Ini cara SMP Swasta Katolik (SMPSK) Ampera di Waipukang, Desa Laranwutun, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, menanggapi dan mengimplementasikan sistem kurikulum merdeka belajar berbasis pelajar Pancasila. Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) sekolah itu menggelar kegiatan bertema budaya melalui talk show dan sinema masuk sekolah.
Dua kegiatan itu dihelat dengan melibatkan beberapa komunitas seni, serta menggaet pula pegiat seni seperti Dominikus Karangora, aktivis lingkungan hidup dan Abdul Gafur Sarabiti, pegiat kebudayaan di Lembata. Komunitas yang terlibat antara lain, komunitas COPA (Comunio A Pago) dan komunitas Langit Jingga Film.
Dua hari kegiatan akbar ini digelar, yakni Selasa, 9 Agustus 2022, dan Rabu, 10 Agustus 2022. Tak cuma melibatkan para siswa SMPSK Ampera, tapi siswa dari beberapa sekolah baik SMP maupun SMA/SMK pun diundang. Bahkan, komunitas seni di wilayah kecamatan Ile Ape pun diajak bergabung.
OSIS SMPSK Ampera berusaha menciptakan wadah kolektif sebagai sarana berbagi pengalaman dan pengetahuan dalam menciptakan ekosistem belajar yang kreatif, inovatif, dan juga literatif.
Talk Show Kebudayaan bertajuk “Generasi Muda di Tengah Merosostnya Nilai Budaya Lokal” menghadirkan pembicara Dominikus Karangora dan Abdul Gafur Sarabiti.
Dalam sambutan pembukaan talkshow, Wakil Kepala Sekolah SMPSK Ampera, Lorens Samun, S.Pd mengungkapkan bahwa kebudayaan Lamaholot memiliki banyak kekayaan, baik nilai folosofis dan intelektual. Nilai-nilai itu tersembunyi dalam bentuk kesenian, dan juga cara hidup masyarakat Lamoholot.
Moderator talkshow, Mega Bekayo saat mulai memandu acara mengungkapkan pandangannya tentang kondisi generasi muda saat ini. Dikatakan, generasi muda terjebak dalam dua arus kebudayaan yang berbeda. Dalam realita sosial yang ada, terjadi pergesekan antara arus kebudayaan lokal dan kebudayaan modern dengan prinsip dan nilai yang terkadang bertentangan. “Di sini para generasi muda dihadapkan pada pilihan untuk mengakui juga memilih prinsip atau nilai kebudayaan yang mana.”
“Tidak dapat dipungkiri, bahwa kemajuan itu seperti badai yang menghempaskan segeala sesuatu yang dilaluinya. Kita tidak bisa menolak kemajuan, bahkan bisa dikatakan kita tunduk kepada kemajuan. Tetapi kemajuan yang menjadi bayangan akan kesejahteraan dan kebahagian manusia, tidak selalu terjadi seperti yang diharapkan. Ada berbagai persoalan yang juga turut dibawa oleh kemajuan. Kecanduan sosial media, ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan, dan berbagai persoalan lainya,” ungkap Mega Bekayo.
Dia membuka diskusi dengan membeberkan gambaran bagaimana dominasi kebudayaan modern yang menggerus nilai, ingatan, bahkan kepedulian masyarakat akan kebudayaan yang menjadi warisan dan juga identitas diri suatu komunitas masyarakat. Hal ini juga merambat pada kalangan generasi muda, yang merupakan penerus sekaligus harapan bangsa.
Aktivis lingkungan, Domi Karangora bicara tentang bagaimana melihat kemajuan dan perubahan secara lebih objektif. Dia mengatakan bahwa di dalam perubahan, ada nilai dan sikap. Kedua hal ini harus diperhatikan secara lebih teliti. Sikap mungkin bisa berubah, asalkan nilai yang menjadi esensi dari tindakan itu tidak berubah.
Dia mencontohkan, dalam berkomunikasi, media atau cara manusia berkomunikasi dalam berbagai era itu berbeda, tetapi esensi dari komunikasi untuk saling mendekatkan manusia dan memberi infosmasi itu tidak berubah. Perlu diperhatikan bahwa pembelaan kebudayaan jangan sampai berujung pada sikap konservatif dan chauvistik tanpa memiliki sikap kritis terhadap kebudayaan.
Karangora menitikberatkan bagaimana perubahan itu digerakkan dalam keberagaman kehidupan suatu komunitas masyarakat. Jika arus perubahan itu datang dari luar tanpa sikap selekstif, maka itu akan menjadi penjajahan atau dominasi. Tetapi jika perubahan itu digerakkan dari dari suatu komunitas masyarakat dari hasil pengalaman diskusi, observasi berdasarkan berbagai pertemuan dengan kebudayaan yang berbeda, maka akan terjadi inovasi yang digerakkan oleh kreativitas.
Sementara, pegiat budaya, Abdul Gafur Saribiti mencoba memperdalam pemahaman tentang kebudayaan. Dia menekankan bahwa kebudayaan tidak hanya soal tarian, pakaian adat, atau bahasa daerah. Tetapi kebudayaan juga menyangkut kepercayaan, pandangan hidup, serta nilai-nilai yang terkandung dalam setiap wujud kebudayaan yang ada.
Abdul Gafur menngingatkan bahwa kebudayaan bukan sebatas sebuah pementasan yang ada di atas panggung atau sebuah rutinitas semata. Dia mengatakan, di dalam setiap ritual, busana, cerita, dan kesenian yang tercipta, terkandung pesan dan hukum moral yang memberikan arahan bagaimana manusia membangun relasi antar manusia dengan manusia, dan relasi antar manusia dengan lingkungan hidup.
Kebudayaan juga bukan sekedar ikatan geneologis, tetapi suatu tali persaudaraan dalam suatu ikatan komunitas masyarakat.
Dia mengingatkan bahwa keterputusan pengetahuan akan kearifan lokal justru menimbulkan permasalahan baru berupa krisis identitas. Krisis identitas membawa permasalahan baru yaitu perubahan semangat kolektivisme menjadi individualisme, sehingga suatu komunitas masyarakat menjadi mudah dikontrol dan ditaklukkan.
Talk show budayan ini juga diramaikan dengan beberapa persembahan acara yang dibawakan oleh siswa-siswi SMPSK Ampera, berupa tarian kreasi, pembacaan puisi dari komunitas Gempar dan nyanyian oreng dari kelompok seni Leather SMK Ile Ape.
CINEMA MASUK SEKOLAH
Kegiatan Cinema Masuk Sekolah yang diinisiasi komunitas Langit Jingga Film tidak hanya untuk menciptakan kehidupan ekosisitem perfilman di Lembata, tetapi juga menciptakan ruang alternatif dalam pemajuan kebudayaan melalui seni dengan media film. Juga, menjadi ruang alternatif pembelajaran bagi pelajar dan masyarakat.
Kegiatan ini terjadi di Lopo Pantai Waipukang, desa Laranwutun. Ada dua film yang ditonton, pada malam “Cinema Masuk Sekolah”, yakni film Pendek “Untuk Mama” yang diproduksi komunitas KAHE Maumere, dan film pendek “The Story Of Aquarius” yang diproduksi Komunitas Film Kupang.
Kedua film ini mempunyai hubungan yang sama berkaitan dengan cinta. Tetapi ekpresi dan objek cinta dari kedua film ini berbeda. Film pertama, “Untuk Mama”, cinta yang diungkapkan adalah cinta kepada kebudayaan sendiri berupa kain tenun tradisional yang dibuat menggunakan bahan dan pewarna alam. Konflik dalam film ini bermula dari permasalahan pandangan yang berbeda antara seorang anak dan orang tuanya dalam memandang pembuatan kain tenun.
Film ini ingin menggambarkan bagaimana posisi kain tenun tradisional mulai terasingkan oleh kain tenun hasil produksi mesin. Film ini mengingatkan bahwa tenun bukan sebatas sebuah alat ekonomi, tetapi sebuah simbol yang memberikan identitas dan memberikan makna hidup tentang kesabaran dan kerja keras.
Film kedua, cinta yang ditampilkan adalah kecintaan manusia pada prinsip akan kerja keras dan kejujuran. Vero, seorang wanita yang baru meneyelesaikan pendidikannya sebagai mahasiswa berhadapan dengan sistem kerja yang sengat nepotisme, atau dalam frasa gaul bagi masayarakat NTT disebut sebagai “orang dalam”.
Di situ terjadi pertentangan antara hati nurani Vero dan juga tuntutan dari ibunya untuk segera memiliki pekerjaan. Vero menolak tawaran dari ibunya untuk bekerja pada kantor, dimana kepala kantor tersebut adalah sahabat ibunya senidiri. Vero menolak tawaran tersebut karena berpegang pada prinsipnya untuk lebih mengandalkan kemampuan dan kerja keras sendiri daripada patuh pada sistem yang penuh nepotisme dan tidak kompetitif.
Film ini tidak hanya menyinggung mental instan dalam karakter masyarakat modern, tetapi menghadapkan penonton pada pertanyaan reflektif, apakah manusia rela mengabaikan hati nuraninya hanya untuk sebuah jabatan atau penghasilan?
Malam “Cinema Masuk Sekolah”, ada seorang tamu spesial yaitu Rizkha Monika, seorang traveller dan juga fillmaker yang telah mengeksplorasi 21 negara, dan tengah dalam perjalanannya mengelilingi Indonesia.
Monika tidak hanya membagikan pengalamnya ketika bertemu dengan berbagai kebudayaan dan juga pengalaman selama berkecimpung dalam dunia cinemathography sebagai penulis naskah, tetapi juga pengalaman reflektifnya.
Monika membagikan pengalaman berharganya ketika berada di luar negeri, Monika sadar akan keterbatasan pengetahuannya akan budaya bangsa dan tanah airnya sendiri. Hal itulah yang memotivasinya untuk mengenal secara lebih dekat kebudayaan dan keadaan tanah airnya melalui perjalanannya mengelilingi Indonesia.
Ketua komunitas Langit Jingga Film, Elmundo Alesio mengaharapkan agar kegiatan ini bisa menciptakan ketertarikan para pelajar juga generasi muda, untuk mulai mencintai dan menggali kebuyadaannya sendiri. Sehingga tidak melupakan jati diri mereka.
Seniman dan juga guru, Haris Dores menganggap bahwa sudah saatnya sistem pembelajaran dalam kelas menciptakan kreativitas mengajar untuk menumbuhkan semangat kreativitas siswa yang tumbuh dari dalam tanah. Artinya, kreativitas itu tidak mengesampingkan realitas sosial yang ada di sekitarnya, tetapi suatu kreativitas yang lahir dari kepekaan akan apa para generasi muda lihat dan rasakan atas fenomena yang ada di sekitarnya.(fr. rintho jaga)