Matahari di Basira belum terbit. Pintu dan jendela rumah belum dibuka, ketika saya bertanya tentang aktivitas perempuan Basira pada Ema Pau Soge. Kami duduk di ruang tamu sederhana dengan wajah belum tersentuh air. Ema Pau, adalah mertua bapak Yos Tukan, berusia sekitar 70 an tahun.
Laki-laki Basira itu pelaut, penyadap nira dan petani. Lalu perempuannya?
Basira, seperti kawasan lainnya di Tanjung Bunga, adalah daerah penghasil jambu mente. Beberapa kebun mente bisa dilihat di pinggir jalan sepanjang perjalanan ke Basira. Merawat dan panen, juga dilakukan perempuan Basira. Bahkan menjual hingga ke Larantuka. Tapi, ternyata tidak sekedar begitu. Saya kemudian mendapat tambahan informasi dari anak Basira, Emil Soge yang saat ini berdomisili di Maumere. Perempuan Basira, juga mempunyai kelompok-kelompok tani. Mereka kerja secara gemohing (bersama, bergilir, berganti-ganti saling membantu). Tangguh!
Basira, juga dekat laut. Hanya menurun sekitar setengah kilometer untuk mencapai pantai. Dulunya, mereka berjarak hanya beberapa ratus meter dengan pantai namun sejak Tsunami 1992, kampung lama terkubur dan mereka pindah di ketinggian. Karena dekat laut, sebagian mereka adalah nelayan yang menangkap ikan dengan cara mengail, memanah dan pukat. Hasil laut dijual keliling kampung juga kampung-kampung sekitarnya hingga Beloaja. Jika tidak dijual, perempuan Basira mengolah ikan-ikan tersebut. Belah, digarami sedikit lalu jemur. Ikan kering Basira, dijual kemana-mana hingga Kupang, tutur Emil Soge. Anda, mungkin pernah menikmati ikan asin Basira yang tentu saja berbeda rasa. Ikan dari laut lepas berarus kencang seperti laut Basira, biasanya enak.
Pagi itu, saya membuktikan soal rasa ikan Basira. Saat sedang minum pagi, seorang penjual ikan lewat. Berapa harga satu tali, sekitar 10 lebih ekor ikan? Rp 10.000. Ah, murah sekali, saya menelan ludah. Ikan kerapu dan ikan merah. Ikan-ikan demersal. Di Lewoleba yang begini sudah Rp 50.000. Dan pagi itu kami menikmati ikan kuah asam yang nikmat sebelum bersiap mengikuti misa.
Lalu jika menyadap nira pohon lontar, juga menjadi pekerjaan laki-laki Basira, perempuan Basira membantu proses masak, mengisinya pada wadah dan menjualnya. Bekerja bersama-sama, kata Ema Pau.
Perempuan Basira adalah perempuan Lamaholot. Menenun itu semacam hal wajib dalam budaya. Dulu kala, menenun menjadi syarat bagi seorang perempuan sebelum menikah. Perempuan Basira, juga begitu. Dulu, kisah Ema Pau, proses membuat sarung sangat alamiah dengan memanfaatkan tanaman-tanaman sekitar untuk pewarnaan. Tapi sekarang, dengan benang toko dan pewarna yang sudah siap pakai. “Tidak susah, tinggal beli asal ada uang. Lalu tenun sendiri,” ujarnya.
Di Basira, kata Ema Pau, satu lembar selendang, Rp 200.000 dan sarung harganya Rp 1.000.000 ke atas. Mahal. Apalagi sarung adat, paling rendah Rp 2.500.000. Tapi untuk segala urusan adat untuk menikah, apalagi kematian, sarung adat tak bisa diganti dengan apapun. Artinya, sarung adat tetap harus ada.
Perempuan Basira banyak yang menenun kah Ema?
Ema Pau menggeleng. Tidak banyak. Bahkan penenun yang usianya muda, hampir tidak ada. “Yang tenun hanya umur seperti saya. Perempuan yang muda-muda, tidak tau tenun. Makanya sarung-sarung juga mulai susah dicari sekarang. Kalau ada urusan adat, apalagi yang meninggal harus ada sarung adat. Harus itu. Harus cari sampe dapat,” ujar Ema Pau.
Saya minta ijin melihat kain sarung adat Basira dan Ema Pau memperlihatkannya. Dominasi gelap dengan motif garis kecil-kecil. Ada motif asli misalnya bunga-bunga, kata Ema Pau. Mau kreasi seperti apa untuk motif selembar sarung, terserah yang menenun.
Apakah hanya untuk urusan adat atau juga dijual keluar kampung?
Umumnya “berputar” dalam kampung saja. Kecuali jika ada wisatawan asing yang menikmati pantai teluk Kelambu. Atau event sail nusantara, teluk Kelambu selalu menjadi salah satu titik singgah. Para wisatawan biasanya mendaki ke kampung Basira yang berjarak kurang lebih 1 Km. Kesempatan itulah yang dimanfaatkan ema-ema Basira untuk berjualan tenun ikat. Saya membathin, boleh jadi karena pembelinya ‘kelas wisatawan’ harga tenun ikat Basira tergolong mahal. Iya?
Ema Pau sekali lagi mengungkapkan kekuatirannya soal tenun ikat Basira yang sudah mulai susah dicari karena tidak banyak lagi perempuan Basira yang menenun. Sekali lagi dia berujar, “ yang tenun saat ini seumuran saya. Yang muda-muda tidak tau tenun.”
Ema Pau! Penenun dari Basira. Menenun itu merawat budaya, saya bicara tanpa suara. Bukan hanya ema seorang yang kuatir untuk soal yang satu ini. Saya juga, untuk tenun ikat di daerah saya, Lembata. Orang tua-tua penenun yang saya temui di mana-mana, juga sering mengkuatirkan hal yang sama. Semoga, menenun bisa masuk dalam pelajaran budaya atau setidaknya kegiatan ekstra kurikuler di sekolah. Dengan begitu, ketrampilan menenun bisa ‘turun’ dari generasi ke generasi. Bukankah jika sudah masuk dalam kurikulum sekolah, menjadi ‘wajib’ dipelajari?
Kami berhenti bicara tenun ikat. Pintu rumah sudah dibuka dan saya ingin nikmati matahari pagi Basira. Kalau saja bisa jalan sampai pantai Basira di Teluk Kelambu. Teluk Kelambu, sering jadi tempat berteduh yang nyaman bagi kapal-kapal saat badai menerjang dan mereka sedang melewati Utara Flores. Teduh tanpa gelombang. Dari ketinggian, saat menuruni perbukitan, teluk Kelambu tampak tak jauh. Beberapa perahu nelayan tampak berlabuh.
Pantainya adalah haamparan bebatuan bulat kecil warna warni. Sangat eksotis. Begitu deskripsi beberapa orang yang saya temui. Aktivitas di pantai tersebut cukup ramai, ketika transportasi laut menjadi satu-satunya yang diandalkan untuk mencapai Basira. Anak Basira, Emil Soge mengisahkan, untuk bangun rumah saja, mereka harus membeli material pasir, batu bata dan lain-lainnya jauh sekali ke kampung lain. Muat di kapal motor kecil. Itulah mengapa rumah-rumah mereka tidak seluruhnya batu-bata. Setengah bangunan tembok menggunakan papan. Kapela di Basira, juga belum selesai dibangun. Kesulitan membawa material ke Basira, adalah masalah utamanya. Saya ingat, jawaban anak usia 3 tahun, No Pulga Soge yang main perahu kayu.
“Kapal tuh muat apa, ade?”
“Pasir,” jawabnya spontan.
Anak Basira merekam, material pasir saja..sekali lagi, pasir–untuk membangun rumah-rumah mereka di Basira, harus dibawa dengan kapal motor kecil (saat ini tidak lagi beroperasi).
Basira!Teluk Kelambu dan pantainya yang eksotis.
Basira! Belah Bukit, Maria Niwak (sebutan untuk daerah pendakian dengan kondisi jalan sangat buruk) dengan Sunset yang indah nian.
Basira! Arak berkelas suguhan tiap acara.
Basira! Ikan demersal yang pasti nikmat Basira itu wilayah potensi. Wisata. Ekonomi. Bangunlah akses ke sana. Sebab Basira juga Flotim, NTT, Indonesia.(fince bataona)
Mantap ibu Vince Bataona….mungkin banyak yang belum tahu tentang Basira yang punya potebsi juga.Semoga Pemerintah punya peduli karena Basira juga Indonesia. Thanks ibu…
Asli saya juga penasaran sama spot snorkeling dan divingnya disana. Sayang belom bisa ke sana. Berharap sekali bisa membawa tamu sampe di teluk kelambu dan basira.