Aksinews.id/Bogor – Penanganan kasus pemerkosaan di Indonesia ternyata masih belum sepenuhnya berpihak kepada korban. Buktiknya, empat oknum pegawai Kementerian Koperasi dan UKM yang memperkosa rekan kerjanya di Bogor, terhenti oleh putusan Pengadilan Negeri Bogor atas gugatan praperadilan tiga tersangka pelaku. Ada apa?
Keluarga korban kasus pemerkosaan berharap pelaku tetap bisa diproses pidana, meski Pengadilan Negeri Bogor telah menggugurkan status tersangka tiga terduga pelaku dan menghentikan proses penyidikannya.
Ya, “Keputusan hakim ini membuat mental korban dan psikisnya itu makin down,” kata kakak dari korban N, Radit kepada BBC News Indonesia, Kamis (19/1/2023). “Tapi bagi kami [putusan] itu bukan akhir segala-galanya, pasti masih ada celah hukum lainnya.”
Pada 12 Januari 2023, PN Bogor mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan oleh tiga orang tersangka yakni Zaka Pringga, Wahid Hasyim dan Muhammad Fiqar. Putusan itu menyatakan sah Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diterbitkan Polresta Bogor pada 18 Maret 2020 atas kasus pemerkosaan oleh pegawai Kementerian Koperasi dan UKM yang terjadi pada 6 Desember 2019 silam.
Sementara itu, penetapan tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan pada 1 Januari 2020 dinyatakan tidak sah oleh hakim.
Kapolres Bogor Kota AKBP Bismo Teguh Prakoso mengatakan pihaknya menghormati putusan praperadilan itu, namun menjanjikan penyidikan akan dilanjutkan. Ya, “Kami menggandeng ahli pidana, nantinya kami akan melaksanakan gelar [perkara] khusus dan berupaya, berkomitmen untuk melanjutkan penyidikan kembali,” kata Bismo.
Komitmen itu muncul setelah Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mendesak agar kasus ini dibuka kembali dan penyidik yang menangani kasus tersebut diperiksa oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.
Sementara itu, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa menilai dikabulkannya gugatan itu telah membuktikan bahwa ada proses yang tidak benar dari penanganan perkara in oleh penyidik.
Radit mengaku baru mengetahui soal putusan praperadilan itu pada Kamis pekan lalu dari kuasa hukum terduga pelaku. Padahal, menurut Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Bogor, gugatan itu didaftarkan oleh terduga pelaku pada 23 Desember 2022.
Informasi soal putusan praperadilan itu, kata Radit, membuat keluarga kaget dan kondisi mental korban kembali menurun. “Keluarga kami pasti kecewa, tapi kami tidak bisa intervensi karena tidak terlibat di situ karena tergugatnya adalah Polresta Bogor,” kata Radit.
Namun bagi Radit, putusan praperadilan itu tidak akan menghentikan upaya keluarganya untuk mendapatkan keadilan.
Keluarga korban akan berkoordinasi dengan Lembaga Bantuan Hukum APIK, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komnas Perempuan, serta Kemenko Polhukam untuk mengawal kasus ini.
“Kami berharap lembaga-lembaga negara yang sudah mendukung korban jangan sampai kalah terhadap pelaku pemerkosaan, dan pihak-pihak terkait yang mendukung pelaku harus dikenakan sanksi seadil-adilnya,” kata Radit.
Keluarganya kini menanti “kepastian hukum” terhadap para terduga pelaku yang dia sebut “terus berupaya menggugurkan kasusnya”.
Putusan pengadilan yang menganggap sah SP3 yang diterbitkan oleh polisi pada 18 Maret 2020 pun dinilai janggal oleh Radit.
Sebab, dia mengklaim bahwa SP3 itu “diterbitkan secara sepihak” dan mereka baru mengetahuinya bahwa kasus itu telah dihentikan melalui kuasa hukum terduga pelaku pada 4 Januari 2022.
“Kami juga baru tahu ketika kami mensomasi pelaku yang menikahi korban, pengacara kasih tahu, ‘ini loh kasusnya sudah SP3, lah kami kaget’,” tutur Radit, dan menambahkan, “Dari awal memang prosesnya terasa tidak adil, makanya saya akan terus mencari kebenaran.”
Di tempat terpisah, Komisioner Kompolnas Poengky Indarti mengatakan bahwa penerbitan SP3 itu “cacat”. Namun dalam sejumlah pertemuan, polisi mengklaim “memiliki bukti bahwa korban dan orang tua datang untuk mencabut laporan dan meminta damai”. “Tapi kami belum tahu bukti tersebut,” kata Poengky.
Kompolnas pun telah merekomendasikan Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Jawa Barat untuk segera memproses etik penyidik yang menangani kasus ini sejak November 2022.
Namun menurut Poengky, rekomendasi itu tidak langsung dijalankan oleh kepolisian sampai akhirnya muncul putusan praperadilan ini.
Penyidik ‘Tidak Profesional’
Melalui keterangan pers pada Rabu (18/1/2023) malam, Menkopolhukam Mahfud MD menyinggung soal “ketidakprofesionalan penyidik” dalam menangani kasus dugaan pemerkosaan ini.
Penyidik mengeluarkan surat pemberitahuan SP3 pada 18 Maret 2020 dengan alasan yang berbeda.
Kepada jaksa, perkara disebut dihentikan dengan alasan keadilan restoratif. Sedangkan kepada surat yang ditujukan kepada korban –yang diklaim keluarga baru mereka terima pada Januari 2022— beralasan bahwa penyidikan dihentikan karena “kurang bukti”.
Alasan keadilan restoratif itu pun, menurut Mahfud, tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019.
“Kasus-kasus yang bisa diberi restorative justice adalah kasus yang tidak menimbulkan kehebohan, tidak meresahkan di tengah-tengah masyarakat dan tidak mendapat penolakan dari masyarakat. Syarat ini tidak dipenuhi,” kata Mahfud melalui siaran pers pada Rabu malam (18/1/2023).
Selain itu, penyidik juga memberi penjelasan kepada hakim bahwa pencabutan SP3 pada 7 Desember 2022 berdasar pada hasil rapat koordinasi di Kementerian Polhukam yang menjadi salah satu pertimbangan hakim PN Bogor dalam memutus gugatan praperadilan ini. Padahal menurut dia, rapat koordinasi itu hanya untuk “menyamakan persepsi bahwa penanganannya salah”, sedangkan proses hukum formalnya tetap dilakukan oleh Polresta Bogor secara informal.
“Dan menurut informasi yang sampai kepada kami, proses di internal Polresta Bogor itu sudah dilakukan, sehingga pencabutan SP3 itu tidak langsung karena keputusan rakor di Kemenko Polhukam, melainkan sudah dituangkan dalam proses-proses formal di internal Polresta Bogor,” jelas Mahfud.
Atas dasar itu, Mahfud meminta penyidikan dibuka kembali dan Divisi Propam Polri memeriksa penyidik terkait.
Sementara itu, menurut dokumen putusan pengadilan yang diterima oleh BBC News Indonesia, hakim juga menilai bahwa kasus ini telah melewati masa kadaluarsa selama 120 hari berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 ketika kasus dilanjutkan pada 7 Desember 2022.
Bukti Penanganan Perkara Tidak Benar
Pakar hukum pidana, Eva Achjani Zulfa mengatakan bahwa putusan PN Bogor telah membuktikan bahwa “penanganan perkara oleh penyidik tidak benar” sehingga mudah dipatahkan lewat gugatan praperadilan.
Sebab lembaga praperadilan menjadi semacam lembaga koreksi yang memberi ruang komplain bagi tersangka maupun korban atas proses hukum yang dirasa tidak tepat.
Dikabulkannya gugatan itu, berarti menunjukkan bahwa proses penyidikan tidak dijalankan sesuai prosedur hukum acara yang tepat.
“Ini semacam ketidakprofesionalan, obstruction of justice [perintangan penyidikan], merusak proses peradilan dengan cara yang tidak benar. Ini menjadi fakta untuk mengevaluasi kembali apakah syarat SP3 itu terpenuhi atau tidak,” kata Eva.
Menurut Eva, dugaan ketidakprofesionalan penyidik itu menambah daftar panjang kasus yang membuat masyarakat sulit percaya kepada penegak hukum.
“Padahal dalam kasus-kasus seperti ini yang dirugikan bukan cuma korban, tapi juga penegak hukum itu sendiri. Jangan sampai yang terjadi malah hukum rimba,” tutur dia.
Sementara itu, Komisioner Kompolnas Poengky Indarti meyakini bahwa kasus ini masih berpeluang dibuka kembali hingga diadili.
Apabila penyidik terbukti melanggar prosedur dan etika dalam proses penyidikan ini, maka itu bisa menjadi dasar untuk membuka kembali kasus ini lewat gelar perkara.
Situasi serupa juga pernah terjadi di Serang, Banten, di mana pelaku pemerkosa seorang penyandang disabilitas di Serang akhirnya divonis tiga tahun dan empat tahun penjara.
Dalam kasus di Serang ini, korban juga sempat dinikahkan oleh pelaku dan penyidik Polres Serang menerbitkan SP3 dengan alasan keadilan restoratif sehingga pelaku dibebaskan.
Hasil pemeriksaan pengawas penyidikan Polda Banten kala itu menunjukkan bahwa penghentian perkara itu terlalu dini. Kasus tersebut kemudian dilanjutkan, tersangka kembali ditahan, dan telah divonis pada 13 Januari 2023.
“Seharusnya bisa [dibuka kembali] secara internal, karena penyelidikan, penyidikan dan SP3 cacat. Buktinya kasus Banten pelakunya sudah divonis,” kata Poengky.
Menanggapi kritikan itu, Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat Komisaris Besar Ibrahim Tompo mengakui bahwa “ada aturan dalam proses dari kasus tersebut yang dijalankan tidak sesuai prosedur”. “Hal ini yang menjadi koreksi dalam penanganan kasus tersebut,” kata Ibrahim melalui pesan singkat.
Penyidik yang menangani kasus ini pun kini telah diperiksa oleh Bidang Propam Polda Jawa Barat.
Bagaimana kronologi kasus ini?
Berdasarkan keterangan keluarga, kasus ini berawal pada 6 Desember 2019 ketika Kemenkop UKM menyelenggarakan rapat di Jawa Barat. Korban yang ikut dalam kegiatan itu diajak oleh tujuh orang rekan kerjanya ke luar hotel untuk makan malam. Tetapi setelah itu, “N diajak ke bar dan diberi minuman keras”. Setelah itu, Radit mengatakan bahwa N diperkosa bergiliran.
Baru tiga hari setelah kejadian itu, N mengadu ke keluarganya. Keluarga kemudian melaporkan hal itu ke polisi berbekal bukti rekaman CCTV dan hasil visum. Empat orang pelaku ditetapkan sebagai tersangka pada 1 Januari 2020.
Dalam proses penyidikan, Radit mengatakan bahwa keluarga korban mendapat intimidasi. “Didatangi pejabat Kemenkop dan UKM ada yang bawa RT Bojongsari, ada yang bersama keluarga besarnya, anaknya, orang tuanya. Memohon kepada orang tua korban agar pelaku dilepaskan,” kata dia.
Puncaknya, korban didesak menikahi salah satu pelaku berinisial ZP. “Pernikahan antara korban dan pelaku terjadi 12 Maret 2020 saat pelaku masih ditahan [izin menikah]. Dan atas dasar pernikahan tersebut seluruh pelaku lolos dari tahanan,” jelas Radit.
Sepekan kemudian, tepatnya pada 18 Maret 2020 polisi menghentikan penyidikan. Setelah pernikahan, ZP juga disebut hanya sekali memunculkan batang hidungnya ke rumah korban.
“Bahkan beberapa kali didatangi oleh ayah korban, ZP ini diam saja. Untuk memberikan nafkah ini hanya Rp300.000/bulan selama 12 bulan,” tambah Radit.
Ketika keluarga hendak mengajukan somasi terhadap pelaku sekitar akhir 2021, barulah mereka mengetahui bahwa kasus ini telah dihentikan dan baru mendapat salinan surat pemberitahuan SP3 pada 4 Januari 2022.
Kasus ini mengemuka ke publik pada 25 Oktober 2022, dan setelah itu baru muncul sejumlah upaya untuk membuka kasus ini kembali.
Berdasarkan gelar perkara khusus, polisi melanjutkan kasus ini pada 7 Desember 2022. Namun tiga dari empat tersangka menggugat Polresta Bogor ke PN Bogor pada 23 Desember, yang berujung dikabulkan pada 12 Januari 2023.(*/AN-01)