bawah 40 tahun.
Sejumlah pakar hukum tata negara menganggap, concurring opinion yang disampaikan Enny dan Daniel dalam putusan itu seharusnya dianggap sebagai pendapat berbeda (dissenting opinion). Karena dianggap concurring opinion, posisi Enny dan Daniel dianggap ada dalam komposisi hakim mayoritas yang sepakat mengubah syarat usia minimum capres-cawapres bersama Anwar Usman, Guntur Hamzah, dan Manahan Sitompul.
Padahal, jika dianggap sebagai dissenting opinion, posisi Enny dan Daniel akan dianggap berada dalam komposisi mayoritas hakim yang menolak mengubah syarat usia minimal capres-cawapres bersama Saldi Isra, Arief Hidayat, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams.
Dugaan pelanggaran kode etik ini mengemuka setelah MK yang diketuai ipar Presiden Joko Widodo, Anwar Usman mengabulkan gugatan terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) pada Senin (16/10/2023) lewat putusan yang kontroversial.
Dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.
Putusan ini memberi tiket untuk putra sulung Jokowi yang juga keponakan Anwar, Gibran Rakabuming Raka untuk melaju pada Pilpres 2024 dalam usia 36 tahun berbekal status Wali Kota Solo yang baru disandangnya 3 tahun. (*/AN-01)