Bagian keempat dan kelima catatan jurnalistik ini, saya hanya menyadur tulisan salah satu pembicara seminar, reu Emanuel Prason Krova, S.Fil., MSi. Judul tulisannya, “Menelisik Peran Prof.Dr Goris Keraf dalam Perekembangan Pengajaran Bahasa Indonesia (Sebuah Sketsa)”.
Dia mengawali teksnya, dengan kenangan ingatannya akan peristiwa ketika Presiden Joko Widodo meresmikan Perpustakaan Nasional tahun 2017, dimana Rizal Malarangeng menulis artikel berjudul “Perpustakaan Nasional Pattingalloang; Sebuah Usul”.
Dalam artikel tersebut, Rizal mendeskripsikan Pattingalloang sebagai figur renaisans yang pantas menjadi nama Perpustakaan. Dengan menyitir pendapat Ignas Kleden, Rizal menulis bahwa kita bersyukur di tengah kesibukan membangun infrastruktur jalan dan jembatan, Presiden Jokowi juga memikirkan Perpustakaan. Karena menurut Ignas Kleden perpustakaan adalah juga sebuah infrastruktur bukan untuk mobil dan motor tapi untuk lalu lintas ide dan eksplorasi pemikiran.
Lembata bersyukur dalam kerbatasan toh mempunyai perpustakaan. Buku dan ilmu tentu bisa dicari di mana saja apalagi di zaman digital ini. Tapi selain fungsi praktisnya yang tetap diperlukan sebagai pusat pencarian ilmu dan pembentukan komunitas intelektual, simbolisme tetap penting. Dengan lokasi di tengah kota diapiti oleh bangunan historis kantor bupati lama dan rujab bupati lama, Perpustakaan ini harus dimaknai sebagai perwujudan tekad untuk memajukan Lembata dengan basis ilmu pengetahuan.
Sekarang gedung perpustakaan yang membanggakan ini perlu diberi nama yang sesuai bobotnya. Dan, dalam konteks kita hari ini Prof. Dr. Gorys Keraf dipandang paling cocok. Ia adalah sosok penting yang jarang dibahas oleh generasi sekarang namun sesungguhnya boleh dibilang sangat menarik dalam repertoar kisah orang orang hebat negeri ini. Karena itu tidak salah kalau kita menelisik peran orang hebat ini. Baik sosok maupun konteks.
Terhadap diksi menelisik dalam tema kita, Eman mencoba sedikit lebih fenomenologis untuk secara cepat membentangkan panorama siapa itu Goris Keraf dan apa maknanya dalam konteks keilmuan yang beliau geluti. Dengan itu semoga kita dapat menyadari siapa itu Goris Keraf.
Goris Keraf karena peran dan kehebatannya, telah menjadi bahan telaah oleh beberapa penulis pemikir dalam dunia kebahasaan. Antara lain :
Pertama, pada tahun 1980-an seorang ilmuwan bahasa Indonesia dari Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Bambang Kaswanti Purwo, melakukan penelitian dengan tujuan untuk mencari tahu, manakah buku tata bahasa Indonesia yang paling banyak dibaca dan paling berpengaruh di kalangan pelajar dan mahasiswa Indonesia.
Hasil penelitian Bambang Kaswanti Purwo, dimuat dalam Majalah Basis (Nomor 12, Tahun XXXVI, 1987, halaman 457-477) dengan judul “Menguak Alisjahbana dan Keraf: Pengajaran Bahasa Indonesia.” Bambang melakukan penelusuran terhadap 174 buku tata bahasa Indonesia yang terbit tahun 1900-1982 (selama 82 tahun), baik buku yang (masih) ditulis dalam bahasa Melayu (1900-1928), dalam bahasa Indonesia (1928-1982), maupun dalam bahasa Belanda dan Inggris dan bahasa asing lain (1900-1982).
Bambang Kaswanti Purwo sampai pada kesimpulan, “hanya dua buku” yang paling banyak dibaca dan paling berpengaruh di Indonesia. Bahkan,“pengaruhnya begitu mendalam merasuki relung-relung pengajaran bahasa Indonesia!”
Sebagian besar orang Indonesia mengenal bahasa Indonesia dari dua buku tersebut. Daya tahan pemakaian masing-masing kedua buku tersebut lebih dari 20 tahun. Kedua buku yang dimaksud, yang pertama adalah buku Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (jilid 1 dan 2) karya Sutan Takdir Alisjahbana atau STA (Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, cetakan pertama 1949), dan yang kedua adalah buku Tatabahasa Indonesia karya Gorys Keraf (Penerbit Nusa Indah, Ende, cetakan pertama 1970).
Kedua, Yohanes Sehandi, yang melakukan semacam studi terhadap kerja ilmiah Prof. Dr. Goris Keraf. Dalam beberapa tulisannya terutama artikel “Mengenang Seperempat Abad Goris Keraf” (Yohanessehandi.blogspot.com), Sehandi menulis hasil studinya tersebut sebagai berikut; Berdasarkan pembacaan Sehandi terhadap belasan buku Gorys Keraf yang telah diterbitkan, keahlian atau kepakaran Gorys dapat dikelompokkan dalam tiga bidang utama. Pertama, bidang pendidikan dan pengajaran bahasa Indonesia. Kedua, bidang pedoman menulis karya ilmiah. Ketiga, bidang penelitian linguistik.
Berikut dibahas secara singkat ketiga bidang keahliannya. Bidang Pendidikan dan Pengajaran Bahasa Indonesia. Dalam bidang pendidikan dan pengajaran bahasa Indonesia, Gorys Keraf telah menerbitkan sejumlah buku penting, yakni (1) Tatabahasa Indonesia (1970), (2) Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia (1991), (3) Tanya Jawab Ejaan Bahasa Indonesia untuk Umum (1992), (4) Cakap Berbahasa Indonesia (1995), (5) Fasih Berbahasa Indonesia (1996). Dari kelima buku teks tersebut, buku karya pertama Gorys Keraf yang berjudul Tatabahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Tingkat Atas (1970) adalah Opus Mangum yang melambungkan nama Gorys Keraf di tingkat nasional. Buku ini seakan menjadi kitab suci kedua bagi para siswa. Kerena begitu terkenalnya buku Tatabahasa Indonesia, buku ini kemudian dikenal luas dengan nama Tata bahasa Gorys Keraf.
Bidang Pedoman Menulis Karya Ilmiah. Dalam bidang pedoman menulis karya ilmiah terutama di perguruan tinggi, Gorys Keraf berjasa besar. Dia adalah pendekaranya. Beliau menerbitkan buku utama berkaitan dengan pedoman menulis karya ilmiah berjudul Komposisi (1971). Buku utama ini kemudian dilengkapi Gorys Keraf dengan tiga buku yang lain, yakni (1) Diksi dan Gaya Bahasa (1981), (2) Eksposisi dan Deskripsi (1981),dan (3) Argumentasi dan Narasi (1982). Buku Komposisi yang merupakan buku kedua Gorys Keraf tidak kalah tenar dengan buku pertamanya, Tatabahasa Indonesia (1970).
Dalam pengamatan Sehandi, buku Komposisi karya Gorys Keraf ini sampai dengan tahun 2022 ini belum tergantikan. Belum ada buku lain yang menandinginya. Buku Komposisi Gorys Keraf masih menjadi rujukan para dosen dan mahasiswa di perguruan tinggi Indonesia.
Dalam bidang penelitian linguistik atau ilmu bahasa, Gorys Keraf menerbitkan dua judul buku monumental yang dinilai sebagai mutiara di kalangan ilmuwan linguistik. Kedua buku monumental berbobot ilmiah itu adalah (1) Linguistik Bandingan Historis (Penerbit Gramedia, Jakarta, 1984) dan (2) Linguistik Bandingan Tipologis (Penerbit Gramedia, Jakarta, 1990).
Ketiga, Na’im Matur Rofiqoh, Redaktur Sebaran Bahasa Katebelece menulis dengan judul yang sangat menarik, “Gorys Keraf: Menjiwa dan Meraga di Bahasa Indonesia”. Tulisan tersebut dimuat dalam Majalah BASIS, Nomor 03-04, Tahun Ke-67, 2018.
Dalam tulisannya, Rofiqoh dengan enteng, mengalir dan memikat serta menggugat pembaca untuk tidak alpa akan figur Goris Keraf yang telah menabhiskan jiwa dan raga demi perkembangan bahasa Indonesia. Rofiqoh menarasikan cuilan-cuilan ingatan tentang Gorys Keraf untuk memberi kepastian pada ketokohannya di tema bahasa, diantaranya saya kutip dibawah ini;
J.J. Rizal, sejarahwan dan bos penerbit Komunitas Bambu, pun mengakui ketokohan Gorys Keraf pada masa lalu. Beberapa sastrawan kondang, katanya, mengaku berguru pada buku-buku Gorys Keraf demi kecakapan dan kegenitan berbahasa Indonesia. Dia pun mengaku berguru bahasa pada buku-buku Gorys Keraf.
Sapardi Djoko Damono, menyebut Gorys Keraf, yang sempat menjadi rekan mengajar di Universitas Indonesia, sebagai pekerja keras, pengajar yang baik dan rajin, pembimbing skripsi yang sabar, sosok yang ‘selalu tampak sibuk.’ Dia pun mengakui Gorys Keraf itu tokoh bahasa yang penting masa 1970-an sampai 1980-an, “sebagai penulis buku laris.”
Selain J.S. Badudu, menurut Sapardi, Gorys Keraf-lah yang serius menulis buku-buku untuk bahan ajar.
Melani Budianta, Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan sempat menjadi mahasiswa Gorys Keraf pada 1973 sampai 1974 memberi kesaksian. Melani mengingat sosok Gorys Keraf yang tinggi besar, senantiasa berjalan mondar-mandir di hadapan kelas, dan mampu menjangkau seluruh kelas, sekitar 50 mahasiswa lebih, dengan suaranya.
Menurut Melani, Gorys mengajar dengan sangat sistematis, jelas, dan komunikatif. Ia sering membikin contoh-contoh lucu untuk ‘menunjukan penalaran yang keliru’ dan menggagalkan mahasiswa tidur di kelas.
Dari sejumlah dosen Universitas Indonesia waktu itu, bagi Melani, Gorys Keraf termasuk yang ‘menggunakan bahasa Indonesia dengan sempurna.’ Ia tak sekedar menjiwai tapi juga meraga di bahasa Indonesia. Melani Budianta memberi narasi panjang tentang laku bahasa Gorys Keraf.
“Bahasa Indonesia yang mengalir dari mereka-secara lisan maupun tertulis-adalah bahasa intelektual yang mengolah pikiran secara logis, runtun dan utuh. Dengan demikian, Gorys keraf bukan sosok dosen yang mengajarkan teori belaka. Ia sendiri, dengan tutur bahasanya, adalah contoh yang terbaik dari apa yang diajarkannya. Kuliah komposisi yang diberikannya kepada mahasiswa semester awal, adalah kuliah yang menata bukan saja kaidah berbahasa, tetapi terutama penalaran ilmiah. Kuliah ini merupakan landasn yang penting bagi calon sarjana. Saya sangat beruntung mendapatkan ilmu dari Gorys Keraf. Latihan untuk membuat karangan (out line), menyusun argument yang absah dalam satu paragraf yang padu, adalah langkah pertama untuk setiap calon sarjana. Gorys Keraf-dengan kuliah yang mencerahkan dan penjelasannya yang terstruktur dan rinci, yang dituangkan dalam buku Komposisi, buku teks klasik itu-telah memberikan bekal tak ternilai bagi calon intelektual.”
Begitulah sketsa awal untuk bisa lebih memahami Prof. Dr. Gorys Keraf yang dipaparkan Emanuel Prason Krova. (freddy wahon/bersambung)