Aksinews.id/Lewoleba – Maraknya aksi kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur mengundang perhatian bagi praktisi hukum dari LBH SIKAP, Lembata. Ketua Bidang Perlindungan Perempuan & Anak LBH SIKAP, Irene Kanalasari Inaq, SH mengusulkan digelar Sekolah Hukum Desa.
Dalam rilisnya yang diterima aksinews.id di Lewoleba, Jumat, 17 Maret 2022, Irene Kanalasari Inaq mengomentari dua peristiwa kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Yakni, kasus yang terjadi di desa Kolipadan, Kecamatan Ile Ape, dan kasus di desa Watokobu, Kecamaran Nubatukan. “Dua berita ini memiliki kesamaan yang mengoyak nurani masyarakat Lembata,” tegasnya.
Irene Kanalasari Inaq melihat dua peristiwa hukum ini sebagai satu lingkaran sistem kejahatan terhadap kemanusiaan yang seharusnya menjadi perhatian bersama. “Baik keluarga, komunitas keagamaan, lembaga adat, pemerintah daerah, pemerintah desa, aparat penegak hukum, para pemangku kebijakan dari semua tingkatan dan masyarakat Lembata sebagai satu kesatuan keluarga besar,” ungkap jebolan Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta ini.
Menurut dia, semua elemen masyarakat Lembata harus menanggapi kasus-kasus ini sebagai tantangan bersama yang harus dicarikan solusinya sesegara mungkin. “Kita tidak bisa menunggu dan terus menunggu kapan solusinya tiba. Musti ada sebuah gerakan besar yang dimotori Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa dalam usaha menekan angka kekerasan seksual terhadap anak di Lembata,” tandasnya.
Dikatakan, anak-anak dan perempuan adalah kelompok yang rentan terhadap berbagai macam bentuk kejahatan.
“Belajar dari kasus-kasus tersebut yang akhir-akhir ini diberitakan mass media soal kekerasan seksual terhadap anak, hal ini adalah potret realitas sosial kekinial bahwa Lembata tidak lagi merupakan kabupaten yang aman dan ramah terhadap tumbuh kembang anak,” ujar dia.
“Pencabulan anak adalah soal perampasan kepercayaan diri anak, kebahagian masa kanak-kanak, dan perbuatan asusila yang terkutuk, apalagi dilakukan oleh keluarga dan orang terdekat, maka akan berdampak pada kesehatan mental anak dan bisa terjadi potensi trust issue dalam diri anak,” tegas Kanalasari.
LBH SIKAP, kata dia, melihat adanya ironi dari fenomena ini, antara penegakan hukum pidana (penjara) terhadap para pelaku, dan semakin maraknya kasus serupa di Lembata, bahkan terlihat semakin masif terjadi.
“Hal ini membuktikan bahwa pidana penjara tidak membuat orang jerah, malah terus terjadi kekerasan seksual terhadap anak di Lembata.”
Menurut LBH SIKAP Lembata, jelas dia, pemidanaan bukan satu-satunya jalan yang efektif untuk memberantas kekerasan seksual terhadap anak. “Pemidanaan hanya klimaks dari proses penegakan hukum pidana. Pemidanaan pelaku kekerasan seksual terhadap anak bukan merupakan solusi yang permanen,” tandasnya.
Kanalasari berharap agar Pemda dan Pemdes bisa menjadi lokomotif dalam usaha membangun kesadaran hukum masyarakat.
Ya, “Bagi kami, solusinya adalah pemerintah daerah dan pemerintah desa berdiri sebagai lokomotif dalam usaha membangun kesadaran hukum masyarakat, melalui berbagai macam penyuluhan dan pendampingan hukum, pendekatan secara adat melalui lembaga-lembaga adat atau pemangku adat terkait, dan perwujudan desa-desa ramah anak yang dibingkai dalam sebuah konsep Sekolah Hukum untuk masyarakat Desa,” ujar dia.
“Dengan kata lain bahwa pencegahan secara preventif perlu dilakukan secara gencar dan berkesinambungan, kemudian jika terjadi kasus maka perlu diambil langka-langka yang represif.”
Dia menambahkan, “Pidana penjara harus dilihat sebagai ultimatum remedium atau senjata pemungkas yang ditempuh untuk memberikan kesadaran terhadap pelaku.”
LBH SIKAP juga menyoroti langkah-langkah faktual yang perlu diambil pemerintah desa sebagai garda bawah yang paling dekat dengan masyarakat untuk mewujudkan desa yang ramah anak, dan peningkatan langkah-langkah pereventif lewat program-program desa melalui kerjasama dengan berbabagai pihak dalam rangka penyadaran hukum bagi masyarakat desa. “Anak harus dilihat sebagai individu yang utuh yang harus dijamin keamanan fisik dan mentalnya agar tumbuh menjadi generasi Lembata yang mempuni di masa mendatang,” ungkap Irene Kanalasari Inaq.
“Hal ini termasuk langkah-langkah pendampingan terhadap para korban dan penyintas agar terhindar dari pengucilan, stigma-stigma negative, dan ancaman kekerasan lainnya,” tutup dia.(AN-01)
Mantap sekali para pejuang penegakan hak perempuan dan anak. Melihat kasus yang terjadi akhir2 ini, pelakunya adalah org dekat bahkan orang dalam keluarga sendiri. Oleh karena itu kalau ada sekolah Hukum di desa saya setuju. Penjabarannya adalah harus ada sosialisasi kepada seluruh anggota keluarga tentang tindakan mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan atau ditabukan. Kejahatan yang terjadi tidak memandang ini anak, cucu atau ini SDH besar/remaja.
Satu hal lagi bahwa lembaga adat di desa hrs berperan aktif. Jika terjadi seperti itu maka lembaga adat harus memberi sanksi yg berat bukan hanya sekedar denda yg ringan.
Satu himbauan moral bagi semua, hayati dan amalkan ajaran agama yang dianut secara benar. Maka agama bukan hanya sebagai status hidup melainkan harus dihidupi sebagai sebuah perilaku yg integral bagi semua orang.